Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA dua nama yang kerap sekali dikaithan dengan Yayasan Keluarga Adil makmur (KAM). Mereka adalah Dr. R.M. Ibnu Hardjanto dan bekas kepala rumah tangga Bina Graha, Raden Iskandar Subandi. Ibnu Hardjanto tampak berada di kantor KAM, Jalan Zainul Arifin. Jakarta Pusat. Selasa malam, pekan lalu, sehari sebelum Ketua Umum KAM, Jusup Handojo Ongkowidjaja, ditangkap dan kantor itu disegel polisi. Ketika itu, Ibnu tampak melakukan pembicaraan dengan Ongkowidjaja dan baru meninggalkan kantor pada tengah malam. Tak diketahui apa yang mereka bicarakan. Menurut sumber TEMPO adalah adik Ibu Tien Soeharto ini yang konon menyarankan agar Ongko menyerahkan diri saja kepada pihak yang berwajib. Pagi dinihari setelah Ibnu meninggalkan kantor, Ongko dengan ditemani pengacaranya memang mencoba menyerahkan diri di kantor Kodam Jaya dan Skogar, tapi gagal (lihat Ia Akhirnya Menyerah). Malah ketika keesokan sorenya, Rabu, Ongkowidjaja berangkat memenuhi undangani polisi ke kantor Polda Metro Jaya -- untuk selanjutnya masuk sel -- -yang mengantarkannya adalah Ibnu Haardjanto jua. Padahal, sesungguhnya, di dalam dua akta notaris pembentukan yayasan itu, nama Ibnu Hardjanto sama sekali tak tercantum. Hanya saja, dalam suatu konprensi pers KAM di gedung Press Club, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, 27 Desember 1987 Ibnu hadir dan diperkenalkan sebagai pencipta gagasan tabung-pinjam itu bersama Jusup Ongkowidjaja. Ibnu Harjanto adalah doktor sosial politik dari Universitas Saweri Gading, Jakarta. Tesisnya tentang persatuan dan kesatuan bangsa sebagai sokoguru negara. Untuk menjelaskan hubungannya dengan KAM dan Ongkowidjaja, 8 Februari lalu, Bachtiar Abdullah dari TEMPO mewawancarai tokoh ini. Ketika itu Ibnu sedang menghadiri Munas luar biasa Kiara (Karyawan Inti Antar-Rakyat), di Wisma Karya, Senayan. Dan diketahui sebagai ketua umum ormas itu. Berikut petikan wawancara itu: Kapan Anda pertama kali berkenalan dengan Jusup Handojo Ongkowidjaja? Dia itu teman lama. Saya pertama bertemu dia sekitar awal 1975-an. Waktu itu saya kok agak lupa apa dia sudah jadi pendeta atau belum. Tapi waktu itu dia sudah banyak berceramah, seperti penginjil, gitu. Pertemuan itu dalam urusan apa? Yang jelas dalam urusan bisnis. Di Yayasan KAM sendiri Anda duduk sebagai apa? Saya hanya sebagai anu, penasihat pribadi Pak Ongko. Di akta notaris KAM nama Anda 'kan sama sekali tak tercantum? Saya kira memang 'ndak ada. Kok ada yang mengatakan bahwa Anda sebagai komisaris atau ketua umum yayasan itu? Salah itu. Ide KAM itu sendiri dari siapa? Kalau di negara lain ada, ya mungkin saja ada. Tapi di sini, idenya dari kami berdua. Kapan ide itu muncul? Sebetulnya sudah sejak berapa tahun lalu kami membicarakan membentuk KAM ini. Cuma memang sebenarnya saya sarankan kepada Pak Ongko untuk mengurus perizinannya dulu. Waktu itu sudah disetujui ada kerja sama dengan sebuah koperasi, ternyata koperasi itu mengundurkan diri. Padahal, KAM sudah telanjur melangkah. Kami rundingkan untuk menggunakan sistem yayasan saja, ya to? Itu sudah lama. Katanya KAM akan ditutup, komentar Anda? Lho, itu wewenang pemerintah, 'kan? Kalau secara program saya lihat itu positif, ini 'kan upaya saya mengumpulkan dana dari anggota secara bergotong-royong. Kalau Porkas masih mengandung unsur untung-untungan, ini 'kan tidak. Karena sudah pasti dapatnya, ya to? Tapi itu 'kan tergantung pemerintah. Berbeda dengan Iskandar Subandi. Nama ini jelas tercantum di akta notaris J.L. Waworuntu yang dibuat 11 Desember 1987. Di situ Raden Iskandar Subandi disebut sebagai pendiri dan pembina yayasan. Bila isi akta itu benar berarti pada saat mendirikan KAM, 1 Juni 1987, Iskandar Subandi masih menjabat Kepala Rumah Tangga Bina Graha. Letkol. ini pensiun pada Desember 1987, dan kini dia lebih sering tinggal di rumahnya di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Dalam acara konperensi pers KAM, di gedung Press Club, sepert. yang sudah disebut di atas, Iskandar sempat menyatakan kebulatan tekadnya sebagai pendukung KAM. Sabtu pekar lalu, Moebanoe Moera dari TEMPO sempat mewawancarainya. Nukilannya: Mengapa Anda jadi pengurus KAM? Itu karena permintaan Ongko dan Pak Ibnu Hardjanto. Apa yang Anda ketahui tentang KAM? Sungguh saya tidak tahu apa-apa. Kecuali membaca berita-berita dari koran, lebih dari itu saya tak tahu lagi. Wong sejak pertama kali ditarik yayasan sampai sekarang, saya belum akti apa-apa, kok. Kenapa bisa demikian? Karena memang belum ada petunjuk dari Ongko. Saya masih menunggu itu. Dan saya sampai sekarang diam saja. Kalau ikut-ikutan, nanti bisa-bisa malat ngawur. Ya, 'kan? Selama ini saya baru sekali ke kantor KAM, yaitu tak lama setelah konperensi pers itu. Dan itu pun saya tak ketemu Ongko. Selama itu pula saya tak pernah kontak telepon dengar Ongko maupun dengan Pak Ibnu Hardjanto. Apa hal itu karena Anda curiga pada Ongko? Tidak. Wong saya tidak tahu, kok, jadi saya tidak curiga. Hanya memang pernah saya pesankan pada Ongko bahwa saya bersedia duduk di yayasan itu bila Ongko tidak menyeleweng. Saya juga mengingatkan agar surat izin itu dilengkapi. Apakah sekarang Ongko menyeleweng? Saya tidak tahu. Anda 'kan duduk dalam yayasan dengan dikukuhkan notaris Konsekuensi apa saja yang sudah Anda terima dari yayasan? Sepeser pun saya tak pernah terima. Apalagi yang namanya pake kredit. Selaku pengurus KAM, apakah Anda sudah diperiksa polisi? Belum. Tapi, seandainya harus diperiksa, saya siap. Akan saya jelaskan seperti apa yang saya katakan sekarang ini kepada Anda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo