LAIKNYA sebagai orang tempur, Kopral Satu Sujono, 34 tahun, tak gentar mati. Di depan majelis hakim yang memvonisnya hukuman mati, Jumat sore pekan lalu, anggota Yonif Linud 503 Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur, ini menyatakan siap ditembak. "Saya terima putusan hakim," katanya dengan suara keras dan tegas. Ia, bahkan, tak terbujuk saran penasihat hukumnya untuk menggunakan hak banding. "Saya juga mengucapkan terima kasih kepada penasihat hukum yang telah meminta saya untuk banding. Tapi, saya tidak mau. Saya terima putusan ini," katanya lantang. Ucapannya itu, tentu saja, membuat pengunjung sidang di Mahkamah Militer III-12 Surabaya itu terkesima. Apalagi mendengar ucapan Sujono selanjutnya. "Bila saya nanti menjalani hukuman mati, jasad saya akan saya berikan kepada mereka yang memerlukannya. Untuk kemanusiaan." Karuan saja, para pengunjung pada berdecak. Luar biasa. "Dia memang tiada duanya," kata seorang teman sekesatuannya, yang sengaja hadir. Ketua Majelis Hakim Letkol. CHK Mudjijo menganjurkan Sujono minta maaf kepada keluarga korban, yang hadir di sidang. Sujono menoleh ke kursi pengunjung. Tapi, ketika ia mengulurkan tangan ke Nyonya Matali, ibu kandung Hari Wiyono -- salah seorang dari tiga korban yang dibantainya -- ibu itu tak kuasa menahan emosinya. "Tidak," seru Nyonya Matali sembari menangis dan lari menjauh. "Aku tak akan memaafkan pembunuh anakku." Itulah klimaks persidangan kasus pembunuhan terhadap tiga orang calon tamtama ABRI, yang berlangsung secara maraton sejak empat hari berselang. Kepada TEMPO Sujono mengatakan, sikapnya itu sudah dipikirkannya masak-masak. "Kalau toh banding atau sejenisnya, itu hanya akan mengulur-ulur waktu saja," katanya. Ia, katanya, benar-benar sudah siap mati. "Itu suratan takdir saya." Tidak menyesalkah Kopral Sujono? "Waktu membunuh, memang tidak," jawabnya pelan. Tapi belakangan, katanya, ia menyesal juga. "Saya membayangkan, seandainya anak saya dibunuh," kata ayah empat anak ini berterus terang. Sujono terbukti bersalah membunuh tiga korban "calon tamtama ABRI", masing-masing Mulyo Santoso, 22 tahun, Hari Wiyono, 22 tahun, dan Mohammad Sholeh, 18 tahun. Mayat Mulyo, dalam keadaan rusak dan telapak tangan terkelupas, ditemukan di Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur, pada Agustus 1986. Sedangkan mayat Hari di Desa Panjer, Kecamatan Pungging, Mojokerto, sebulan kemudian. Dan Mohammad Sholeh ditemukan di Desa Lebaksono, Pungging, pada 1987. Semuanya ditemukan di pematang sawah, dalam keadaan telanjang bulat, dan mengenaskan. Penuh bacokan. "Saya memang membunuhnya dengan celurit dan parang," kata Sujono. Pembunuhan itu bermula dari pulang kampungnya Sujono, yang masuk ABRI 1974, ke Desa Semboro, Kecamatan Tanggul, Kabupaten Jember. Di kampungnya itu, ia menawari warga untuk masuk ABRI. Tentu saja, dengan persyaratan, ada uang pelicin antara satu dan dua juta rupiah. Penawaran menarik itu menarik perhatian teman-teman sedesanya. Mereka, di antaranya tiga korban, bergegas mendaftarkan diri kepada Sujono, yang dibantu Saijo, seorang tukang cukur -- masih paman Sujono. Ada yang menjual motor, sawah, dan barang berharga lainnya. Ternyata, setelah menyerahkan pelicin itu, tiga dari pemuda itu dibantai Sujono. Di persidangan, Sujono terbukti menipu sepuluh calon tamtama, termasuk ketiga korban pembunuhan tadi. Dari mereka, Jono mengaku berhasil meraup uang Rp 12 juta. "Tapi, saya hanya terima Rp 5,4 juta," katanya. Sebagian dari uang itu dipergunakannya untuk merenovasi rumahnya di kampung dan, "Sisanya saya serahkan Ngadimun," katanya kepada majelis. Orang yang disebutnya terakhir itu adalah Wakil Komandan Peleton di Yonif 503 Mojosari di Mojokerto. "Dia itu atasan saya. Dialah yang menyuruh saya. Jadi, ya, dia itulah otaknya," kata Sujono. Ia bersedia melaksanakan permintaan atasannya, katanya menambahkan, karena Ngadimun berjanji akan bertanggung jawab. "Di samping itu, ya, karena mudah mendapat duit," kata Sujono, yang sudah empat kali ditugaskan ke Timor Timur dan mendapatkan satya lencana bintang Seroja itu. Tapi, di persidangan, Ngadimun membantah. Dia mengaku hanya menerima uang Rp 210 ribu. "Itu sekadar untuk uang rokok," kata Ngadimun. "Saya sama sekali tak tahu-menahu soal pembunuhan itu." Kendati membantah, Sersan Satu Ngadimun itu, rencananya, tetap akan diajukan ke meja hijau, awal tahun depan, dengan tuduhan sebagai otak pembunuhan. Benarkah Kopral Sujono sekadar bawahan yang menjalankan perintah atasan? Masih harus ditunggu. Yang pasti, sebagai pelaku pembunuhan, menurut mahkamah, Sujono terbukti bersalah, dan pantas dihukum mati. Menurut Ketua Majelis Mudjijo, kopral itu sudah tidak patut hidup di dunia. "Dia telah membunuh manusia seperti tikus-tikus di sawah. Dia pembunuh berdarah dingin. Saya heran, kok, ada manusia macam itu. Tidak menyesal lagi," tambah Mudjijo, yang pekan ini akan menjabat Ketua Mahkamah Militer di Ambon. Suratan takdir Sujono, sementara ini, agaknya, ada di tangan bedil. Ia sudah sadar bakal dihukum mati, sehari menjelang vonis. Makanya, Sujono lantas memilih tidak salat dulu. "Saya akan minta ampun kepada Tuhan, nanti, kalau sudah dekat dengan masa menjelang pelaksanaan eksekusi," kata Kopral Sujono. Herry Mohammad dan Agus Basri (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini