WAH, jika kantor Mabes Polri disita pengadilan, bisa-bisa kami bikin kemah untuk kantor," gurau Direktur Reserse Mabes Polri Brigjen. Pol. Koesparmono Irsan. Pasalnya, pekanpekan ini, Mabes Polri memang lagi digugat seorang warga negara Muanthai, sekaligus pemilik kapal dagang berbendera Panama MV Cherry Navee, Nyonya Suratporn Chullasophonsri alias Noi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Melalui Pengacara Prof. Hasbullah Bakry, Nyonya Noi menuduh Polri, sejak Juni tahun lalu, telah menahan dan menyita kapal dagangnya itu secara tidak sah. Noi menuntut Mabes Polri dan Syahbandar Tanjungpriok agar segera mengembalikan kapal tersebut dan membayar ganti rugi -- bukan main -- Rp 17 milyar lebih. Berdasar itu. Noi juga menwntut agar pengadilyi menjatuhkan sita jaminan terhadap Gedung Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Kendati tak tertutup upaya damai, menurut Prof. Hasbullah, gugatan itu perlu untuk pelajaran bagi polisi. "Gugatan ini bukan semata-mata soal ganti rugi. Tapi juga pelajaran agar lembaga penyidik jangan sampai tetap menyita barang berharga, sehingga seakan-akan sudah putusan terakhir dari pengadilan," kata Hasbullah yang juga bekas perwira polisi. MV Cherry Navee, yang sedang lego jangkar di pelabuhan Tanjungpriok, pada 12 Juni silam, dicurigai Mabes Polri sebagai kapal MV Zodiace Ace 111 dan MV Narai, yang disewa beberapa perusahaan nasional pada September dan Oktober tahun 1987, untuk mengangkut sekitar 5.000 m3 kayu lapis dan 1904 m3 particle board ke Cina. Ternyata, kedua kapal itu menghilang dan tak pernah sampai ke alamat yang dituju. Melalui Syahbandar, Mabes Polri melarang Cherry Navee meninggalkan Tanjungpriok, sewaktu kapal itu hendak bertolak ke Singapura. Pihak Mabes, yang menggeledah kapal itu, kemudian menyita 27 paspor awak kapal, dokumen-dokumen, dan muatan kapal berupa sekitar 5.000 ton semen, milik Hing Lung Company-Hong Kong. Tapi sampai Oktober tahun 1987, proses pemeriksaan yang telah memakan waktu selama 108 hari itu tak juga jelas. Bahkan penahanan dan penyitaan kapal itu, ternyata tak dilengkapi surat-surat sah. Itu sebabnya, Nyonya Noi -- yang kini berada di Bangkok -- mempraperadilankan Mabes dan Syahbandar. Hakim Sjaiful Lubis di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, 10 Oktober lalu, menyatakan penyitaan itu tidak sah. Selain itu, pengadilan juga menghukum Mabes untuk membayar ganti rugi Rp 500 ribu, dan mengembalikan Cherry Navee kepada pemiliknya (TEMPO 22 Oktober 1988). Toh pihak Mabes, yang tetap curiga bahwa kapal itu digunakan untuk kejahatan, tak mematuhi putusan praperadilan. Bahkan pada 27 Oktober 1988, sesuai dengan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Mabes melanjutkan penyitaan atas kapal tersebut. Berdasarkan itu semua, pengacara Nyonya Noi, Prof. Hasbullah Bakry, menganggap Mabes Polri dan Syahbandar telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Selain itu izin penyitaan dari pengadilan Jakarta Pusat, katanya, juga keliru. Sebab obyek perkara berada di Jakarta Utara. "Para tergugat telah menyalahi ketentuan hukum acara, KUHAP. Sebab, sampai lebih dari dua bulan, polisi tak juga berhasil melimpahkan kasus itu ke pengadilan," kata Hasbullah. Akibat berlarut-larutnya penyitaan itu, masih kata Hasbullah, kliennya menderita kerugian Rp 17 milyar lebih. Jymlah itu terdiri dari: biaya pemeliharaan dan perawatan kapal, biaya hidup dan gaji para awak, dan ongkos transpor pengembalian mereka ke Bangkok, sekitar Rp 2,7 milyar kehilangan hasil pengangkutan sekitar Rp 8 5 milyar dan sekitar Rp 3 milyar merupakan kerugian moril. Adapun soal tuduhan pidananya, menurut Hasbullah, hingga kini cuma ada seorang saksi, yakni bekas Mualim I Cherry Navee, seorang warga negara Filipina, Ricardo A. Lobaton. "Nyonya Noi mengaku sama sekali tak tahu-menahu kasus itu. Begitu pula riwayat kapal itu, karena ia membelinya dari broker internasional?", ujar Hasbullah. Nyonya Noi, ketika dihubungi Yuli Ismartono, wartawan TEMPO di Bangkok, mengaku, Maret 1988, melalui seorang agen, membeli Cherry Navee seharga US$ 420 ribu dari Perusahaan Cherry Pine Shipping Ltd di Singapura. "Kapal itu saya beli dengan prosedur yang sah. Surat-surat dan dokumennya sudah saya tunjukkan kepada polisi Indonesia, bahkan polisi juga telah mengeceknya ke Singapura. Tapi saya kecewa sekali, kenapa polisi tetap saja menahannya," kata Nyonya Noi. Ibu tiga orang anak itu juga mengaku, selama Cherry Navee menjadi miliknya, tak pernah ia melakukan suatu tindakan melanggar hukum. "Saya tak tahu sama sekali masalah perusahaan ataupun nama Narai," ucapnya. Sementara itu, pihak Mabes Polri menganggap gugatan itu tak beralasan. "Kapal itu tak lain dari MV Narai, yang diduga mengangkut kayu lapis yang hilang itu,' kata Brigjen. Pol. Koesparmono Irsan. didampingi Kasdispen Polri Brigjen. Pol. T. Guntar Simanjuntak. Cherrv Navee, katanya, diduga terlibat kejahatan penggelapan, pencurian, dan penyelundupan kayu lapis. "Kejahatan itu berindikasi subversi dan diorganisir suatu sindikat kejahatan internasional," tambah Simanjuntak. Menurut Simanjuntak, polisi telah mengusut kasus itu sejak akhir 1987. Ketika itu, MV Zodiace Ace, yang mengangkut 2.977 m3 kayu lapis dari Pontianak ke Hong Kong, dinyatakan hilang. Setelah itu, MV Narai, yang mengangkut 2.000 m3 kayu lapis dan 1.904 m3 particle board dari Padang ke Cina, juga raib. Sebetulnya, tak hanya dua kapal itu yang, dikabarkan, hilang sewaktu mengangkut kayu lapis milik para eksportir di sini. Menurut Ketua Apkindo Bob Hasan, tiga kapal lainnya, MV Anggro berbendera Panama, Olympic berbendera Honduras, dan Searex berbendera Honduras juga bernasib sama. Ketiga kapal itu, masingmasing mengangkut 3.701 m3 kayu lapis, 500 m Daricle board. dan 1 900 m3 kayu lapis, untuk tujuan Cina dan Taiwan -- tapi tak pernah sampai (TEMPO, 18 Maret 189). Berdasarkan pemeriksaan, kata Simanjuntak, tulisan pada nama Cherry Navee menampakkan bekas-bekas tulisan nama lain, seperti Zodiace Ace 111, Narai, dan Paknam Slar. Selain itu, lambung kiri dan tumpukan kayu penyangga Cherry Navee persis sama dengan keadaan fisik Zodiace Ace 111. Sementara itu, cerobong asapnya sama dengan keadaan Narai. Selain itu, masih manurut Simanjuntak, bekas Mualim I Narai Ricardo A. Lobaton, yang ditangkap di Samarinda pada 26 Oktober 1988 juga telah mengakui kejahatan itu. Ricardo, konon, mengaku bahwa kayu lapis sebanyak 2.000 m bernilai Rp 3 milyar, yang diangkut MV Narai dari Padang, dijual di Singapura. Ricardo sendiri mengaku diberi imbalan US$ 3.000 dari hasil kejahatan itu. Setelah itu, Narai berlayar ke Bangkok, untuk kemudian berubah nama menjadi Paknam Star, sebelum menjadi Cherry Navee. Sebab itu pula, Mabes Polri akan terus menyidik kasus itu hingga tuntas, termasuk mencari pemilik asli kapal Cherry Navee itu. "Terlepas ada-tidaknya gugatan itu," ucap Simanjuntak. Tapi bisakah kantor Mabes Polri disita jaminan? Menurut M. Yahya Harahap, seorang praktisi hukum, sita jaminan tak bisa dikenakan terhadap barang milik negara, seperti gedung Mabes Polri tersebut. Sebab, "Bertentangan dengan kepentingan umum," ujarnya. Kalau tidak, "Nanti Istana Negara pun bisa disita. Bisa rusak negara ini."Happy Sulistyadi, Moebanoe Moera, dan Muchsin Lubis (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini