SAMPAI pekan lalu, belum ada satu pun putusan dari Pusat tentang kawin campuran, setelah Kantor Catatan Sipil Jakarta menolak pernikahan antara pria Islam dan wanita non-Islam. Sementara ketentuan belum turun, para sejoli yang ingin mengikat janji di kantor yang mengurus perkawinan itu pada berguguran. Padahal, sebagian di antara mereka sebelumnya sudah mendapat izin dari pengadilan negeri -- sesuai dengan ketentuan Kantor Catatan Sipil -- untuk menikah tidak menurut agama dan keyakinan masing-masing. "Sampai kini kami memang tidak bisa melayani pernikahan pasangan yang demikian -- sejak ketentuan itu berlaku -- sampai ada petunjuk atau keputusan dari Pusat," ujar Kepala Subbagian Tata Usaha Kantor Catatan Sipil Jakarta, H Soekarno. Memenuhi tuntutan Majelis Ulama (MUI) DKI. Kantor Catatan Sipil, yang selama ini menerima pernikahan antargolongan agama, memang sejak Agustus lalu menutup pintu bagi lelaki Muslim yang membawa pasangan lain agama. Sebab, menurut MUI, kelonggaran yang diberikan kantor itu untuk mengawinkan umat Islam dengan umat beragama lain bertentangan dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1/1974). Pasal itu memang menyebutkan bahwa pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Karena itu, MUI memprotes tindakan Kantor Catatan Cipil yang membuka "pintu darurat" bagi pasangan-pasangan beda agama untuk menikah -- walau ada izin dari pengadilan. Pada 1985, menurut buku di Kantor Catatan Sipil Jakarta, misalnya, terdapat 112 pasangan lelaki Islam dan wanita non-Islam dan 127 pasangan sebaliknya, yang menempuh jalan darurat itu untuk menikah (TEMPO, 1 November). Tentu saja, tertutupnya pintu darurat itu mengagetkan para pasangan yang tidak mungkin melaksanakan hajat mereka di gereja atau di masjid (Kantor Urusan Agama Islam). Sampai awal bulan ini, tidak kurang dari 30 pasangan semacam itu yang ditolak menikah di Kantor Catatan Sipil Jakarta. Hal itu tidak saja membuat kecewa mereka yang baru hendak menikah pekan-pekan ini, tapi juga membuat panik pasangan-pasangan yang sudah mendapat izin pengadilan, dan mereka yang sudah mengurus prosedur panjang untuk "kawin campuran" itu sejak beberapa bulan lalu. Berikut ini cerita pasangan beda agama yang menemui jalan buntu setelah berbulan-bulan mereka keluar masuk pengadilan, kantor agama, dan Kantor Catatan Sipil hanya untuk sekadar mendapat surat nikah. Soedarmaji dan Yayuk. Soedarmaji, 34, karyawan sebuah industri mobil di Pulogadung, Jakarta, sejak empat tahun lalu sudah mengikat tali kasih dengan Yayuk Sri Rahayu. Kebetulan Soedarmaji, yang berkulit hitam manis itu, anak seorang haji. Calon istrinya, Yayuk, 30, keturunan Cina dan beragama Katolik. "Kami sudah lama mempersiapkan pernikahan ini -- bahkan rumah untuk keluarga sudah kami siapkan sejak delapan bulan lalu di Bekasi," kata Soedarmaji. Tapi itulah, halangan dalam bentuk perbedaan agama, ternyata, tidak mudah diterobos. Keluarga Soedarmaji, yang konon terdiri dari banyak haji, tentu saja tidak merelakan anggotanya menikah di gereja. Sementara itu, Yayuk juga tidak ingin menikah secara Islam. "Saya memang tidak ingin memaksa Yayuk, karena -- bagi saya -- urusan agama adalah urusan seseorang dengan Tuhannya," kata Soedarmaji. Sebab itu, sejak Juli lalu, kedua calon pengantin itu mengajukan permohonan menikah ke Kantor Catatan Sipil Jakarta. Ternyata, mereka dikirim lebih dulu ke Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP-4) Jakarta Selatan. Lembaga ini menyarankan mereka menikah secara Islam -- jalan yang sejak semula tidak ingin mereka tempuh. Mereka kembali lagi ke Kantor Catatan Sipil, sekitar akhir Juli, tapi kantor yang mengurusl perkawinan antaragama itu menolak dan menyarankan mereka menuruti saran BP-4. Ada jalan lain yang ditunjukkan: meminta izin pengadilan. Yayuk dan Soedarmaji mengikuti petunjuk yang terakhir: mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim Djadi Widojo, awal Oktober, mengabulkan permohonan mereka. Menurut Hakim Widojo, dalam pertimbangannya, prosedur untuk pasangan seperti itu memang belum diatur Undang-Undang Perkawinan. Sebab itu, hakim, sesuai dengan ketentuan penutup undang-undang itu, terpaksa memberlakukan undang-undang peninggalan Belanda: Ketentuan Perkawinan Campuran, 1898, yang memperkenankan pasangan seperti itu menikah di Kantor Catatan Sipil. Tapi apalah artinya penetapan Djadi Widojo. Sebab, ketika Soedarmaji dan Yayuk kembali ke Kantor Catatan Sipil, ternyata kantor itu sudah menutup pintu untuk mereka. Sebab, sebelum penetapan itu keluar, instansi itu sudah memutuskan tidak akan lagi menikahkan lelaki Islam dengan wanita non-Islam. "Kalau memang putusannya akan begitu, buat apa saya disuruh mengurus izin pengadilan ? Buat apa pula pengadilan menyidangkan saya -- 'kan saya sudah kehilangan banyak waktu untuk urusan yang berbelit ini? Sekarang ke mana saya harus mengurus lagi?" kata Soedarmaji, sambil tersandar putus asa di bangku di depan pengumuman Kantor Catatan Sipil, dua pekan lalu. Imannullah Riyadi dan Meita Suganda. Cerita yang sama juga dialami pasangan ini. April lalu, Riyadi, 23, yang Islam itu berniat menikahi Meita, 21, Katolik. Mereka berdua datang ke Kantor Catatan Sipil Jakarta. Tapi, seperti juga pasangan lain, mereka disarankan minta nasihat lebih dulu ke BP-4. "Selama dua bulan saya dinasihati di sana dan disuruh mikir," kata Riyadi, yang bekerja di Pasar Swalayan Golden Truly, Pasar Baru, Jakarta. Akhirnya BP-4 memberi mereka tiga buah surat. Sebuah untuk Kantor Catatan Sipil, satu untuk KUA, dan yang lain untuk pengadilan. Karena KUA menolak pasangan yang berbeda agama, mereka akhirnya minta izin ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hakim Setiawan yang memeriksa kasus itu, 23 Oktober lalu, mengizinkan mereka menikah. Berbekal surat penetapan pengadilan, pekan lalu, mereka kembali melapor ke Kantor Catatan Sipil. Tapi, kali ini, yang mereka dengar dari kantor itu mengagetkan: pintu untuk mereka sudah ditutup. "Apa tidak baca TEMPO? kata Imannullah, menirukan ucapan petugas Kantor Catatan Sipil menolak mereka. Akibatnya, pasangan itu kini terpaksa "kumpul kebo" di rumah orangtua Imannullah di bilangan Roxy, Jakarta. "Sudah dua bulan mereka tinggal di sini. Apa bukan keadaan yang begini ini yang menimbulkan kumpul kebo?" kata M. Safrie, ayah Imannullah, putus asa. Tapi bukan hanya pasangan-pasangan beda agama itu saja yang bingung akibat ketentuan baru dari Kantor Catatan Sipil itu. Hakim Setiawan, yang sebelumnya mengizinkan Imannullah dan Meita menikah, juga bingung mendengar penolakan KCS itu. "Kalau begitu saya tidak tahu. Lazimnya kalau penetapan pengadilan tidak diterima, pihak yang merasa dirugikan bisa kasasi," kata Setiawan. Kebingungan itu agaknya memang akan berlarut-larut sampai ada kata putus dari Pusat -- seperti diharapkan Kantor Catatan Sipil Jakarta. Sementara itu, pasangan-pasangan yang gagal menikah karena berbeda agama setiap hari bertambah. Apalagi Ketua Umum MUI, K.H. Hasan Basri, awal bulan ini menyerukan kepada pemerintah agar menghentikan semua perkawinan antara orang Muslim dan non-Muslim. "Sebab perkawinan antaragama itu lebih nyak mudaratnya daripada manfaatnya," kata Hasan Basri, dalam pertemuannya dengan Menteri Agama Munawir Sjadzali dan Menko Kesra Alamsyah, belum lama ini. Pemerintah tampaknya memang harus mencarikan jalan keluar. Sebab, faktanya, cinta antaragama sulit dihindarkan. Tapi memang tak mudah. "Maaf, saya belum bisa menjelaskan, sebab soal itu masih diteliti oleh sebuah tim," seperti ujar Menko Kesra Alamsyah, awal pekan ini. Masalah itu kini memang lagi digodok antardepartemen -- di antaranya melibat Departemen Agama, Departemen Kehakiman, dan Departemen Dalam Negeri. "Pihak kami sendiri memang sedang membahas soal itu dengan mendalam. Menteri hanya berpesan, agar soal itu jangan dibesar-besarkan, sebab masalahnya sungguh peka," kata juru bicara Mendagri, Feisal Tamin. Lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung, juga tengah membicarakannya. Pekan lalu, misalnya, di situ diadakan rapat pimpinan untuk membahas soal itu. Konon, ada perbedaan pendapat di antara hakim agung tentang perlunya lembaga itu mengatur kawin campuran atau tidak. "Yang jelas, sampai sekarang soal itu masih dalam tingkat pembahasan, belum sampai keputusan," ujar Wakil Ketua Mahkamah Agung Purwoto S. Gandasubrata. Semoga tak buntu -- setidaknya cepat ada kepastian, agar cinta berkembang sesuai dengan hukum. Karni Ilyas Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini