Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Isu penculikan muncul karena polisi diduga melanggar prosedur penangkapan.
Diduga kriminalisasi terhadap masyarakat adat itu berhubungan dengan konflik lahan.
Polisi tidak bisa menangkap seorang tersangka apabila tidak ada pemeriksaan dan surat perintah dimulainya penyidikan.
KABAR penculikan terhadap lima anggota komunitas masyarakat adat Lamtoras Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, menyebar dengan cepat di dunia maya. Isu penculikan itu muncul karena kelompok yang datang ke perkampungan adat tidak jelas identitasnya. Mereka datang tiba-tiba pada dinihari dan pergi begitu saja membawa “korban”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan diketahui, lima warga yang “diculik” itu ternyata berada di Kepolisian Resor Simalungun. Mereka ditangkap berdasarkan dua laporan. Laporan pertama bernomor LP/B/518/VII/2022/Polres Simalungun/Polda Sumatera Utara tanggal 19 Juli 2022. Pelapor adalah Rudi Haryanto Panjaitan, pemimpin humas PT Toba Pulp Lestari (TPL). Laporan ini berhubungan dengan perusakan tiga mobil pada 18 Juli 2022.
Sedangkan laporan kedua bernomor LP/B/128/V/2024/SPKT/Polres Simalungun/Polda Sumatera Utara pada 14 Mei 2024 perihal dugaan penganiayaan terhadap seseorang bernama Sardi Samuel Sinaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, Syamsul Alam Agus, melihat sejumlah kejanggalan dalam penangkapan dan penetapan tersangka oleh Polres Simalungun tersebut. Sebab, warga yang ditetapkan menjadi tersangka tidak pernah melalui proses hukum, seperti pemanggilan untuk klarifikasi, pemeriksaan sebagai saksi, dan tidak pernah diberi panggilan ataupun penetapan tersangka.
Masyarakat adat Sihaporas bersama kuasa hukum merumuskan langkah-langkah yang akan dilakukan menyikapi penculikan terhadap lima orang anggota masyarakat adat Sihaporas. Dok.PPMAN
Kejanggalan itu membuat Syamsul menduga bahwa penangkapan terhadap masyarakat adat Sihaporas berhubungan dengan konflik agraria antara penduduk dan PT TPL. Sebab, belakangan ini masyarakat makin gencar menuntut perusahaan soal pengembalian tanah adat mereka yang dijadikan area konsesi.
Menurut Syamsul, polisi datang ke perkampungan masyarakat adat pada 22 Juli 2024, ketika penghuni kampung sedang terlelap. “Penggerebekan dan penangkapan itu menyalahi prosedur,” katanya kemarin, Rabu, 24 Juli 2024. Tindakan itu melanggar Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. “Fakta tersebut setidaknya dibuktikan bahwa penyidik tidak memperlihatkan surat tugas dan surat perintah penangkapan kepada tersangka.”
Selain itu, kata Syamsul, dalam menjalankan tugas negara, kepolisian melibatkan orang-orang yang diduga preman serta menggunakan fasilitas milik PT TPL berupa satu unit mobil Strada dan satu unit truk Cold Diesel. Padahal pada Pasal 17 KUHAP dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 ditegaskan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, melainkan ditujukan kepada individu yang betul-betul melakukan tindak pidana.
Syamsul juga menyoroti tindakan polisi yang menangkap orang secara acak. Mengingat ada seorang warga yang juga dibawa ke kantor polisi dan akhirnya dilepas karena tidak terbukti terlibat dalam tindak pidana yang disangkakan.
Penegakan hukum terhadap tersangka tindak pidana oleh kepolisian telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Dalam Pasal 16 ayat 1 disebutkan, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. Lalu pada ayat 2 disebutkan, untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.
Dalam Pasal 17 disebutkan perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Kemudian, Pasal 18 ayat 1 menyebutkan pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Polri dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka serta menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat pemeriksaan.
Masih pada pasal yang sama ayat 2, dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Kemudian, pada ayat 3 disebutkan, tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Adapun dalam Pasal 19 ayat 1 dinyatakan penangkapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan paling lama satu hari. Kemudian di ayat 2 dijelaskan, terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.
Kepala Polres Simalungun Ajun Komisaris Besar Choky Sentosa Meliala mengatakan polisi masih mendalami dugaan keterlibatan pelaku lain dalam kasus yang menyeret lima warga masyarakat adat Sihaporas itu. “Untuk para pelaku terlibat dalam dua laporan polisi tentang tindakan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang atau barang di depan umum,” katanya melalui keterangan tertulis.
Menurut dia, kejadian bermula ketika korban Rudy Haryanto Panjaitan bersama Jhon Binholt Manalu dan Reza Adrian, saat hendak menyingkirkan kayu yang menghalangi jalan di Camp RND PT TPL Sektor Aek Nauli, diserang oleh sekitar 100 orang menggunakan batu serta kayu yang dililit kawat berduri. Kejadian itu menyebabkan korban mengalami luka.
Dok.PPMAN
Pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Fatahilah Akbar, mengatakan kepolisian memiliki dua prosedur penangkapan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Pertama, tertangkap tangan. Prosedur ini dijalankan ketika seseorang ditangkap saat sedang melakukan tindak pidana. “Melihat kasus di Simalungun, sepertinya dugaan pengeroyokan dan penangkapan waktu berbeda. Jadi tidak memenuhi kriteria tertangkap tangan,” ujarnya.
Kemudian, kedua, penangkapan dengan surat. Dalam konteks ini, kata Fatahilah, harus dijelaskan alasan-alasan penangkapan dan keluarga harus menerima salinan surat. Jika bener-benar tidak ada surat, penangkapan itu tidak memenuhi syarat.
Dia menjelaskan, polisi tidak bisa menangkap seorang tersangka apabila tidak ada pemeriksaan dan surat perintah dimulainya penyidikan. Apabila tetap dilakukan, penangkapan tersebut tidak sah dan bisa digugat melalui praperadilan.
Untuk kasus yang melibatkan masyarakat adat Sihaporas, Fatahilah berpendapat bahwa penangkapan yang dilakukan polisi berpotensi melanggar prosedur karena tidak ada surat penangkapan, penyidikan, dan syarat lainnya. “Harus dilihat kasusnya secara detail. Namun, penangkapan dengan surat, ada prosedur-prosedur yang harus dipenuhi. Surat penangkapan, penyidikan, dan sebagainya harus jelas,” ucapnya.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan penangkapan langsung hanya boleh dilakukan terhadap tersangka yang tertangkap tangan atau sedang melakukan tindak pidana atau seseorang yang dipanggil dua kali tapi tidak datang. “Jika tidak sedang melakukan atau tidak sedang dipanggil, penangkapannya tidak sah dan bisa dituntut melalui praperadilan,” ujarnya.
Abdul Fickar berujar polisi tidak bisa menangkap orang tanpa pemanggilan dan pemeriksaan lebih dulu. Jika hal itu dilakukan, penangkapannya tidak sah.
Dalam kasus ini, dengan fakta seperti itu, kata dia, jelas kepolisian sudah berbuat melanggar hukum acara pidana. Melalui praperadilan, polisi bisa dituntut bahwa penangkapannya tidak sah dan dihukum membayar ganti rugi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo