Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tak lolos, mau apa lagi ?

Komite seleksi ffi 1987 mengumumkan 15 film pilihan untuk dinilai juri. disaring dari 53 film produksi 1986/87. penilaiannya, melihat film itu dengan segala unsurnya. ribut-ribut pun dimulai.

25 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI sudah mentradisi, Festival Film Indonesia (FFI) selalu disertai heboh, pada tahap awal ataupun akhir. Bermula ketika Komite Seleksi yang diketuai Fritz G. Schadt, Sabtu pekan lalu, mengumumkan 15 film pilihan untuk dinilai juri. Segera timbul kasak-kusuk, mengapa di antara 15 film yang lolos penyisihan tak tercantum karya sutradara Chaerul Umam. Katakanlah filmnya Bintang Kejora menjiplak cerita dari film asing The Rain Maker. Tapi Keluarga Markum? "Film yang punya kans meraih Citra ini dijegal Komite Seleksi," gumam seorang sutradara. Dengan dalih tak bisa membuka rahasia yang nantinya mempengaruhi dewan juri, Fritz dan delapan anggota Komite Seleksi lainnya tak mau menjelaskan kenapa Keluarga Markum terjegal. Dan kenapa, misalnya, film seperti Tahu Sama lahu atau Pesona Natalia lolos 15 besar. "Kami melihat film itu dengan segala unsurnya," kata Fritz. Yang dia maksud, kalau satu unsur saja yang kuat, walaupun secara keseluruhan film itu jelek, ya, lolos. "Anggota komite kali ini mempunyai penilaian yang kurang lebih sama, tak ada perbedaan pendapat yang ektrim," ujar Fritz. Lima belas film pilihan itu disaring dari 53 film produksi 1986/87. Mutu film, menurut Chalid Arifin, salah seorang anggota Komite Seleksi, "begitu-begitu saja." Memang tak jelas apa yang dimaksud, tapi bisa ditebak, Arifin mau menyebut film nasional kita mulai merosot (lagi) mutunya. "Itu yang menyebabkan jarang ada debat sengit. Filmnya segitu aja apa yang mau diperdebatkan?" ujar Arifin. Karena sulit mencari film bermutu, jatah 19 film unggulan tak bisa dipenuhi Komite Seleksi. Hal itu pula yang dikeluhkan Mohamad Sadikin Natadipura, sekretaris Komite Seleksi. "Mau apa lagi? Itu sudah hasil penilaian kami. Tugas kami sampai di sini," katanya. Ia mengemukakan beberapa contoh. Misalnya dalam sebuah film ada aktor bermain bagus, sementara film itu dari segala unsur lainnya semua jelek, juri tetap meloloskan. "Kalau tak kita masukkan, kasihan aktor yang bermain bagus itu," alasannya. Jika ke 53 film nasional itu betul-betul disaring dan dilihat sebagai sebuah karya film yang utuh, "barangkali cuma tiga film yang bisa dianggap layak," ini komentar anggota Komite Seleksi yang lain, Rima Melati. Karena itulah, komite kali ini emberikan angka tersendiri untuk film yang dianggap mempunyai bentuk lain. "Untuk merangsang insan film berkreasi dan membuat sesuatu yang baru," kata Rima. Apa "bentuk lain" itu, tak dijelaskan oleh Rima. Akan halnya Keluarga Markum, Rima berkata, "Kami semua sepakat, film itu belum layak untuk film pilihan." Bukan cuma satu atau dua unsur yang tak memenuhi syarat, tetapi banyak unsurnya tak memenuhi syarat. "Tunggu saja selesai FFI, akan saya beberkan semuanya," janji Rima, yang bermain cukup bagus dalam Biarkan Bulan Itu, karya Arifin C. Noer, satu dari 15 film yang diunggulkan itu. Penilaian memang tak bisa memuaskan banyak orang yang punya selera beragam. Permainan Ully Artha dalam Keluarga Markum ada yang menilai menonjol, melebihi misalnya, permainan Zoraya Perucha dalam film unggulan karya Wim Umboh Secawan Anggur Kebimbangan. Atau permainan Ikranagara tak begitu jelek dibandingkan El Manik dalam film unggulan garapan Imam Tantowi Menumpas Teroris. Lalu, skenario yang tangkas dari Asrul Sani dalam Keluarga Markum itu betul-betulkah tak memenuhi syarat? Dengan demikian, dewan juri FFI 87, yang diketuai Abdurrahman Wahid, punya pilihan yang terbatas karena target 19 film unggulan tak terpenuhi. Ini memang risiko yang bisa timbul karena adanya lembaga seleksi. Ia memang bisa dituduh menjegal film -- sampai heboh -- tapi juga berguna menyaring film-film sampah untuk meringankan tugas Dewan Juri. Lembaga ini juga yang sejak dua atau tiga tahun lalu dipertanyakan manfaat dan eksistensinya. P.S., Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus