Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gagasan untuk melahirkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Nasional, yang kini tengah dibahas DPR, lahir lebih setengah abad silam, yakni saat berlangsung Seminar Hukum Nasional I di Semarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gagasan lahir, antara lain, karena selain KUHP yang dipakai produk pemerintahan kolonial --yang sejumlah pasalnya juga tak bisa dilepaskan untuj kepentingan pemerintahan jajahan- juga perlu aturan dan rumusan baru bagi sejumlah delik pidana. Sumber KUHP adalah hukum Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku di Hindia Belanda sejak 1 Januari 1918.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam seminar yang berlangsung pada 1963 tersebut muncul berbagai masukan untuk “RKHUP asli Indonesia.” Antara lain, perlunya perluasan delik-delik kejahatan keamanan negara, ekonomi, juga kesusilaan.
Pemerintah merespon hasil seminar dengan membentuk sebuah tim perumus. Setahun kemudian terbentuk tim perumus RKUHP yang diketuai pakar hukum Universitas Diponegoro, Prof. Soedarto. Tim beranggota sejumlah pakar hukum terkemuka Indonesia. Mereka, antara lain, Prof. Roeslan Saleh (Universitas Gajah Mada), Prof. Moeljanto, Prof. Satochid Kartanegara, Prof Oemar Seno Adji (pakar hukum Universitas Indonesia yang kemudian menjadi Ketua Mahkamah Agung), juga J.E. Sahetapy dari Universitas Airlangga.
Beberapa tahun kemudian anggota tim ditambah, antara lain, dengan melibatkan Prof. Mardjono Reksodiputro, Karlinah Soebroto, Andi Hamzah, Muladi, Barda Nawawi, Bagir Manan. Soedarto memimpin tim hingga ia wafat pada 1986 dan kemudian digantikan Roeslan Saleh.
Tim perumus RKUHP sepakat tidak membuat KUHP sama sekali dari nol. Tim melakukan rekodifikasi KUHP Hindia Belanda, menghilangkan “Buku III,” dan membuat penjelasan setiap pasal. Soedarto juga meminta pandangan dua pakar hukum Belanda untuk memberi masukan RKUHP. Keduanya, yaitu Prof. D. Schaffmeister dari Universitas Leiden dan Prof. N. Keijzer dari Universitas Leiden.
Pada 1986 penyusunan Buku I yang berisi asas-asas dan penjelasan pasal-pasal selesai yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan Buku II, yakni dengan memasukkan pasal yang dinilai tim masih relevan ke dalam buku II (Buku yang mengatur tindak pidana berikut ancaman pidananya).
Saat Menteri Ismail Saleh menjadi Menteri Kehakiman ia meminta tim untuk segera menyelesaikan penyusunan RKUHP ini. Ismail dan Sunarjati Hartono -Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)- terus mengawal penyusunan RKUHP tersebut. Akhirnya pada 1993 Ketua Tim, saat itu dipegang Mardjono Reksodiputro menyerahkan naskah lengkap RKUHP kepada Ismail Saleh di kantornya. Mardjono menjadi ketua tim sejak 1987 hingga 1993.
Ketika Ismail lengser dan digantikan Oetojo Oesman, peraktis tidak ada kemajuan dalam pembuatan RKUHP itu. Bisa disebut, hampir selama lima tahun RKUHP ini hanya “ngendon” di Kementerian Kehakiman. RKUHP kemudian baru mengalami kemajuan lagi ketika Muladi menjadi Menteri Kehakiman. Muladi sempat mengajukan RKUHP ini ke Sekretariat Negara. RKUHP ini juga pernah diberikan ke DPR. Baru pada 2013 DPR secara intensif melakukan pembahasan RKUHP. Benny K. Herman dari Fraksi Demokrat memimpin Panitia Kerja pembahasan RKHUP.
Pada 5 Juni 2015 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Presiden berisi kesiapan pemerintah dalam membahas RKUHP. DPR dan Pemerintah sepakat merampungkan pembahasan itu dalam tempo dua tahun yaitu sampai akhir 2017 –yang akhirnya terlewati.
Baca: Pengesahan RKUHP Mundur.
Dengan perjalanan seperti ini, jika RKUHP yang terdiri sekitar 780 pasal itu disahkan pada 2018, maka berarti inilah rancangan undang-undang yang terbilang paling lama pembuatannya dalam sejarah bangsa ini. Jika dihitung dari Seminar Hukum Nasional I di Semarang, memakan waktu sekitar 55 tahun.
LESTANTYA R. BASKORO/Berbagai Sumber.