Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasar Belek, Sunter, Jakarta Utara, 11 November 2010.
PAGI itu Yulianti Chang tengah memilih-milih sayuran yang akan dibelinya ketika tiba-tiba dihampiri dua perempuan Cina. Dengan bahasa Mandarin, kedua perempuan yang memiliki rambut sebahu itu mengajak Yulianti menemui seorang sinse. Setelah itu, saya tidak ingat apa-apa lagi, kata janda 54 tahun ini.
Yulianti baru sadar sekitar dua jam kemudian. Yang ia ingat samar-samar, dua perempuan itu memintanya mengambil semua harta yang dia miliki. Ia sendiri tak tahu kenapa menuruti saja perintah itu. Sendirian pulang ke rumah, ia lalu menguras semua harta bendanya yang ia kumpulkan bertahun-tahun: perhiasan emas serta uang dalam bentuk dolar Amerika Serikat dan rupiah. Semua benda ini, yang total bernilai sekitar Rp 100 juta, ia serahkan kepada dua perempuan itu. Harta yang saya kumpulkan bertahun-tahun ludes, katanya saat menceritakan peristiwa yang dialaminya itu di Kepolisian Sektor Gambir, Jakarta Pusat, dua pekan lalu.
Pasar Petojo, Jakarta Pusat,
12 Mei 2011.
Perempuan itu sesenggukan di depan Inggrid Wongso Wong, yang saat itu tengah berada di depan kios ikan. Berbahasa Cina berdialek Kanton, ia bercerita tengah mencari sinse bernama Huang untuk mengobati penyakit ayahnya. Inggrid menggelengkan kepala, meminta maaf karena tidak tahu sinse yang dimaksudkan. Tiba-tiba muncul seorang perempuan lainjuga Cinadi depan Inggrid. Saya tahu alamat itu, ujarnya, juga dalam bahasa Kanton. Perempuan bernama Lili itu lalu meminta Inggrid juga ikut menuju mobil suaminya yang diparkir di depan pasar. Diantar suami Lili bernama Toni, ketiganya lalu keluar dari kompleks pasar. Saya tidak tahu kenapa menurut saja, ujar Inggrid, 53 tahun.
Yang Inggrid ingat, dalam perjalanan, mereka kemudian bertemu dengan seorang perempuan berumur 30-an tahun bernama Chen Jian, yang mengaku cucu sang sinse. Chen menyatakan Inggrid memiliki masalah dengan suaminya dan mereka akan mendapat celaka. Untuk menghindari petaka itu, Inggrid diminta menyerahkan semua hartanya untuk dipakai sebagai syarat upacara buang sial.
Diantar Lili naik bajaj, ibu dua anak ini lalu pulang ke rumahnya di Jalan Taman Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ia membongkar lemarinya, memasukkan perhiasan emas dan berliannya serta gepokan uang dolar Amerika dan rupiah miliknya ke dalam koper kecil, lalu menyerahkan semuanya kepada Lili. Dengan mobilnya, bersama Lili, Inggrid menuju Bank Mandiri Kebon Sirih, membuka safe deposit box-nya, mengambil emas batangan, dan menyerahkannya ke Lili. Seluruh harta yang nilainya sekitar Rp 5 miliar itu diserahkan kepada Chen dan Toni, yang menunggunya di pinggir jalan. Inggrid baru sadar dia menjadi korban komplotan penjahat itu ketika sebuah mobil tiba-tiba mengklaksonnya. Sore itu Inggrid langsung melaporkan kejahatan yang dialaminya ke Kepolisian Sektor Gambir.
Laporan Inggrid itulah yang dipakai polisi untuk menelusuri kelompok penipu ini. Sepekan kemudian, polisi menangkap Lili dan Toni di tempat tinggal mereka, Apartemen Mediterania Kelapa Gading, Jakarta Utara. Keduanya ternyata warga Indonesia. Dari mulut Lili, yang bisa berbahasa Indonesia patah-patah, polisi menemukan markas lain komplotan hipnotis itu, yakni Apartemen Mediterania di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat. Komplotan itu tinggal di lantai 21 tower B.
Saat kamar itu didobrak, polisi menemukan 16 warga negara Cina di dalamnya. Semuanya, seperti tertera dalam paspor, berasal dari Kota Guangzhou, Provinsi Guangdong, Cina. Dua di antara yang ditangkap itu Chen Jian dan Feng You Yun. Yang terakhir itu adalah perempuan yang didapati Inggrid menangis di Pasar Petojo. Saat keduanya diperlihatkan kepada Inggrid, Inggrid langsung mengenali dua perempuan yang memperdayanya itu. Mereka akhirnya mengaku mengambil harta Inggrid, tapi menolak disebut menghipnotis atau menipu, ujar Kepala Polsek Gambir Komisaris Hengki Haryadi, Kamis pekan lalu, kepada Tempo. Inggrid sendiri tak kepalang gembira hatinya saat batangan emas dan perhiasannya bisa ditemukan polisi setelah dititipkan Feng di sebuah toko obat-obatan tradisional Cina. Dari penyelidikan, polisi menyimpulkan Feng otak komplotan itu.
Dari penelusuran polisi, diketahui komplotan Feng beroperasi berpindah tempat, antara lain di Surabaya, Medan, Makassar, dan Bandung. Modus mereka selalu sama, yakni mencari tabib atau sinse. Adapun daerah operasi mereka di pasar-pasar tradisional yang dekat dengan perumahan elite warga keturunan Cina, dengan sasaran para perempuan keturunan Cina yang bisa berbahasa Mandarin atau Kanton. Kepada polisi, mereka mengaku perhiasan atau uang yang mereka dapat itu langsung dibawa ke Hong Kong untuk dijual. Saat ditangkap, misalnya, Feng sudah bersiap-siap terbang ke Hong Kong dengan pesawat Cathay Pacific.
Dari penggerebekan di Mediterania, polisi menemukan sejumlah buku yang berisi daftar puluhan pasar tradisional di Jakarta dan sekitarnya, baik dalam bahasa Indonesia maupun Mandarin. Setelah diinterogasi berkali-kali, baik Feng maupun Chen Jian mengaku sebenarnya datang ke Indonesia tidak sendiri. Kami hitung-hitung, setidaknya ada 200 orang dari Guangzhou yang datang ke Indonesia dan besar kemungkinan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan komplotan Feng ini, ujar seorang penyidik.
Di Indonesia, polisi menduga Lili dan Tonilah yang menyediakan semua akomodasi untuk Feng, termasuk menyewakan kamar di Apartemen Mediterania, yang per hari sekitar Rp 500 ribu. Ini sindikat, kata Hengki. Mereka bekerja setidaknya dalam grup kecil, tiga atau empat orang.
Sejak penangkapan pada 18 Mei lalu, tak kurang dari 20 orang yang mengaku sebagai korban hipnotis dengan cara seperti yang dilakukan komplotan Feng berdatangan ke Polsek Gambir. Mereka berasal dari berbagai kota: Surabaya, Makassar, Bandung, dan terbanyak dari Jakarta. Semua yang melapor itu perempuan dan keturunan Cina. Seorang warga Surabaya, misalnya, mengatakan memang Feng yang telah menghipnotisnya sehingga ia kehilangan uang hingga Rp 1 miliar. Seorang pengusaha wanita dari Makassar juga menyebutkan dihipnotis Feng dan kemudian menyerahkan uangnya sebesar Rp 1,5 miliar ke komplotan Feng. Yulianti Chang, yang diperdaya Feng di Pasar Belek, Sunter, langsung menempeleng Feng begitu ia dihadapkan pada perempuan asal Guangzhou itu. Kesel saya, ujarnya.
Di Jambi, kelompok Guangzhou ini juga sudah memakan korban. April lalu, misalnya, Lina, 55 tahun, diperdaya dua wanita yang menyapanya dengan bahasa Kanton saat berbelanja sayur. Lina mengaku seperti dihipnotis dan kemudian menuruti apa yang diminta kedua orang tersebut. Demikian pula yang dialami Kurniati, warga Jambi lainnya.
Kurniati kehilangan uang sekitar Rp 100 juta setelah diajak berbicara dengan bahasa Mandarin oleh dua perempuan yang mengaku tengah mencari sinse. Polisi memang menangkap dua perempuan yang belakangan diketahui bernama Cong Wei, 48 tahun, dan Hu Ayun, 39 tahun, itu di Hotel Pundi Rezeki. Tapi, lantaran tak ada barang bukti dan saksi yang kuat, polisi menyerahkan dua orang itu ke kantor imigrasi. April lalu sudah kami deportasi mereka ke Cina, ujar Kepala Bagian Tata Usaha Imigrasi Jambi Mardian, Rabu pekan lalu, kepada Tempo.
Sulitnya mencari barang bukti dan saksi yang melihat hipnotis dan penipuan ini pulalah yang menyebabkan 14 warga Guangzhou yang ditangkap di Apartemen Mediterania pada 18 Mei lalu itu kemudian diserahkan ke kantor imigrasi. Walau ada yang melaporkan, jika tak ada bukti kuat, sulit menahan mereka, kata Hengki.
Di kantor imigrasi, ke-14 warga Guangzhou itu sempat dikarantinakan selama sepekan dan diperiksa. Kantor imigrasi menyimpulkan tidak ada tindak pidana yang mereka lakukan. Mereka mengaku ke Indonesia sebagai buyer untuk menjajaki barang-barang Indonesia yang bisa dijual di Cina. Akhir Mei lalu, 14 orang tersebut telah dipulangkan ke Guangzhou. Mereka mengaku tidak tahu-menahu soal komplotan Feng, kata Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Jakarta Pusat Syafrudin Umar, Rabu pekan lalu, kepada Tempo.
Seperti kata seorang penyelidik yang menangani kasus ini, kelompok Guangzhou memang licin dan tak mengenal kata jera. Mereka yang dipulangkan itu pasti datang lagi.
L.R. Baskoro, Sandy I. Pratama (Jakarta), Syaipul Bakhori (Jambi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo