Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa status pidana Mary Jane Fiesta Veloso usai pemindahan narapidana atau transfer of prisoner menjadi kewenangan pemerintah Filipina sepenuhnya. Mary adalah terpidana mati kasus narkoba di Indonesia yang akan kembali ke negara asalnya pada Desember mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yusril menyebut bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak memberikan pengampunan kepada Mary Jane, namun dia dipindahkan ke Filipina untuk menjalani hukuman sesuai putusan pengadilan Indonesia di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tapi pertanyaannya, apa di sana dihukum mati? Ya, terserah pemerintah Filipina,” ucap Yusril ketika dihubungi Tempo melalui sambungan telepon, Kamis, 21 November 2024.
Pemerintah Filipina, ujar dia, sudah menghapus pidana mati dari sistem hukum mereka. “Ada kemungkinan Presiden Marcos akan memberikan grasi, mengubah hukuman mati itu menjadi hukuman seumur hidup,” kata dia.
Yusril Ihza Mahendra pun menyatakan pemberian keringanan atau pun grasi sepenuhnya menjadi kewenangan negara tersebut. Namun, ia juga menegaskan bahwa pemerintah Indonesia akan memantau kelanjutan proses pidana Mary Jane di Filipina.
“Begitu dipindah ke sana, dia tetap ditempatkan di penjara dan kami tetap punya akses untuk memantau,” ucapnya.
Kabar mengenai pemindahan Mary Jane Veloso sebelumnya disampaikan oleh Presiden Filipina Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr melalui akun media sosial resminya, pada Rabu, 20 November 2024.
“Mary Jane Veloso akan pulang,” demikian tulis Bongbong di akun X @bongbongmarcos.
Bongbong menyebut keputusan ini sebagai hasil diplomasi dan konsultasi yang panjang antara pemerintah Filipina dan Indonesia. “Kami berhasil menunda eksekusinya cukup lama hingga mencapai kesepakatan untuk akhirnya memulangkannya ke Filipina,” kata dia.
Mary Jane Veloso tertangkap Petugas Bea dan Cukai Banda Udara Adisutjipto Yogyakarta pada 25 April 2010 saat akan menyelundupkan 2,6 kilogram heroin ke Indonesia. Sejumlah organisasi pegiat hak asasi manusia (HAM) menilai Mary sebagai korban sindikat narkoba dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pasalnya, koper berisi heroin itu diberikan oleh temannya, Maria Cristina Sergio.
Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, menjatuhkan hukuman mati kepada Mary pada 11 Oktober 2010. Berbagai upaya hukum seperti permohonan banding dan Peninjauan Kembali (PK) telah dia lalui. Pada 30 Desember 2014, Presiden Joko Widodo menolak permintaan grasi Mary.
Eksekusi mati terhadap Mary Jane rencananya dilaksanakan di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pada 29 April 2015. Namun, pemerintah Indonesia menunda pelaksanaan eksekusi mati itu dengan alasan menunggu proses hukum di Filipina selesai.