Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Demokrasi Kurva Lonceng

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rocky Gerung*

TIGA survei tentang elektabilitas calon presiden 2014 dipublikasikan dua pekan lalu. Tiga-tiganya datang dengan hasil berbeda. Kelirukah metodologinya? Atau desain risetnya memang dirancang untuk "memenangkan" sang calon?

Kurva lonceng adalah ideologi para surveyor. Dijamin standar baku metodologi, kurva itu seharusnya tidak meliuk-liuk berlebihan. Tapi, sejak politik diasuransikan pada statistik, liuk kurva itu akan sangat bergantung pada premi para politikus.

Inilah kondisi politik kita hari ini: pertama, opini publik menjadi identik dengan hasil survei. Kedua, popularitas seorang tokoh hari ini tidak didebitkan pada cacat politiknya hari kemarin. Dua kondisi inilah yang menerangkan patologi politik kita hari ini: demokrasi tampak sekadar membengkak, tapi tidak tumbuh. Hiruk-pikuk debat publik sekadar menghasilkan bising, bukan suara. Politik kita silau oleh sensasi, tapi buta dalam substansi.

Pembengkakan tubuh politik itu akibat muatan kuantifikasi: penggalangan, pencitraan, arogansi, dan transaksi. Politik membengkak karena kekuasaan ditimbun dalam ambisi kepentingan personal, bukan dalam niat keadilan sosial. Perlombaan inilah yang menumbuhkan industri opini publik, dan sejak itu politik menjadi urusan statistik.

Apakah sesungguhnya substansi politik? Demokrasi adalah ruang opini publik. Kontestasi kepentingan diselenggarakan di situ. Tapi ideal ini menghendaki prasyarat etik: seluruh latar belakang kepentingan harus dipamerkan terbuka. Dengan cara itu, politik diproduksi. Itulah politik yang otentik. Di belakang proses ini, bekerja nilai kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Nilai-nilai inilah yang kini hilang dari proposal riset publik, dengan akibat hilang juga tugas etis politik untuk memberdayakan "the unspeakable", yaitu mereka yang ada di pinggiran kurva lonceng.

Kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Palang etik ini mungkin terlalu tinggi untuk dilompati para perancang opini publik. Teori propaganda memang mengajarkan bahwa lebih mudah menggiring "herd mentality" menerobos di bawah palang. Artinya, manipulasi opini publik memang sesuai dengan kondisi dasar psikologi massa: bergerombol tanpa ide, menunggu disuapi janji, lalu siap diperintah. Psikologi ini adalah lahan investasi para demagog. Dengan mengeksploitasi kedunguan publik, demokrasi masih dapat dipertanggungjawabkan dengan argumen: "Itulah kehendak mayoritas!"

Memang, demokrasi lebih sering dimanfaatkan oleh para demagog dengan menurunkan standar etika politik. Di situ opini publik diperlakukan sebagai komoditas dalam "industri demokrasi", dan dipasarkan melalui lembaga-lembaga survei. Filosofinya diperoleh secara pragmatis dari prinsip demokrasi itu sendiri: demi kebebasan kompetisi politik, manipulasi opini publik harus diterima sebagai suatu bentuk upaya persuasi. Sampai di situ politik masih menjadi urusan publik. Artinya, sejauh manipulasi itu diedarkan di pasar informasi, ia terbuka untuk dipersaingkan. Demokrasi tetap percaya publik selalu memiliki cukup rasionalitas untuk menapis dan memilih.

Bila pasar informasi itu dikendalikan juga oleh kepentingan politik yang sama, yang terjadi bukan sekadar manipulasi, tapi juga monopoli opini publik. Dalam pasar semacam ini, prinsip "caveat emptor"—teliti sebelum membeli—tidak berfungsi. Karena informasi tidak lengkap, tidak ada kesempatan memilih harapan. Demokrasi lalu menjadi sekadar ruang transaksi oligarki, tempat tukar tambah kepentingan segelintir orang.

Apalagi bila politik kita pahami dari sudut pandang etik, yaitu bahwa tanggung jawab merawat kualitas demokrasi justru dibebankan pada mereka yang secara akademis lebih mampu berpikir lurus dan panjang. Pada merekalah tuntutan atas kejujuran dan keadilan diharapkan: suatu etik "caveat venditor"—bahwa penjual jasa tidak akan menjual barang rongsokan. Agaknya, palang etik ini sudah lama roboh diterobos tubuh-tubuh bengkak.

l l l

Opini publik adalah peralatan ekstraparlementer dengan kekuatan supraparlementer. Ia mampu memelorotkan pamor seorang pemimpin, tapi juga dapat dipakai untuk menyembunyikan niat korup seorang tokoh. Di sinilah "kapital media" beroperasi.

Manipulasi dan monopoli opini publik menjadikan demokrasi sekadar sebagai bagian dari industri media. Fungsi institusi demokrasi bahkan dapat diambil alih oleh industri media: tekanan politik dapat dinegosiasikan di ruang redaksi, dan sebuah "talk show" dapat berubah menjadi ruang pengadilan.

Politik industri media ini jugalah yang menyebabkan demokrasi kita sekadar membengkak, tapi tidak tumbuh. Dalam demokrasi, setiap suara dihitung sama. Tapi arah suara publik dapat dimanipulasi oleh industri opini publik karena informasi tidak terakses sama oleh publik. Distorsi inilah yang menjadi ruang transaksi antara pembuat survei dan kepentingan pemesan. Sekali lagi, argumennya adalah prinsip kebebasan kompetisi politik.

Dalam kondisi seperti itu, hubungan antara demokrasi dan opini publik menjadi tidak suci. Demokrasi memerlukan opini publik untuk mengetahui peta perebutan sumber-sumber ekonomi-politik, tapi demokrasi sekaligus dimanfaatkan sebagai ruang pembenaran manipulasi.

Paradoks inilah yang kini sedang kita alami.

Walau begitu, politik tidak boleh menjadi malas hanya karena kondisi yang menjengkelkan itu. Analisis politik adalah satu soal. Tapi kehendak politik harus melampaui apa yang faktual. Dengan sikap itu, kita memerangi "herd mentality" dalam politik kita hari-hari ini. Radikalisasi ini kita perlukan untuk memastikan opini publik bukanlah konsensus oligarkis, parlementer, atau hasil olahan statistik. Opini publik adalah hasil dari konfrontasi etik, antara kehendak perubahan dan kepentingan privat. Di situ statistik hanyalah konfirmasi terhadap kehendak pembaruan.

l l l

Politik kita memang sangat terasa kuantitatif: mobilisasi massa, belanja iklan, black propaganda. Tidak tersisa lagi ruang ide dan debat rasional. Politik sebagai percakapan keadilan di antara warga yang setara tidak lagi berlangsung. Mobilisasi cuma menyetarakan massa di depan panggung para demagog. Dalam ruang kuantifikasi itu, warga negara sekadar dicacah sebagai konsumen, bukan produsen demokrasi. Ia hadir dalam kerumunan, bukan dalam ruang kewargaan. Ia sungguh-sungguh dinonaktifkan dari politik.

Sesungguhnya, demokrasi kita sedang kehilangan ide kesetaraan. Kita memilih demokrasi karena kita pernah kekurangan kebebasan. Tapi kini ruang kebebasan itu sepenuhnya dikuasai oleh blok oligarkis. Proses itu terjadi karena politik telah diselenggarakan secara kuantitatif: yang dieksploitasi adalah kepuasan tentang apa yang ada di depan mata, bukan tentang apa yang harus ada sebagai hak.

Mengaktifkan etika publik adalah upaya radikal mengembalikan politik warga. Politik kuantitatif-demagogis tidak hanya bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan, tapi juga merendahkan otonomi manusia. Politik tumbuh bersama otonomi manusia. Ia menyelenggarakan keadilan dan kesetaraan agar otonomi itu tidak dimusnahkan oleh ambisi-ambisi kuantitatif: dari klaim keunggulan moral sampai klaim keunggulan kapital.

Etika politik bertujuan mencegah pembengkakan politik. Etika politik menghendaki politik tumbuh dalam keadilan.

Survei politik masih akan berdatangan. Distorsi opini masih terus diproduksi. Kurva lonceng masih akan meliuk-liuk. Tapi politik tetaplah hak publik. Yang etik tidak mungkin diserahkan pada statistik. Politik sejati tidak diukur berdasarkan probabilitas, melainkan determinitas setiap subyek yang menghendaki demokrasi tumbuh.

Ketika diminta mengomentari keruntuhan Imperium Romawi, Jean Jacques Rousseau menjawabnya singkat: "Demokrasi itu ibarat buah. Sangat baik untuk tubuh. Tapi hanya lambung yang sehat yang mampu mencernanya." Etika politik adalah lambung demokrasi. Ia mencerna opini publik, lalu memisahkan mana opini bawaan, mana opini olahan.

* Pengajar filsafat Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus