PEMBUNUHAN atas diri Letnan Kolonel Penerbang Steven Adam, 45, ternyata berlatar belakang pertikaian antar sindikat narkotik. Mulanya, perwira menengah AU itu menagih tunggakan bernilai puluhan juta rupiah pada beberapa pengedar narkotik, yang mendapat barang dari dia dengan pembayaran cicilan. Karena piutang tak juga dibayarkan, Steven mengancam. Para pengedar rupanya merasa lebih baik mendahului bertindak daripada didahului. Maka perwira penuntun di Sekolah Staf TNI AU, Jakarta, itu pun ditembak mati pada dinihari 29 Mei 1983. Cerita yang agak mengejutkan itu termuat dalam dakwaan Oditur Militer Letnan Kolonel (Pol.) T. Siswomartono, yang menuduh Kapten (Pol.) Nicodemus, 38, terlibat dalam kasus pembunuhan Steven. Nico, yang ketika itu menjadi kepala Bagian Operasi Polres Bogor, kata Oditur dalam sidang pekan lalu di Mahkamah Militer Priangan-Bogor di Bandung, telah meminjamkan sepucuk pistol kepada Joni Sembiring, yang kemudian digunakan menembak korban. Joni adalah seorang penjahat yang cukup dikenal di Jakarta. Sebelum pembunuhan dilakukan, kata Oditur, diadakan pertemuan di rumah Robert di Cimanggu, sekitar 300 meter dari rumah calon korban. Selain tuan rumah, hadir dalam pertemuan itu Leonardus, Wallen, Hidayat, Hilal, Awang, dan Joni. Pertemuan lalu dilanjutkan di rumah Nico di Kedunghalang, Bogor. Ketika itu, Nico menyanggupi akan memberikan pinjaman sepucuk pistol yang akan digunakan menembak korban. Syaratnya: eksekusi harus dilakukan di luar jam kantor dan agar jangan sampai ada yang tertangkap. Ketika itu, Robert menyerahkan uang panjar Rp 600 ribu dari Rp 10 juta yang dijanjikan kepada Jom, yang akan bertindak sebagai penembak. Pada 26 Mei 1983, mereka pun bergerak menuju rumah calon korban yang baru tiga minggu pindah ke situ. Tapi rencana gagal karena Steven, yang waktu itu tengah dipromosikan menjadi atase millter di sebuah negara sahabat, keburu terbangun. Malam itu, Steven bahkan sempat mengusir mereka dengan tembakan ke udara. Kegagalan itu memaksa mereka menyusun rencana leblh matang. Setelah semuanya dinilai siap, tiga hari kemudian, 29 Mei 1983, mereka bergerak lagi. Mereka, kata Oditur, mengendarai dua mobil dan datang ke daerah sasaran dari arah yang berlawanan, tapi setiap orang sudah siap dengan tugasnya masing-masing. Joni menyiapkan pistol yang diperoleh dari Nico, dan Leonardus menggenggam pistolnya sendiri berkaliber 32. Sementara itu, Wallen dan Hilal membawa linggis, dan Awang menyandang golok. Menggunakan linggis, Wallen kemudian mencongkel jendela. Begitu Steven terbangun dan keluar rumah, Joni menembaknya dari jarak sekitar tiga meter. Korban sempat membalas menembak, tapi ia kemudian tersungkur akibat luka di dadanya. Ia sempat ditolong oleh Robert, tetangganya, yang tak ikut komplotan penembak karena sudah dikenal korban. Steven rupanya tak tertolong. Ayah tiga anak yang dikenal sebagai pemeluk Protestan yang taat itu meninggal di Rumah Sakit PMI, Bogor. Untuk menghilangkan jejak, kata Oditur lagi, Nicodemus menyuruh Joni Pelor, 31, penjahat kambuhan yang pernah mendekam di Nusa Kambangan, mengakui bahwa dialah yang membunuh Steven. Juni tahun lalu Pelor memang diperiksa polisi Bogor. Tapi setelah mencium ada yang tak beres, Laksusda mengambil alih pemeriksaan. Dari pemeriksaan itulah kemudian terungkap cerita seperti dituturkan Oditur. Dalam sidang Kamis pekan lalu, Joni Pelor memberikan kesaksian bahwa, pada 1982, ia pergi ke rumah Robert bersama Tertuduh. Ketika itu, katanya, Tertuduh menukarkan ganja dengan heroin milik Steven. Menurut sebuah sumber, Nico yang bertubuh kurus tinggi memang suka mengkoordinasikan perdagangan narkotik, sejak masih bertugas di Bandung. Robert dan Joni adalah kaki tangannya. Tapi, menurut sumber yang lain, kegiatan Nico itu sebenarnya hanya taktik untuk menjaring penjahat narkotik. Dua saksi lain, yaitu Kopral Dua Supardi dan Kopral Satu Kushardono, yang didengar keterangannya setelah Joni Pelor, diperintahkan majelis hakim plmpman Letnan Kolonel (Kum.) Eddy Purnomo agar ditahan karena dianggap memberikan sumpah palsu. Supardi, 26, meralat keterangannya dalam berita acara yang menyebutkan bahwa ia pernah melihat Joni Pelor sebelum ia menyerahkan diri. Tapi setelah ditahan satu hari, ia mengakui bahwa keterangannya dalam berita acara benar. Kushardono, bawahan Nico yang memegang kunci gudang senjata api di Polres Bogor, dalam sidang membantah seolah telah mengeluarkan sepucuk pistol atas permintaan Nico dan tidak mencatatnya dalam buku laporan. "Saya tak pernah berkata begitu. Saya tak tahu senjata api itu ada di luar gudang," katanya tegas. Dia mengaku dipukuli dan lehernya dijerat sewaktu diperiksa, sehingga terpaksa memberikan keterangan yang berlainan dengan kenyataan yang sebenarnya. Namun, setelah ditahan 2 x 24 jam, dalam sidang Senin pekan ini ia menyatakan bahwa keterangannya kepada pemeriksa dulu itu benar. Tak hanya Kushardono yang mengaku dianiaya. Wallen, 37, adik Robert, juga atas suruhan pemeriksa mengaku memberi keterangan seolah pernah melihat Nico bertandang ke rumah kakaknya untuk keperluar bisnis narkotik. Hakim Ketua jadi berang Nicodemus sendiri, dalam pembicaraan singkat dengan Deddy Iskandar, dari TEMPOo, membantah keterlibatannya, baik dalam kasus pembunuhan Steven Adam maupun dalam soal bisnis narkotik. "Semua tuduhan Oditur saya tolak. Biarpun nanti saya dihukum, saya tetap akan memberikan keterangan yang benar bahwa kami tak bersalah," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini