JEJAK air laut menerjang perkampungan nelayan itu. Genangan di sana-sini membuat becek. Kumuh. Semrawut. Anak-anak kecil yang berpakaian lusuh berlarian di atas pasir. Dan wajah-wajah letih melintasi rumah beratap sirap. Sejumlah perempuan melamun di balai bambu di serambi rumah. Itulah gambaran Kampung Marunda Besar, Kelurahan Marunda, di Jakarta Utara. Terhampar di pangkal muara Kali Blencong, persis di seberang kawasan pusat perkayuan terbesar di Asia Tenggara, Proyek Pengembangan Lingkungan Marunda (PPLM) di pantai Teluk Jakarta. Untuk masuk ke sana penghuninya harus melalui kawasan proyek, kemudian naik perahu. Tamu harus minta izin pada penjaga pintu gerbang yang 3 km dari lokasi. Ada juga jalan melingkar belasan kilometer yang ditempuh dengan ojek atau jalan kaki. Semula, Kelurahan Marunda memiliki empat kampung yang hidup dan ramai: Marunda Kelapa, Marunda Sawah, Marunda Pulo, dan Marunda Besar. Ketika PPLM dibangun, 1981, Marunda Kelapa dan Marunda Sawah jadi wilayah proyek yang akan menyedot 15-20 ribu tenaga kasar dan menengah. Penduduknya dipindahkan ke Kampung Sarang Bango (Marunda Baru), 7 km pedalaman Kelurahan Marunda. Di Marunda Kelapa, dulu, terdapat sederet warung, toko, SD, SMP, terminal metromini, kantor kelurahan Marunda, pos jaga, dan tempat pelelangan ikan. Di sana juga ada sumur bor buatan Belanda yang begitu vital bagi empat kampung itu. Tinggal Marunda Pulo dan Marunda Besar. Inilah daerah yang diteliti Meutia Farida Hatta Swasono, dosen Fakultas Ilmu-llmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Ia mengamati sejak 1982. Pada 1983, putri Proklamator Kemerdekaan Indonesia ini menyusun tesisnya untuk Master, "Penduduk Marunda Pulo: Suatu Studi Mengenai Stres". Dan dua pekan lalu, disertasinya mengenai "Proyek Pembangunan, Pemindahan Kampung dan Stres pada Masyarakat Marunda Besar, Jakarta Utara" menghantarnya meraih gelar doktor dari UI. Untuk disertasinya, pada 1986 Meutia mulai meneliti Marunda Besar secara intensif. Ia menyebarkan kuesioner dan wawancara kepada 97 keluarga, atau 166 orang dewasa (34,58%) dari hampir 500 warga yang sebagian besar keturunan Betawi. Dari sini, lalu Meutia menyimpulkan: PPLM selain menimbulkan kerenggangan sosial (disintegrasi sosial), bahkan menyebabkan penduduk stres. Dengan menggunakan instrumen penelitian Cornell Medical Index (CMI) terdiri dari 195 pertanyaan, ia menemukan 65,1% responden mengalami gangguan mental-emosional. Setelah validasi ulang oleh para psikiater dari Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes terhadap 50 responden, persentase penderita itu menyusut jadi 36%. Berdasar validasi ulang ini, ia menentukan penetapan batas skor (cut-off score) menjadi 45%. Padahal, standar WHO hanya 40-80 orang per 1.000 penduduk, atau 4-8%. Indikator adanya stres terlihat misalnya acap terjadi konflik antartetangga. "Mereka mudah marah. Masalah sepele saja bisa menyulut pertengkaran kendati tak sampai bentrok fisik," ujar Meutia pada TEMPO. Juga mencuat gejala putus asa, pasrah dan masa bodoh -- kalau dikaitkan dengan usaha meningkatkan kemampuan ekonomi mereka. Apalagi sejak ada PPLM, hasil tangkapan ikan merosot. "Pembuangan limbah ke pantai menyebabkan plankton-plankton mati. Itu berarti ikan berkurang," kata Ahmad Tohari Hasan, Kepala SDN Marunda 02 Pagi ini pemukim lama di sana. Perdagangan dan pertanian pun sedikit menolong. Tanah Marunda Besar bukan lahan subur untuk tanaman. Karena telanjur berjiwa nelayan, mereka tak pandai berdagang. Memang, ada warung-warung kecil. "Tapi berapa sih hasilnya dari jualan kue macam ini? Paling-paling dua ribu perak," ujar seorang ibu yang biasanya membantu suaminya. Menurut warga yang dipindahkan ke Sarang Bango, mereka pernah dijanjikan diberi pekerjaan di proyek. Ternyata, mereka dibikin seperti anak kecil. "Dikasih balon supaya senang. Dijanjikan kerja agar mau pindah," ujar Sambu Ishak, warga Marunda Besar. Namun, beberapa yang punya ijazah diangkat jadi pegawai tetap. Padahal, yang mengenyam bangku pendidikan menengah hanya 0,6% dari penduduk. "Jadi, kita paling-paling cuma sebagai tukang uruk," katanya. Maka, kondisi ekonomi mereka berbanding terbalik dengan biaya hidup yang meningkat. Naik ojek dari pintu gerbang proyek Rp 500. Ongkos perahu minimal Rp 200. Karena harga air minum sepikul (60 liter) Rp 700, menurut Nikmal Wahid, Ketua RT 01, penduduk menyediakan drum untuk menadah hujan. Sebagian besar nelayan di sana enggan menjauh dari laut. Kendati masa depannya tidak pasti, mereka terpaksa menetap di Marunda Besar. Padahal, amarah dan sakit hati pada proyek terus mengental. Pernah pada malam 17 November 1987 terjadi bentrok. Ketika itu dua pemuda Marunda Pulo dipukul oleh dua petugas proyek. Mereka marah. Sekitar 40 penduduk muncul menghajar petugas itu, sampai babak belur. Cuma sekali itu saja. Selanjutnya mereka menyimpan kesalnya dalam hati, bersama perasaan takut. Memang, stres telah menyerang penduduk yang pindah ke Sarang Bango. Kemudian, hampir separo dari mereka kembali ke tempat asal. Dan ini tentu menambah ketegangan di Marunda Besar. Sedangkan yang bertahan di Sarang Bango juga repot. "Sekarang saya malah nganggur," ujar Makruf. Putus asa, pasrah, dan kesal berbaur jadi satu. Kapan proyek itu bisa menolong mereka? Muhammad Husni Mesir, Ketua Rt 04/RW 03 Sarang Bango, menjawab cepat, "Ah, itu seperti mengharap hujan turun dari langit saja." Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini