Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Suap Mario di Kantor Hotma

Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap pengacara yang diduga menyuap pegawai Mahkamah Agung. KPK masih mengembangkan perkara ini untuk mencari ke mana akhir uang itu nanti.

1 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kantor pengacara Hotma Sitompoel & Associates di kawasan Jalan Martapura III, Tanah Abang, Jakarta Pusat, kedatangan tamu misterius pada Kamis siang pekan lalu. Berjalan sendirian, pria berkemeja putih itu langsung menuju lobi di gedung berlantai tiga tersebut dan berbicara dengan resepsionis. Dia menyatakan hendak berkonsultasi tentang masalah hukumnya. Namun ada yang agak aneh. Ia punya permintaan khusus. Pengacara yang melayaninya mesti Mario Carlio Bernardo. "Awalnya ia berbicara dengan sopan," ujar Gloria Tamba, salah satu pengacara di sana.

Permintaan itu dikabulkan dan seseorang diminta memanggil Mario, yang lantas keluar menyapa sang tamu. Keduanya kemudian berbincang sejenak, sebelum tamu itu memencet telepon seluler yang sejak ia datang berada di genggamannya.

Saat keduanya melanjutkan pembicaraan, tiba-tiba beberapa pria merangsek masuk ke kantor. Petugas keamanan tampak sia-sia menghalangi mereka. Mario kaget, begitu juga para pengacara lain yang sedang berada di dalam kantor, termasuk Gloria.

Ketegangan terjadi di ruang tamu. Mereka ingin membawa Mario. Tapi Mario mati-matian menolak. Penolakan ini didukung teman-teman sekantornya. Di tengah keributan itulah para tamu tersebut mengeluarkan tanda pengenal dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

Namun Mario dan para karyawan kantor Hotma yang sudah terbiasa dengan urusan hukum itu tak keder. Mereka, dengan sigap, mempertanyakan legalitas dan dasar hukum perintah penahanan Mario. Setelah perdebatan panjang, akhirnya Mario menyerah. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini mengaku tak mau bikin malu di kantor milik pamannya itu. "Saya ikut, asal jangan bikin ribut di kantor saya," kata Gloria menirukan ucapan Mario kepada para penyidik KPK. Sekitar pukul 13.00, rombongan penyidik keluar dari kantor sembari membawa Mario.

Para penyidik saat itu tak menyebutkan alasan memboyong Mario. Saat sore, kata Gloria, ia dan teman-temannya mulai paham mengapa Mario ditangkap, lewat pemberitaan di media massa. Mario dituduh menyuap anggota staf Badan Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung, Djodi Supratman. Beberapa jam sebelumnya, penyidik KPK mencegat dan menangkap Djodi ketika pria itu tengah naik ojek di kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat. Saat ditangkap, Djodi menenteng tas cokelat berisi uang Rp 78 juta. Sebelum ditangkap, Djodi dan Mario bertemu di kantor Hotma. Uang itu diduga diserahkan di sana. Pada hari itu, keduanya rupanya tak sadar gerak-gerik mereka sejak pagi sudah dibuntuti penyidik KPK.

Hari itu juga penyidik menyasar rumah Djodi di Bambu Apus, Jakarta Timur. Di rumah itu, penyidik menemukan segepok uang berjumlah Rp 50 juta. "Uang itu diduga untuk mengamankan sebuah kasus yang sedang diproses di MA," ujar juru bicara KPK, Johan Budi S.P. Malam itu juga penyidik menahan Djodi dan Mario, yang sudah dinyatakan sebagai tersangka. Keduanya dijerat dengan pasal penyuapan. Sesuai dengan Undang-undang Advokat, pengacara merupakan bagian dari penegak hukum yang dilarang menerima dan memberi uang bila berhubungan dengan kasus.

Penyerahan uang itu, kata Johan, diduga sudah berkali-kali. "Ada kemungkinan ketiga, keempat, dan kelima," ujarnya. Kasus yang rencananya mereka amankan diduga perkara penipuan yang berhubungan dengan Hutomo Wijaya Ongowarsito, Direktur PT Sumbar Calcium Pratama.

Pria berusia 52 tahun itu divonis bersalah dalam kasus jual-beli tanah di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Kasus ini tengah masuk tahap kasasi. Informasi tentang kasus ini sekarang raib dari direktori putusan Mahkamah Agung yang biasa memuat informasi mengenai perkembangan kasus yang tengah ditangani hakim agung. Mario dan Djodi ditahan terpisah. Mario ditahan di ruang tahanan KPK, sementara Djodi di rumah tahanan Guntur.

Penyidik KPK bergerak cepat. Pada Jumat sore, mereka menggeledah kantor Hotma. Pencarian difokuskan pada barang bukti yang menguatkan dugaan penyuapan. Penggeledahan itu berlangsung alot. Para pengacara yang berkantor di sana tak sudi ruang kerja mereka digeledah. Gloria mengatakan apa yang dilakukan Mario tak berhubungan dengan kerja para pengacara di sana. Mereka juga merasa tak menangani kasus Hutomo Wijaya. "Untuk apa digeledah kalau kami tak berhubungan dengan kasus itu?" katanya.

Sekitar tiga jam perdebatan itu terjadi. Tapi para pengacara akhirnya mengalah. Mereka mempersilakan belasan penyidik mengobok-obok ruangan Mario. Penggeledahan berlangsung hingga tengah malam. Sabtu dinihari, para penyidik menyelesaikan pencarian. Mereka memboyong dokumen dalam satu kardus dan satu kantong keresek berwarna putih. Pagi itu juga para penyidik balik kanan ke kantor mereka di Kuningan, Jakarta Selatan. "Dokumen yang diambil itu masih dipelajari penyidik," ujar Johan.

Ketika Mario ditangkap, Hotma sedang berada di Solo. Sore itu juga pengacara tenar ini langsung terbang ke Jakarta dan menggelar konferensi pers. Sebelumnya, ia sempat mengumpulkan informasi dari anak buahnya perihal hubungan spesial antara Mario dan Djodi. Soalnya, kasak-kusuk yang beredar membuat kupingnya panas. Penyuapan ini dihubung-hubungkan dengan kasus Inspektur Jenderal Djoko Susilo, yang tengah digelar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Djoko didakwa menggangsir proyek simulator kemudi. Dalam kasus ini, Hotma tampil sebagai pembela Djoko. "Mario bukan anggota tim pengacara kasus itu," kata Hotma.

Hotma mengakui Mario memang anak buahnya. Kendati demikian, keponakan istrinya itu bisa bertindak sendiri saat mengurus kasus hukum. Hotma menolak kabar bahwa penyuapan itu berhubungan dengan dia meski sudah sepuluh tahun Mario bekerja dengannya. Ia menjamin penyuapan itu tak berhubungan dengan kasus Djoko. "Kami mengimbau semua pihak yang tak mengetahui kasus ini tidak berkomentar," ujarnya berapi-api.

Tommy Sihotang, pengacara Mario, angkat bicara. Ia menolak tuduhan bahwa Mario melakukan suap. Hanya, keterangan yang diberikan Tommy tak konsisten. Awalnya, dia mengatakan uang yang diberikan Mario kepada Djodi merupakan tunjangan hari raya. Belakangan, keterangan itu berubah. Disebutkan uang itu merupakan sumbangan untuk paduan suara gereja. Djodi disebutkan pernah menyodorkan proposal tentang bantuan dana paduan suara gereja. Keduanya berteman di gereja yang sama. "Kalau soal gereja, Mario memang royal," kata Gloria.

Bagi sejumlah polisi di Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Markas Besar Kepolisian RI, Mario juga bukan sosok yang asing. Ia kerap wira-wiri di sana dan memiliki banyak kenalan pejabat polisi. Itu sebabnya, ujar sumber Tempo, ia banyak menangani kasus di kepolisian. Tidak hanya mendampingi tersangka dan korban, ia juga kerap mendamaikan para pihak yang beperkara. "Dia juga dikenal merangkap profesi sebagai makelar," kata seorang polisi yang tak mau disebutkan identitasnya.

KPK tengah mengembangkan kasus ini. Penyidikan, ujar Johan, akan dilebarkan untuk mengkaji keterlibatan pihak lain, terutama hakim agung. Ada dua hakim agung yang diduga berhubungan dengan Djodi, yaitu Mohammad Zaharuddin Utama dan Andi Abu Ayyub Saleh. Bukti kini sedang dikumpulkan. Ketua KPK Abraham Samad memberi sinyal yang sama. "Penyidik tidak akan berhenti pada Mario dan Djodi. Baik pengacara maupun hakim yang terlibat masih terus didalami," katanya.

Sebelum ditangkap, dalam komunikasinya, Mario dan Djodi menyebut nama Zaharuddin dan Ayyub. Djodi mengklaim punya akses langsung kepada dua hakim karier itu. Zaharuddin dan Ayyub merupakan anggota majelis hakim kasasi kasus Hutomo Wijaya. Majelis itu diketuai Gayus Lumbuun. Nilai komitmen dari kasus ini diperkirakan mencapai Rp 300 juta. Gayus membantah berurusan dengan makelar. "Aku sama sekali tak tahu ada penyuapan," ujar bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu. Adapun Zaharuddin dan Ayyub kini memilih ngumpet dari kejaran wartawan. Wartawan Tempo juga tak diizinkan petugas keamanan mendatangi tempat tinggal mereka di Apartemen Pejabat Tinggi Negara, Kota Baru Bandar Kemayoran, Jakarta Pusat.

Nama dua hakim itu juga tak asing bagi Komisi Yudisial. Menurut Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki, komisinya pernah menerima laporan perihal ulah miring hakim Zaharuddin dan Ayyub. Salah satu vonis janggal yang dikeluarkan Zaharuddin adalah vonis bebas dalam putusan peninjauan kembali kasus letter of credit Bank Century dengan terdakwa Mukhamad Misbakhun. Adapun Ayyub pernah diadukan karena memberi vonis bebas putusan peninjauan kembali kasus penggelapan reekspor 30 kontainer BlackBerry dengan terdakwa Jonny Abbas. "Sampai kini, kami masih terus memantau mereka," kata Suparman.

Sumber Tempo mengatakan penangkapan Mario dan Djodi terjadi berkat pengaduan seseorang ke KPK. Orang tersebut meminta KPK "memelototi" para hakim yang menyidangkan perkara Djoko. Sejak itulah KPK melakukan pengawasan—juga penyadapan—terhadap sejumlah orang yang berkaitan dengan perkara ini. Penyadapan itulah yang membawa penyidik KPK ke Mario dan Djodi. "Tapi KPK belum menemukan hubungan penyuapan ini dengan kasus Djoko Susilo," ujar sumber itu.

Sumber Tempo lainnya menyatakan para penyidik memang akhirnya memilih menangkap Djodi dan Mario karena punya pertimbangan lain. Pertama, akan lama jika menunggu uang itu sampai ke atas, dan kedua, bisa jadi penyuapan itu akal-akalan Djodi. Para penyidik memilih jurus lain untuk mengusut ini, antara lain akan mengorek keterangan Djodi lewat serangkaian interogasi.

Mustafa Silalahi, Febriyan, Maria Rita, Tri Suharman, Febriana Firdaus, Muhammad Rizki


Yang Pertama, Yang Juga Gagal

Tertangkap tangannya pengacara Mario C. Bernardo menyuap anggota staf Mahkamah Agung, Djodi Supratman, pekan lalu bukan kasus pertama bagi Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar praktek korupsi di Mahkamah Agung. Pada September 2005, KPK membongkar kasus suap yang diduga melibatkan hakim agung.

Ketika itu, Komisi menangkap mantan hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Harini Wijoso, yang juga pengacara pengusaha Probosutedjo. Ia ditangkap di rumahnya di Puri Mutiara, Cipete Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan. Di rumah Harini, Komisi menemukan uang US$ 50 ribu (sekitar Rp 500 juta) yang diselipkan perempuan itu di bawah lemari pakaian di antara buku-buku.

Dari rumah Harini, Komisi kemudian menangkap lima anggota staf Mahkamah Agung. Penangkapan dilakukan tengah malam, saat mereka terlelap. Kelimanya adalah Wakil Sekretaris Korpri Suharyoto; anggota staf Korpri, Sudi Ahmad; anggota staf perdata, Triyadi; anggota staf bagian kendaraan, Pono Waluyo; dan Kepala Bagian Umum Biro Kepegawaian Malam Pagi Sinohadji. Dari penangkapan itu, KPK menyita uang dengan total berjumlah US$ 400 ribu (sekitar Rp 4 miliar) dan Rp 800 juta. Kelimanya ditengarai anggota mafia peradilan yang kemudian akan menyetorkan uang-uang itu ke "atas", ke hakim agung.

KPK membongkar praktek suap di MA setelah menerima laporan dari Probo, yang mengaku diperas makelar kasus yang melibatkan pengacaranya. Saat itu, Probo didakwa melakukan korupsi dana reboisasi yang merugikan negara Rp 100,931 miliar. Dia didakwa memanipulasi data luasan pembangunan hutan tanaman industri dan mengalihkan dana reboisasi yang diterima PT Menara Hutan Buana dari Bank Exim ke rekening PT Wonoagung Jinawi miliknya sebesar Rp 55 miliar di sejumlah bank. Para pemeras itu menyatakan bisa membantu kasusnya di tingkat kasasi jika dia menyetorkan sejumlah duit.

Pemerasan tersebut dilaporkan Probo ke Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK lantas melakukan penyadapan untuk membongkar pemerasan itu. Dari bukti yang dimiliki, KPK menduga uang tersebut akan dialirkan hingga ke pucuk tertinggi benteng terakhir peradilan ini, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Inilah untuk pertama kalinya pula KPK menggunakan teknologi penyadapan untuk "menguping" pembicaraan orang yang mereka incar. Untuk operasi ini, KPK bekerja sama dengan kepolisian. Saat itu, perancang penangkapan hakim agung tersebut adalah Amien Sunaryadi, salah satu pemimpin KPK. Dialah yang merencanakan bagaimana penangkapan para mafioso perkara itu dilakukan. "Target kami adalah menangkap hakim," kata Amien, Senin pekan lalu, kepada Tempo.

KPK menggunakan peralatan teknologi terbilang canggih untuk pemantauan. Alat penunjuk arah atau GPS diselipkan ke uang-uang yang akan dikirimkan ke atas itu. Uang tersebut milik Probosutedjo dan dimasukkan ke kardus. Dengan teknologi itu, perjalanan uang bisa terus terdeteksi. Uang itulah yang kemudian diangkut oleh Harini dan, kemudian, para anggota staf Mahkamah Agung tersebut.

Tapi ternyata rencana mengikuti duit itu sampai ke pucuk tidak tercapai. Ada kesalahan dalam penggunaan teknologi sehingga, sebelum duit sampai ke hakim agung, KPK memutuskan menangkap para pembawanya.

Saat itu, kala kasus ini terbongkar, Bagir Manan menegaskan bahwa ia tidak pernah mendengar perihal uang yang akan dijatahkan kepadanya. Dia juga menyatakan siap diperiksa. "Saya sama sekali tidak mengenal kelima pegawai itu," ucapnya.

Menurut Amien, ketika itu, setelah menangkap Harini, KPK sebenarnya ngotot masuk ke ruang Ketua MA untuk melakukan penggeledahan. Tapi, karena sesuatu hal, itu tak dilakukan. Hikmah dari kasus ini, kata dia, Mahkamah kemudian melakukan reformasi. KPK, menurut Amien, memang menekan Mahkamah untuk melakukan reformasi di tubuh mereka. Salah satu target strategi pemberantasan korupsi nasional 1999 yang dibuat KPK kala itu, kata Amien, adalah membersihkan lembaga peradilan dari praktek korupsi. "Mahkamah Agung salah satunya," ujarnya.

Seorang mantan pemimpin KPK lainnya, Senin malam lalu, mengakui kepada Tempo, saat kasus penangkapan Harini dan lima anggota staf Mahkamah delapan tahun silam itu, KPK masih dalam tahap awal menggunakan teknologi canggih penyadapan. "Masih belum menguasai alat itu dengan baik. Itulah kendalanya ketika itu," katanya.

Dia menyebutkan, dalam praktek suap seperti yang diduga mengarah ke hakim agung itu, duit memang tak akan pernah langsung diberikan kepada hakim agung, tapi melalui tangan orang lain: panitera atau anggota staf Mahkamah. Mantan pemimpin KPK itu juga tak menampik bahwa operasi rencana penangkapan hakim agung tersebut bisa jadi sudah bocor.

Maria Rita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus