Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN ribu koli (dus besar) baju bekas menggunung di gudang milik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di sejumlah pelabuhan domestik. Barang ilegal itu disita aparat selama enam bulan pertama tahun ini. Nilainya lebih dari Rp 20 miliar. Itu belum termasuk puluhan ribu bal (karung) lain yang juga memenuhi gudang lembaga ini di berbagai daerah di Tanah Air.
"Kami menangkap dan menyita kasus bal-pres rata-rata dua pekan sekali," juru bicara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Haryo Limanseto, bercerita kepada Tempo, Senin lalu. Kasus terbesar ditangani Kantor Wilayah Bea dan Cukai Jawa Timur I, Januari lalu. Sebanyak 17 kontainer pakaian bekas dari luar negeri yang akan membanjiri pasar tekstil Surabaya dan sekitarnya gagal diselundupkan melalui Pelabuhan Tanjung Perak. Nilainya sekitar Rp 12,8 miliar.
Penangkapan besar lain dilakukan dalam operasi patroli laut aparat Bea dan Cukai di perairan Sulawesi, 13 Februari lalu. KLM Putri Tanjung mengangkut 2.300 bal (setara dengan 10 kontainer atau 230 ton) baju bekas. Jika diuangkan, diperkirakan harganya Rp 9,2 miliar.
KLM Putri Tanjung berlayar dari Tawau menuju Kolaka, Sulawesi Tenggara. Kapal kayu berbendera Merah Putih ini milik orang Indonesia, begitu pula awaknya. Modus penyelundupan yang mereka jalankan ialah dengan memalsukan surat persetujuan berlayar dari pelabuhan asal ke pelabuhan tujuan. Walhasil, surat yang diserahkan kepada otoritas pelabuhan tujuan tidak terdaftar di pelabuhan muat.
"Bal-pres" alias baju bekas dari berbagai negara ini dikategorikan sebagai barang haram oleh pemerintah Indonesia. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel melarang keras impor atau memasukkan barang bekas ke Tanah Air. Berdasarkan Undang-Undang tentang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014, komoditas yang diimpor harus dalam keadaan baru. "Sama sekali enggak boleh. Kalau itu dilakukan, industri kecil kita mati," ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Alasan lain, kata dia, "Masak, konsumen kita jadi tempat buang sampah orang lain?"
Sebagai gambaran tentang betapa besarnya pengaruh banjir barang bekas ini, data Asosiasi Pertekstilan Indonesia sedikit-banyak bisa jadi acuan. Menurut mereka, sepanjang 2014, nilai konsumsi pakaian di Indonesia berkisar Rp 154,3 triliun. Dari angka itu, impor pakaian resmi tercatat Rp 48,02 triliun. Adapun yang dipasok oleh industri dalam negeri bernilai Rp 93,35 triliun.?Artinya, ada selisih sekitar Rp 10,9 triliun. Jumlah terakhir itulah yang diduga merupakan pasokan yang datang melalui jalur impor ilegal alias selundupan. Di dalamnya termasuk baju-baju bekas.
Haryo Limanseto menjelaskan, sejak bertahun-tahun yang lalu, barang bekas ini dipasok dari Malaysia, yakni dari Pelabuhan Port Klang, Johor, Kuantan, dan Tawau, serta dari Singapura. Tujuannya: pelabuhan tak resmi di sepanjang pesisir timur Sumatera. Tapi, setahun terakhir, jalur distribusi bergeser ke arah Indonesia bagian timur. Ia menyebutkan barang asal Singapura dan transit di Timor Leste lantas didistribusikan ke beberapa kota atau kabupaten di Tanah Air. Misalnya ke Wanci (Pulau Wangiwangi) di Wakatobi, Kupang, Maumere, Kendari, dan Makassar (lihat infografis).
Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Kantor Bea dan Cukai Wilayah Sulawesi Agus Amiwijaya menambahkan, meski petugas telah siaga di perbatasan, tetap banyak penyelundup yang lolos. "Karena banyak sekali jalan alternatif bagi penyelundup untuk mengelabui petugas."
Menjelang Lebaran tahun ini, penyelundupan baju bekas ke Indonesia diperkirakan semakin marak. Padahal ancamannya cukup tegas: pidana maksimal 10 tahun plus barang dimusnahkan. "Kami juga usulkan agar kapal penyelundup bisa disita negara," ucap Agus. Sebagai antisipasi, aparat juga disebar untuk berjaga-jaga di wilayah perairan antarnegara.
BURSA barang bekas di Kalimantan Barat telah ada sejak 1980-an. Bukan cuma pakaian, ada pula kasur dan sofa bekas. Masyarakat menyebutnya "roma" alias rombengan Malaysia. Belakangan, istilah yang lebih ngetop adalah sebutan "lelong". Ini istilah Malaysia yang artinya barang yang dilelang. Lelong awalnya menempati kawasan Jeruju di Pontianak. Kemudian pemerintah daerah menyediakan lapak khusus di Pasar Tengah.
Lima tahun terakhir, bisnis lelong sebenarnya terhitung meredup. Tapi belakangan mulai bergairah lagi sejak harga barang-barang merangkak naik. Masyarakat kembali melirik lelong. Di sepanjang Jalan Dr Sutomo, Kotabaru, Pontianak, sedikitnya sepuluh toko pakaian bekas berdiri. Mereka juga menawarkan sepatu dan tas dengan berbagai merek terkenal.
Wati Susilawati, 30 tahun, tak malu berbelanja lelong. Karyawan swasta ini bangga menceritakan proses perburuannya hingga bisa mengoleksi tas merek Zara dan Gucci. Juga aneka baju merek terkenal lainnya. "Kalau beruntung, bisa mendapatkan merek ternama dengan kondisi yang baik," ujarnya kepada Tempo.
Begitu pula Nopi Saputra, 25 tahun, yang gemar mengoleksi jaket, sepatu, ransel, juga baju. "Saya pernah mendapat jaket North Face dan Levi's 501. Cuma Rp 80-an ribu," kata warga Sungai Kelambu, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, ini pamer.
Iwan, penjaga toko di Jalan Dr Sutomo, optimistis dengan bisnis lelong. Ia menjajakan barang-barang bermerek ternama. "Penawaran barang bermerek dibuka mulai Rp 200 ribu." Persaingan antar-pedagang lelong pun kian ketat. Bahkan seorang pedagang mempromosikan dagangannya melalui media sosial untuk menggaet pembeli lebih luas.
Tapi seorang pemilik toko lelong, sebut saja Sandi, 50 tahun, mengaku bisnisnya mulai sepi. "Polisi memperketat pengawasan di perbatasan. Begitu juga lewat kapal. Paling bisa mendapat dua bal pakaian campur asal Cina," ujarnya. Dia tahu betul bahwa pemerintah Indonesia melarang memasukkan barang bekas dari luar negeri. Namun keuntungan yang menggiurkan dan lumrahnya penjualan lelong di Kalimantan Barat membuatnya berani ikut bermain di bisnis ini.
Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Brigadir Jenderal Arief Sulistyanto menegaskan, memasukkan pakaian bekas dari luar negeri termasuk kategori penyelundupan. "Kalau penyelundupan bukan ranah polisi. Tapi kami mengantisipasi celah-celah di perbatasan. Makanan dan minuman pun kalau masuk kami tindak dengan Undang-Undang Perdagangan," katanya.
Persoalannya, menurut Staf Ahli Menteri Perdagangan Ardiansyah Parman, barang ilegal ini masuk melalui pelabuhan-pelabuhan kecil yang tak resmi. Dan, bila barang telah beredar di pasar, tidak bisa lagi dikatakan ilegal. Peredaran barang di dalam negeri mengikuti regulasi tentang perlindungan konsumen. Selama penjual menyebutkan bahwa dagangannya adalah barang bekas dan tidak menipu konsumen, tidak jadi masalah. Makanya aparat tidak bisa menindak.
Wakil Gubernur Kalimantan Barat Christiandy Sanjaya berharap warganya bisa lebih bijak dalam membeli pakaian. "Itu lelong tidak terjamin kesehatannya. Tapi pasarnya ada. Namun, karena melanggar aturan, jadi instansi terkaitlah yang bisa mengatasi," ujarnya.
Awal Maret 2015, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Kecil-Menengah Kota Pontianak menindaklanjuti surat Direktur Jenderal Standardisasi Perlindungan Konsumen tentang penanganan pakaian bekas dari negara lain. Dari 25 sampel pakaian bekas yang diambil acak di pasar, ditemukan kontaminan bakteri serta jamur patogen dan kapang. "Pengukuran menggunakan parameter pengujian angka lempeng total (ALT)," kata Utin Sri Lena, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM Kota Pontianak.
Pada semua sampel pakaian bekas itu terkandung mikroba ALT 216 ribu koloni per gram dan kapang 36 ribu koloni per gram. Kontaminan itu bisa menyebabkan gatal-gatal, bisul, jerawat, atau infeksi pada kulit manusia. Dalam kasus tertentu bahkan bisa mengganggu pencernaan atau pernapasan. Satu contoh lain risiko yang membahayakan: mikroba yang ditemukan itu bisa menyebabkan infeksi saluran kelamin. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2009, seharusnya pakaian bekas tersebut ditarik dan tidak boleh diedarkan.
Gairah pasar baju bekas di kawasan Indonesia timur ternyata berdampak ke lapak-lapak serupa di Pasar Gedebage di Bandung, Jawa Barat. Seorang pedagang senior di pasar itu, Ayat, mengaku tahun ini dagangannya tidak terlalu laku. "Sekarang sepi dibanding Ramadan lalu," ujarnya. Tahun lalu, Ayat menceritakan, dia bisa membawa pulang untung bersih hingga Rp 3 juta sehari. Tapi kini cuma Rp 1 juta.
Menurut Ayat, minat pembeli menurun setelah bisnis pakaian bekas diterjang isu dan kampanye pemerintah yang menyebutnya sebagai barang tak layak, bahkan mengandung penyakit berbahaya. Munculnya sentra baru pakaian bekas di berbagai daerah juga mengurangi minat para pembeli untuk berburu sampai ke Bandung. "Dulu pembeli datang kemari. Sekarang yang di daerah-daerah sudah buka lapak. Jadinya terpecah-pecah," ucapnya.
Retno Sulistyowati, Pingit Aria, Aminudin (bandung), Muhammad Yunus (makassar), Aseanty Pahlevi (pontianak)
Kios di Pasar Senen, Jakarta, 7 Juli 2015.
Pemasok:
Malaysia (port Klang, Johor, Kuantan, Tawau), Singapura, Dili, Timor Leste (barang Eks Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo