Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung mengungkap fakta baru di kasus dugaan suap hakim penanganan perkara korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Duit suap Rp 60 miliar yang diberikan kepada mantan Wakil Ketua PN Jakpus Muhammad Arif Nuryanta, disiapkan oleh Muhammad Syafei (MSY), pejabat hukum Wilmar Group.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Syafei yang menjabat sebagai Head of Social Security Legal Wilmar Group itu telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) setelah diperiksa maraton di Gedung Kejaksaan Agung pada Senin, 14 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Malam ini menetapkan satu orang tersangka, MSY. Yang bersangkutan sebagai Head of Social Security Legal Wilmar Group,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, dalam konferensi pers, Selasa, 15 April 2025.
Kasus ini menyeret tiga korporasi besar yang sedang berperkara: Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Ketiganya sebelumnya dituntut atas dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO. Wilmar dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 11,88 triliun, Musim Mas Rp 4,89 triliun, dan Permata Hijau Rp 937,5 miliar. Selain itu, jaksa juga menuntut denda masing-masing Rp 1 miliar.
Belakangan, ketiga korporasi tersebut justru divonis ontslag van alle recht vervolging, atau terbukti melakukan perbuatan, tapi dinyatakan bukan tindak pidana. Putusan itu, menurut Kejaksaan, merupakan hasil pesanan.
Qohar menjelaskan perkara bermula dari tawaran pengurusan perkara yang diajukan mantan Panitera Muda PN Jakpus, Wahyu Gunawan, kepada pengacara korporasi, Ariyanto. “Tersangka WG menyampaikan agar perkara minyak goreng harus diurus. Jika tidak putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum,” ujar Qohar.
Tawaran itu diteruskan Ariyanto kepada rekannya, Marcella Santoso. Marcella lalu menyampaikan kepada Syafei dalam pertemuan di rumah makan Daun Muda di Jakarta Selatan. Syafei, menurut penyidik, menyatakan Wilmar bersedia menyediakan dana sebesar Rp 20 miliar untuk mengupayakan putusan bebas.
Namun, dalam pertemuan lanjutan yang melibatkan Ariyanto, Wahyu, dan Mantan Wakil Ketua PN Jakpus Muhammad Arif Nuryanta di restoran lain di kawasan Kelapa Gading, Arif menyebut biaya harus dinaikkan tiga kali lipat menjadi Rp 60 miliar. Ia menyatakan perkara itu tidak bisa diputus bebas, tapi bisa diarahkan ke putusan ontslag.
Permintaan itu disampaikan kembali ke Syafei yang kemudian menyanggupi. “MSY menyatakan akan menyiapkan uang tersebut dalam mata uang asing, baik dolar Singapura maupun dolar Amerika Serikat,” kata Qohar.
Tiga hari setelahnya, Syafei mengabarkan ke Marcella uang telah tersedia. Dana itu ia serahkan langsung kepada Ariyanto di area parkir kawasan SCBD, Jakarta. Uang tersebut kemudian dikirim ke rumah Wahyu di Klaster Ebony, JI. Ebony 6, Blok AE No. 28, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara. Dari Wahyulah kemudian uang itu diberikan ke Arif.
Setelah menerima dana, Arif selaku Wakil Ketua PN Jakpus menunjuk majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Pada 19 Maret 2025, majelis tersebut memutus ketiga korporasi secara ontslag, membebaskan mereka dari semua tuntutan jaksa.
Dengan penetapan Muhammad Syafei sebagai tersangka, jumlah tersangka dalam perkara ini kini mencapai delapan orang. Selain Syafei, Kejaksaan Agung telah menetapkan Arif Nuryanta, Wahyu Gunawan, tiga anggota majelis hakim, serta dua pengacara: Ariyanto dan Marcella Santoso, sebagai tersangka.
Pilihan Editor: Kejaksaan Agung Periksa 6 Saksi di Kasus Korupsi Pertamina