PELUKIS S. Sudjojono (64 tahun) yang dikenal sebagai motor
PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia, berdiri 1937 di
Jakarta), satu Nopember kemarin memberi ceramah seni lukis di
Teater Arena TIM. Judul ceramah: 'Seni Lukis Indonesia.' Judul
ini penting, sebab penceramah sendiri merasa perlu untuk minta
kepada hadirin agar 'Seni Lukis Indonesia' dibedakan dari 'Seni
lukis di Indonesia'. Mengapa?
Karena ada orang yang menganggap seni lukis Indonesia belm ada.
Bagi Sudjojono, seni lukis Indonesia sudah ada sejak abad VIII
paling tidak. Buktinya, Raja Palembang adalah seorang pelukis
potret amatir dan lagipula mempunyai beberapa pelukis istana.
Hal itu terbukti dari kisah ketika raja tersebut mimpi bertemu
dengan seorang pendeta. yang menganjurkannya untuk membuka
hubungan dengan Kaisar Tiongkok yang wajahnya - dalam mimpi itu
pula --diperlihatkan kepadanya. Bangun tidur, Raja terus
memindahkan wajah kaisar yang dilihatnya dalam mimpinya itu ke
dalam gambar. Lalu ia mengutus beberapa pelukis ke Tiongkok
untuk membuka hubungan kenegaraan, sekaligus menggambar wajah
kaisar benar-benar.
Juga dalam Kitab Nagarakrtagama dikisahkan salah seorang raja
Majapahit mengutus para pelukis ke segenap penjuru angin untuk
melukis wajah gadis-gadis tercantik, untuk dipilih raja sebagai
isteri. Lalu, cerita rakyat yang masih bisa didengar sekarang
ini berkisahnya tentang Pelukis Sungging Prabangkara yang
terpaksa dihukum mati oleh Raja Majapahit. Sebabnya: ia bisa
melukis sang permaisuri yang almarhumah dalam keadaan polos
persis tanpa meleset, termasuk tahi lalat (yang sebetulnya tak
disengaja oleh pelukisnya) menempel Rada anu sang permaisuri.
Jadi seni lukis Indonesia sudah ada. Sejak lama. Pokoknya sejak
zaman nenek moyang.
Agak Membingungkan
Repotnya, Sudjojono juga menyatakan bahwa pelukis Indonesia
tidak usah repot-repot dengan gaya pribadi: toh, pelukis
Perancis misalnya juga tidak otentik lagi. Van Gogh menengok ke
Jepang dan Picasso ke Afrika. Kenapa kita tidak boleh
mempelajari yang bukan Indonesia? Maka Sudjojono pun menjadi
repot, ketika seorang hadirin menanyakan: kalau gaya pribadi --
dalam pengertian seperti yang dimaksud - tidak perlu lagi, lalu
apa yang membedakan seni lukis Indollesia dari seni lukis Rusia
misalnya?
Entah malam itu Sudjojono memang mau melawan orang yang
mengatakan seni lukis Indonesia belum ada - sesuatu yang
sesungguhnya tidak perlu - sehingga ia sangat bernafsu
meyakinkan hadirin (dan dirinya sendiri terutama, saya kira)
bahwa seni lukis Indonesia ada (dan mungkin: penting). Ia lupa
menjelaskan bahwa gaya pribadi baru muncul pada Zaman
Renaisalls. Dan ketika Seni Optik muncul (1955) dan disambung
dengan Seni Konsep pentingnya gaya pribadi pun surut. Juga bahwa
gaya pribadi tidak ada hubungannya dengan isme-isme yang muncul
di Barat.
Hingga pernyataan Sudjojono bahwa pelukis Perancis juga tidak
otentik, tidak menyentuh nilai kreatifitas mereka. Dan agak
membingungkan juga pernyataannya bahwa relief Candi Penataran
bergaya ekspresionistis - sehingga kita lebih jago dari kaum
ekspresionis Eropa dalam seni rupa, karena kita telah mendahului
mereka. Tanpa penjelasan bahwa isme-isme yang tumbuh di Eropa
dan Amerika merupakan satu gerakan yang muncul akibat tantang
jawab dengan zaman mereka, dan punya arti khusus yang erat
hubungannya dengan sejarah seni rupa mereka, kita bisa salah
tangkap.
Padahai penggunaan istilah-istilah itu di Indonesia hanya teknis
belaka -- tanpa konotasi dengan sejarah maupun nilainya.
Sehingga kalimat: Affandi itu ekspresionistis, tidak ada
hubungannya dengan ekspresionisme di Perancis atau Jerman.
Apalagi digunakan sebagai ukuran apakah Affandi lebih baik atau
lebih jelek dari mereka. Hanya bahwa karya Affandi memang punya
unsur-unsur yang sama dengan karya mereka.
Sudjojono salah seorang pelukis kita yang baik. Ia pun punya
andil daiam membentuk pelukis-pelukis kita kini yang sudah jadi
(Zaini aimarhum Nashar, dan lain-lain). Ia bukan seorang pemikir
seni lukis. Pernyataan-pernyataannya saling bertentangan.
Mungkin lebih baik jika ia menguraikan saja pengalamannya
sebagai pelukis selama ini. Bukankah ia sudah membuat sejarah?
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini