Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menilai Kapolrestabes Medan Komisaris Besar Gidion Arif Setyawan dan Kasat Reskrim Polrestabes Medan Komisaris Jama Kita Purba perlu bertanggung jawab atas tindakan enam polisi yang diduga menyebabkan kematian Budianto Sitepu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria berusia 42 tahun itu meninggal setelah dua hari mendekam di rumah tahanan Polrestabes Medan, pada Kamis, 26 Desember 2024. Dia ditangkap karena diduga melakukan pengancaman dengan kekerasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur LBH Medan Irvan Saputra mengatakan bahwa tidak ada satu pun aturan hukum yang membenarkan tindakan penyiksaan terhadap orang yang diduga melakukan sebuah tindak pidana. “LBH Medan menduga tindakan enam anggota Polrestabes telah bertentangan dengan konstitusi dan HAM,” kata Irvan dalam keterangan tertulis, Jumat, 27 Desember 2024.
Budianto ditangkap oleh enam anggota Polrestabes Medan pada malam Natal, Selasa, 24 Desember 2024. Bersama kedua temannya, G dan D, Budianto ditangkap di Desa Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, karena diduga melakukan pengancaman disertai kekerasan. Kepolisian mengakui bahwa penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, sebab ketiganya tertangkap tangan diduga melakukan tindakan yang dituduhkan itu di lokasi kejadian.
“Kemudian, para polisi ini langsung melakukan penganiayaan secara membabi-buta di lokasi kejadian, dan mereka pun langsung dimasukkan ke dalam mobil yang berbeda dan dibawa ke Polrestabes Medan,” kata Irvan.
Kepolisian, lanjut Irvan, juga mengakui bahwa personelnya melakukan tindakan kekerasan saat mengamankan Budianto. Namun, mereka membantah Budianto mengalami kekerasan di dalam sel tahanan.
Kematian Budianto dua hari setelah ia ditangkap itu memicu kecurigaan istrinya, Dumaria Simangunsong. Hal ini terutama karena jenazah Budianto tampak dipenuhi luka lebam. Wajah Budianto, menurut keterangan Dumaria, membiru dan membengkak. Di kakinya terlihat bercak darah, dan pada dada dan bahunya terlihat seperti ada bekas pukulan.
LBH Medan menilai tindakan keenam polisi itu melanggar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Indonesia, ungkap Irvan, telah meratifikasi the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment Punishment (UNCAT) melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. “Tindakan tersebut juga telah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, DUHAM, ICCPR Jo KUHPidana,” kata dia.
Adapun LBH Medan, Irvan berujar, mendesak Kapolrestabes Gidion untuk menegakkan hukum secara berkeadilan. “Jika anggota Polrestabes Medan diduga terlibat atas kematian Budianto, harus diadili dan dipecat dari Institusi Polri.” Mereka juga mendesak proses hukum terhadap dugaan keterlibatan keenam anggota Polrestabes Medan itu dilakukan secara transparan. Irvan meminta penyelidikan terhadap personel polisi tersebut disampaikan kepada publik.
Diberitakan oleh Antara, sebanyak enam anggota Polrestabes Medan diperiksa ihwal kematian Budianto. “Pemeriksaan dilakukan oleh Paminal Polrestabes Medan terhadap enam anggota yang melakukan penangkapan pada saat itu,” ungkap Kapolrestabes Medan Komisaris Besar Gidion Arif Setyawan, Kamis, 26 Desember 2024.
Dia mengatakan, pemeriksaan dilakukan karena adanya dugaan kekerasan pada saat proses penangkapan. Dari enam polisi yang kini dalam proses pemeriksaan Pengamanan Internal atau Paminal Polrestabes Medan, satu di antaranya perwira berinisial Ipda ID.
“Pemeriksaan dilakukan, supaya jelas apabila ada dugaan pelanggaran kode etik maupun SOP dalam proses penangkapan, kita akan menyesuaikan dengan ketetapan yang telah dibuat secara internal,” kata Gidion.