Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Angket, boikot, dan istigfar

Pendapat sejumlah tokoh tentang angket "tokoh yang dikagumi" tabloid monitor. mereka di antaranya menpen harmoko, zainuddin mz, iwan fals, hetty koes endang, k.h. hasan basri, nurcholish madjid, dan seterusnya.

27 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARMOKO, Menteri Penerangan, tokoh yang dikagumi peringkat ke-9. Dalam soal angket, harus hati-hati karena ada metode ilmiahnya. Masa, nama Nabi kok diangketkan. Sebagai umat Islam, saya tersinggung. Selain teledor, Monitor juga ceroboh dan tidak mengacu pada aturan-aturan profesional. Dalam menyajikan tulisan, berita, atau ulasan bidang agama, harus memiliki nalar-nalar khalayak, sense of audience yang tepat agar mengetahui betul lapisan masyarakat mana yang menjadi sasaran tulisan. Wartawan harus menyadari bahwa mempersoalkan hal-hal yang menyangkut pokok-pokok kepercayaan atau kaidah dari berbagai agama yang berbeda akan dapat merusak hubungan antarumat beragama. Dalam hal ini Pemerintah -- Departemen Penerangan -- memberi peringatan keras. Kalau dikaitkan dengan perundang-undangan, apa yang dilakukan Pemerintah sesuai dengan jalur-jalur aturan permainan. Pemerintah juga tidak gegabah. Kalau peringatan keras ini tidak diindahkan, pemerintah akan melakukan peringatan lagi. Terakhir kita akan meminta pertimbangan Dewan Pers untuk melakukan pembatalan SIUPP. Dengan kesadaran sendiri, Monitor telah minta maaf melalui iklan, dan sudah pula dipanggil oleh Dirjen PPG, diberi wawasan cukup. Kita ini kan diminta untuk membina pers dengan ketentuan dan aturan-aturan yang ditetapkan. Kalau ada yang melanggar, kita luruskan, sehingga mereka tidak terjerumus. ZAINUDDIN M.Z, ustad, 49 tahun, tokoh yang dikagumi peringkat ke-5. Menurut saya, angket yang dilakukan Monitor itu bukan hanya suatu kecerobohan jurnalistik, tetapi penghinaan. Apa pun ukuran dan tujuannya, perasaan umat telah tersinggung. Saya kira Arswendo -- sebagai orang yang bertanggung jawab -- tidak cukup hanya menyatakan khilaf atau minta maaf. Umat Islam semestinya menuntut kepada Dirjen PPG supaya segera mengambil tindakan tegas. Dalam suasana keterbukaan ini, memang tidak enak kalau sampai Monitor dibredel. Tapi tetap harus ada tindakan. Misalnya lewat pengadilan. Angket itu tidak bisa dijadikan ukuran untuk mendudukkan saya lebih dikagumi daripada Nabi Muhammad saw. Mengapa? Bandingannya begini. Anak saya akan lebih mengagumi saya ketimbang pada Gorbachev. Ini karena pengetahuan anak saya terhadap lingkungan mungkin sangat terbatas. Dan peranan saya sebagai bapaknya akan sangat mempengaruhi penilaiannya. Jadi, ukurannya kan sangat subyektif. Tapi secara obyektif kan bukan begitu. Saya tidak tahu kenapa saya bisa menduduki urutan kelima orang yang dikagumi. Ketika saya baca di sana ada nama Nabi Muhammad, saya langsung beristigfar (mohon ampun pada Allah swt.). Saya tidak merasa bangga karenanya. Saya malah merasakannya sebagai penghinaan. Tidak mungkin ada ustad yang lebih dikagumi daripada nabinya. IWAN FALS, penyanyi, peringkat ke-4. Hasil pol yang meletakkan saya di peringkat keempat, ya, biasa-biasa saja. Nah, kalau sudah menyangkut nabi, itu soal lain. Apalagi Nabi Muhammad. Kok dibanding-bandingkan sama Presiden Soeharto dan Habibie? Itu jelas nggak benar. Saya ini orang Islam, sejak saya bayi, Nabi Muhammad itu keyakinan saya. Kalau mau main peringkat-peringkatan, buat saya, Nabi Muhammad itu peringkat kedua setelah Allah swt. Bicara soal solusi, ya, pol semacam itu nggak usah ada lagi. Kecuali kalau mau bikin macam hura-hura, biar ramai, begitu.... Kalau soal diadili segala macam, saya nggak tahu mesti bilang apa. Soalnya, saya nggak tahu banyak soal hukum pers. HETTY KOES ENDANG, penyanyi, peringkat ke-15. Waduh, Monitor dapat peringatan? Seharusnya memang Nabi tidak dimasukkan ke dalam peringkat kayak begini ini. Dia kan bukan manusia biasa. Melihat Monitor dapat peringatan, saya malah jadi sedih rasanya. K.H. HASAN BASRI, Ketua MUI. Seandainya angket itu disebarkan ke maling-maling, tentu jawabannya menunjuk maling paling hebat. Coba disebarkan ke masjid-masjid, tentu yang nomor satu adalah Nabi Muhammad. Kalaupun pengelola Monitor menganggap angket itu sebagai suatu gurauan, harusnya mereka tahu diri, mana yang boleh diguraukan dan mana yang tidak. Keyakinan adalah hal yang sangat hakiki, tidak boleh dibuat suatu gurauan. Daftar hasil angket yang dimuat Monitor kemarin telah menjurus ke hal SARA. Nabi disejajarkan dengan artis, politikus. Apakah pengelola Monitor tidak tahu bahwa nabi itu berbeda dengan manusia lain. Nabi dikaruniai sifat maksum, bebas dari dosa. Bahkan Rasulullah adalah utusan Allah yang ulul azmi (terkemuka). Seandainya Nabi menduduki peringkat pertama, misalnya, saya tetap tidak setuju. Sikap MUI dalam menanggapi kasus ini kurang lebih sama dengan pendapat saya. NURCHOLISH MADJID, 51 tahun, intelektual Islam. Lepas dari metodologi riset dan sebagainya, sifat angket itu keterlaluan. Dan itu, menurut saya, indikasi kesombongan. Ini SARA. Dan menurut saya, SARA harus dibuka. Semakin ditutupi, meledaknya semakin tidak ketulungan. Karena itu, biarkan terbuka. Dan saya tidak setuju kalau Pemerintah menutup-nutupi. Permintaan maaf tidak cukup. Saya tidak melihat Arswendo pribadi, tetapi melihat suatu mekanisme di belakangnya. Yang intinya adalah kesombongan, keangkuhan, ketidakpedulian, ketidaksensitifan, dan sebagainya. Dan karena itu harus dihukum seberat-beratnya. Menurut saya, Monitor harus dibredel selama-lamanya. Dibredel mutlak, tidak boleh terbit. K.H. SOLEH ISKANDAR, Ketua Pimpinan Majelis Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Jawa Barat (BKSP). Nabi itu kan oleh Allah swt. sudah dijadikan nomor satu, seperti yang disebut dalam surat Al Hajj. Allah sudah memilih utusan-Nya, dan manusia tidak usah memilih lagi. Seharusnya, dalam membuat angket, redaksi Monitor melakukan pembatasan, sehingga tidak membawa nama nabi. Jadi, dibatasi "tokoh yang dikagumi di luar nabi dan utusan Allah". Seandainya pun Nabi menduduki peringkat pertama, saya tetap tidak setuju kalau Nabi dibanding-bandingkan. ABDURRAHMAN WAHID, 50 tahun, Ketua PB NU. Tenang sajalah, itu menunjukkan ketidakmampuan pihak Monitor untuk mengukur sensitivitas masyarakat di satu pihak. Kedua, ketidakmampuan dia untuk mengendalikan diri. Kita harus demokratis, tidak usah marah. Kalau memang semua begitu, ya, begitulah jadinya. Nabi tidak berkurang kebesarannya karena angket Monitor. Itu mereka sembrono saja. Tidak perlu marah, tapi sikap kita tegas. Terhadap koran-koran yang seperti itu, boikot. Kita tidak mengurangi hak seseorang untuk bikin apa-apa. Terserah, mau buat apa ya boleh, tapi konsekuensinya tanggung sendiri. Kita ajak masyarakat untuk memboikot. Nggak usah beli korannya saja. Kalau mau diambil sikap, ya sikap itu saja. Jangan sampai menjurus ke vandalisme, sikap merusak. Sekarang yang terjadi mengarah ke sana. Itu yang kita sayangkan. Semangat keagamaan itu jangan berubah menjadi vandalisme. Sebab, hal itu destruktif. Tanpa kekerasan, dan kita tidak mengganggu hak orang untuk menerbitkan sesuatu. Dan hak kita yang tidak membaca, itulah yang kita pakai. Kan sama-sama punya hak. Dia punya hak menerbitkan, kita punya hak tidak membaca. Wong tidak ada keharusan untuk membaca. Mengenai tindakan peringatan keras dari Deppen, itu penting. Tapi kalau diletakkan dalam konteks ini, sudah kedua kali, nanti ketiga, kamu saya tutup, itulah yang saya tentang. Soalnya, saya tidak bisa menerima pembredelan oleh siapa pun dan di mana pun. Sebagai peringatan itu tepat, untuk mencegah kalau pemerintah sudah bertindak demikian, masyarakat bisa tenang. Saya memang anti-pembredelan. Sebab, kalau untuk apa pun, koran bisa dibungkam, hak kita untuk mendapat informasi seluas-luasnya terancam. Sikap DPW PPP DKI Jaya? Orang mati melarat, mereka tidak pusing. Baru koran satu itu mereka ribut. Orang-orang di kolong jembatan itu tolong diurusin. Kenapa sih orang politik kok bikin isu begitu? Bikin isu saja memanfaatkan situasi. Kalau memang dia betul-betul merasa tergugah, urusan tanah orang yang digusur nggak keruan, dia diam saja. Mengapa? Apa mau jadi jagoan? Nggak tuntas dengan cara-cara cengeng begitu, dan cari popularitas murahan. Siapa pun mereka, baik Golkar, PPP, maupun PDI. Popularitas murahan itu merugikan semua. Kita harus nuchter (dewasa). Jangan setiap ada apa-apa sedikit saja, mencak-mencak. H.M. AMIEN RAIS, Dosen UGM Apa yang dilakukan Monitor adalah suatu pukulan telak yang sangat menghina umat Islam dan sekaligus menghancurkan seluruh usaha Pemerintah selama ini untuk membangun kerukunan umat beragama. Arswendo seolah-olah tidak tahu bahwa hubungan batin antara umat Islam dan Nabinya melebihi hubungan seorang anak dengan orangtuanya. Setiap haji yang datang berziarah ke makam Nabi di Madinah hampir bisa dipastikan akan menangis ngglolo karena hubungan yang begitu emosional dan mendalam. Dalam setiap azan, ikamah, salat, nama Nabi Muhammad selalu disebut-sebut. Dalam paradigma seorang muslim, setelah Allah itu adalah Nabi Muhammad sebagai sumber hukum, moral, akhlak, dan sumber pengelolaan itu sendiri. LUKMAN HARUN, Ketua PP Muhammadiyah. Kesalahan yang dilakukan Arswendo lebih besar daripada Salman Rushdie. Rushdie masih menyebut nama-nama samaran. Dalam angket yang disebarkan Monitor itu, nama Nabi Muhammad dihina sebagai tokoh yang dikagumi nomor 11, di bawah artis-artis atau penyanyi, dan di bawah manusia-manusia biasa. Tapi, dalam zaman keterbukaan ini Monitor tidak perlu dibredel. Tuntut saja ke pengadilan. Toh UU dan peraturan-peraturannya cukup lengkap. DEDE YUSUF, artis, tokoh yang dikagumi peringkat ke-18. Tadi pagi saya lihat cover Monitor yang minta maaf gede-gede. Ya sudah, deh, jangan terlalu dibesar-besarkan. Mas Wendo itu kan khilaf. Saya pikir Mas Wendo nggak bermaksud merendahkan Rasulullah. Selama ini Monitor kan juga banyak meliput tokoh Islam seperti Rhoma Irama, K.H. Zainuddin Mz. Juga waktu kasus penggantungan Basri Masse dulu saya salut dengan sikap Monitor yang memboikot pemberitaan tentang Malaysia. Saya nggak setuju juga, sih, mencampurkan tokoh yang sudah wafat dengan yang masih hidup. Atau tokoh sekaliber Rasulullah dengan kita-kita ini. Kan nggak sebanding. Tapi Mas Wendo cukup jantan, kan? H. DJARNAWI HADIKUSUMO, 70 tahun, Wakil PP Muhammadiyah Yogyakarta. Bila Monitor meletakkan Nabi Muhammad saw. pada peringkat ke-11 di bawah Arswendo, itu versi Monitor. Ukuran yang digunakan Monitor adalah tokoh yang paling banyak penggemar. Biar saja. Saya tidak perlu memprotes. Saya malah baru merasa heran kalau Nabi Muhammad menjadi tokoh nomor satu di Monitor. Soalnya, pembacanya adalah orang yang suka dansa-dansi, hura-hura, bukan kaum agama. RHOMA IRAMA, 43 tahun, artis, peringkat ke-16. Begitu membaca itu, terus terang saya terkejut sekali. Kemudian saya berpikir jauh, ini tendensinya apa? Apakah ini politis? Yang pasti, dengan menyebutkan Nabi dalam hasil angket, itu suatu penghinaan terhadap Islam. Ini tidak bisa dibantah. Untuk peringatan kepada yang lain, saya kira memang perlu kalau ada yang mengusulkan supaya Monitor dibredel. Itu kalau memang terbukti bertendensi. Tentang aksi-aksi kekerasan yang tiba-tiba bermunculan, menurut saya, itu menunjukkan suatu girah Islamiyah. Yakni suatu semangat untuk mencintai Islam, Allah swt. dan Nabi-nya sehingga timbul protes spontanitas yang fisik seperti itu. Ha ... sebagai muslim saya gembira dan bangga, bahwa di era modernisasi ini ternyata masih ada girah Islamiyah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus