Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keluarga korban memperingati dua tahun tragedi Kanjuruhan.
Belum semua auktor intelektualis diseret ke pengadilan.
Proses hukum tidak memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban.
MATA Cholifatul Nur terlihat sembap ketika mengikuti peringatan dua tahun tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, pada 3 Oktober 2024. Perempuan yang biasa disapa Mama Ifa itu tak sanggup menahan kesedihan. Putra semata wayangnya, Jovan Farellino Yuseifa Pratama Putra, turut menjadi korban. Ketika itu usia Jovan baru 15 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Mama Ifa, proses hukum terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas tragedi itu belum memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban. Sebab, masih ada auktor intelektualis yang tidak tersentuh hukum. Ia berharap presiden terpilih Prabowo Subianto berani mengambil sikap untuk mengungkap kasus ini secara menyeluruh. "Negara harus mengaku bersalah dalam kasus ini," kata Mama Ifa di sela aksi Kamisan di Malang.
Duka serupa dirasakan Devi Athok Yulfitri. Ketua Yayasan Keadilan Tragedi Kanjuruhan ini kehilangan dua putrinya, Natasya Devi Ramadhani (16) dan Naila Debi Anggraini (13). "Keadilan belum kami genggam," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Athok menuturkan hukuman terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan terlalu ringan. Tidak setimpal dengan kematian 135 orang yang menjadi korban. Abdul Haris selaku ketua panitia pelaksana pertandingan, misalnya, hanya dihukum 1 tahun 6 bulan penjara. Hukuman yang sama diberikan kepada Komandan Kompi III Brigade Mobil Kepolisian Daerah Jawa Timur Hasdarmawan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nico Afinta, yang sebelumnya menjadi Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, di lapangan upacara Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, 30 September 2024. Kemenkumham.go.id
Bahkan, kata Athol, mantan Kepala Polda Jawa Timur, Inspektur Jenderal Nico Afinta, mendapat penghargaan dengan dilantik menjadi Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Padahal, dalam tragedi Kanjuruhan, peran Nico sebagai Kapolda Jawa Timur sangat strategis. Sebab, pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya bisa diselenggarakan setelah ada persetujuan dari kepolisian daerah setempat.
Sekretaris Jenderal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andy Irfan Junaedi menilai pengangkatan Nico mencederai rasa keadilan keluarga korban. Ia juga prihatin lantaran Nico yang terindikasi sebagai pemimpin tertinggi dalam peristiwa brutal itu malah mendapat promosi jabatan. "Seolah-olah pemerintah tidak memiliki keseriusan untuk mengungkap tragedi Kanjuruhan hingga tuntas," ucapnya.
Adapun Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita hingga saat ini belum diadili. Pada 22 Desember 2022, Akhmad yang berstatus tersangka dilepaskan karena masa penahanannya sudah habis. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menyatakan berkas perkara Akhmad belum lengkap sehingga berkas tersebut dikembalikan ke penyidik Kepolisian Daerah Jawa Timur.
"Berkas perkara dikembalikan pada 30 Maret 2023," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Windhu Sugiarto, Kamis, 3 Oktober 2024. Ia mengatakan berkas perkara itu belum memenuhi syarat formil dan materiil untuk dilimpahkan ke pengadilan. "Saat ini kewenangan ada pada penyidik untuk menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan perundang-undangan."
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Timur Komisaris Besar Dirmanto tidak menjawab pesan ataupun panggilan telepon Tempo ketika dimintai konfirmasi soal status Akhmad Hadian itu. Namun sebelumnya Kepala Subdirektorat I Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur Ajun Komisaris Besar Achmad Taufiqurrahman mengatakan polisi belum menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap Akhmad. Dengan demikian, status Akhmad masih sebagai tersangka.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan hukum acara pidana di Indonesia memang memiliki kelemahan. Kelemahan itulah yang membuat perkara Akhmad hingga belum juga dibawa ke pengadilan. Sebab, tidak ada aturan yang memberi batasan waktu sampai kapan seorang tersangka harus diadili. "Kecuali mereka tersangka yang ditetapkan (dengan) upaya paksa, baik penahanan maupun penyitaan barangnya," ujarnya.
Kelemahan ini, kata Fickar, memberikan peluang kepada penyidik untuk memperlambat—baik sengaja maupun tidak—penuntasan perkara. "Tragedi Kanjuruhan, meski bukan perbuatan sengaja melainkan perbuatan pihak yang bertanggung jawab, telah menimbulkan banyak korban dan kerugian."
Menurut Fickar, keluarga korban sebenarnya memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan praperadilan, baik terhadap penyidik maupun penuntut umum. "Penggantian kerugian bagi korban tidak menghapuskan pidananya."
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Susilaningtias berpendapat, penanganan kasus Kanjuruhan menjadi contoh penegakan hukum setengah hati. "Saya merasa ini tidak adil bagi korban dan keluarganya," ucapnya. "Ada 135 korban meninggal dan banyak yang mengalami luka, tapi penegakan hukum pidananya belum memenuhi keadilan."
Pendapat serupa disampaikan Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Arif Maulana. Menurut dia, putusan pengadilan belum mengungkap fakta kebenaran atas tragedi Kanjuruhan. "Yang memilukan, justru angin yang disalahkan," tuturnya.
Anggota Divisi Hukum Kontras, Muhammad Yahya Ihyaroza, bahkan menilai polisi sudah tidak menyelidiki kasus Kanjuruhan. Karena itu, tuntutan keluarga korban agar auktor intelektualis bisa diseret ke meja hijau masih sebatas harapan. "Jadi, dua tahun peristiwa ini berlalu, kasus baru selesai pada aktor lapangan," kata Yahya.
Keluarga korban menangis saat aksi peringatan dua tahun tragedi Kanjuruhan di halaman kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa, 1 Oktober 2024. ANTARA/Irfan Sumanjaya
Menurut Yahya, aktor-aktor lapangan itu hanya menjalankan perintah atasan. Sedangkan aktor high level—orang yang bertanggung jawab memberi perintah atas penembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022—belum pernah diusut. Paling tidak, pendapat ini selaras dengan pernyataan Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta pada 2 Oktober 2022. Saat itu Nico mengatakan penembakan gas air mata sudah sesuai dengan prosedur. "Sehingga, dengan kata lain, ada perintah pastinya untuk penembakan gas air mata, yang hingga sampai saat ini belum diusut oleh kepolisian."
Pengamat sepak bola Akmal Marhali mengatakan penyelesaian tragedi Kanjuruhan yang tidak tuntas dan paripurna menimbulkan trauma mendalam di benak keluarga korban. "Penanganan tragedi Kanjuruhan tidak memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban," kata anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Tragedi Kanjuruhan yang dibentuk Presiden Joko Widodo itu.
Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, Fatahillah Akbar, menuturkan banyak persoalan yang belum dituntaskan dalam penanganan tragedi Kanjuruhan. Penanganan yang tidak tuntas ini seharusnya diselidiki secara mendalam agar tak terulang di kemudian hari. "Pasal yang dipilih hanya tentang kelalaian, padahal mengakibatkan kematian dengan jumlah masif. Seharusnya bisa kesengajaan."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dani Iswara dan Eko Widianto dari Malang berkontribusi dalam penulisan artikel ini.