SAAT itu jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Tanpa curiga, Wakil Direktur Bank Tani Nasional Kabanjahe, Johandy mengendarai Suzuki Jimny-nya memasuki pekarangan kantor, sekaligus tempat tinggalnya. Ia memperlambat laju mobilnya dan membelokkan ke garasi. Tanpa disadarinya, tujuh orang berpakaian gelap, yang sudah dua jam menunggunya di seberang kantor bank swasta itu, memperhatikan gerak-geriknya. "Itu dia," kata salah seorang komplotan tersebut sambil menunjuk ke arah mobil itu. Yakin Johandy yang muncul, lima orang di antara bandit itu buru-buru mengenakan sarung tangan hitam dan sapu tangan penutup wajah. Pisau dan kelewang disiapkan. Ketika Johandy membuka pintu garasi, kelima bandit itu pun menyergapnya. Leher pemuda berusia 29 tahun ltu dijerat kawat, dan perutnya ditodong pisau. "Mana kunci brankas," sergah penodong itu. Johandy, yang baru bertugas di bank itu setahun -- sebelumnya enam tahun di cabang Padangsidempuan -- mengatakan kunci tersebut tak ada padanya. Kawanan bandit itu kemudian menyeret Johandy ke mobilnya dan melarikan korban entah ke mana. Sekitar pukul 00.30, komplotan itu kembali ke bank tadi, tanpa mobil, juga tanpa Johandy. Mereka naik ke lantai atas, dan masuk ke kamar tidur kepala bagian kredit bank tersebut, Tumi Ngadi, 23 tahun. Tumi, yang lagi tertidur lelap, tiba-tiba tersentak ketika lehernya ditekan pisau dan dilingkari kawat. "Mana kunci brankas, cepat serahkan dan kasih tahu cara membukanya," kata penjahat itu. Tumi, yang cuma memakai celana pendek dan kaus singlet, menjawab: "Tidak tahu." Tapi kawanan itu tak mau tahu. Tumi diangkat ke depan brankas, dipaksa membukanya. "Ayo, cepat buka," bentaknya. Tapi Tumi tak juga beranjak. Akibatnya, pergelangan tangan dan kedua pahanya ditusuk. Dadanya ditoreh dengan pisau menyerupai tanda silang tiga kali. Darah mengucur. Tumi tak berkutik lagi. Tewas? Barangkali begitu perkiraan mereka. Tubuh berlumur darah itu mereka baringkan di ranjang dan ditutupi sprai. Setelah itu, baru kawanan bertopeng itu kabur. Esoknya, karyawan bank itu -- Bank Tani Nasional adalah bank swasta satu-satunya di kota itu -- gempar. Soalnya, kantor tanpa penjaga malam itu sudah melompong. Mereka menemukan Tumi tergeletak berlumur darah, walau masih bernapas. Anehnya, tak ada uang atau barang milik bank itu yang hilang. Buru-buru korban dilarikan ke rumah sakit Kabanjahe, dan kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Deli di Medan. Polisi, yang mengusut kasus itu, siangnya menemukan mobil Johandy di pantai Buah Ranggang, Kecamatan Tigah Panah. Lantai mobil itu dikotori darah beku. Tapi korban tak ada si situ. Nah, ketika polisi sibuk mencari Johandy alias Njo Han U itu, Senin 28 November, sopir korban, Legino, datang ke kantor minta cuti. Katanya, mau menengok istrinya yang sakit di Pematangsiantar. Permintaan mendadak itu mencurigakan. "Kok tega minta cuti, padahal nasib majikannya belum jelas. Itulah yang membuat kami curiga," kata Kapolres Tanah Karo, Letkol. Drs. Hanafi Arief. Pihak polisi mengecek keluarga Legino di Pematangsiantar. Ternyata, istri Legino memang sakit parah. Katanya, komplikasi penyakit jantung, ginjal, dan darah tinggi. Kendati begitu, Legino, yang baru menjadi sopir Johandy tiga bulan, tetap dimintai keterangannya. Menurut polisi, di pemeriksaan Legino mengaku membunuh majikannya. "Saya sakit hati karena pinjam uang tak diberi," kata Legino kepada polisi. Padahal, ia sangat membutuhkan untuk biaya pengobatan istrinya. Di saat sakit hati itu, ia ketemu dengan seorang oknum, anggota Polres Tanah Karo, Kopral dua Marlingga -- bukan nama sebenarnya. Marlingga ternyata sepakat menghajar Johandy, konon karena oknum itu merasa tak diservis bankir itu. Bahkan oknum itu merekrut pula lima orang residivis untuk ikut komplotan itu. Akhir November lalu, Marlingga diciduk. Bersama Legino ia dikirim ke Polda Sumatera Utara. Sejak itu, berturut-turut, ditangkap pula anggota komplotan tersebut, Daulat Ginting, Jasa Ginting, Ibrahim Sembiring Meliala, dan Martinus Purba. Kini tinggal seorang tersangka, Rumah Tala Sinulingga, yang belum tertangkap. "Target saya dalam seminggu ini semua masalah akan terungkap, dan dalam waktu dekat buron itu bisa tertangkap," kata Kapolres Hanafi Arief. Sore harinya, mayat Johandy ditemukan terapung di Lau (sungai) Biang, 4,5 kilometer dari Kabanjahe. Bola mata kirinya hilang. Di tubuhnya yang membusuk, tampak beberapa bekas luka sayatan. Jumat pekan ini jenazah Johandy dikremasi di Tanjungmorawa. Kesedihan menyelimuti keluarga korban. Saat diperabukan itu, misalnya, tunangan Johandy jatuh pingsan. Maklum, bulan Desember ini, rencananya, mereka akan menikah dan sebuah rumah sudah disiapkan untuk sang calon pengantin. Sementara ini, Kapolres Tanah Karo menganggap kasus itu hanya perampokan biasa. "Motif kejahatan ini hanya perampokan. Tapi karena tak membawa hasil, korban lalu dibunuh," kata Hanafi Arief. Menurut penyidikan Polres, otak kejahatan itu adalah Marlingga. "Sebab, dialah yang menghubungi kelima residivis itu," kata Kasatserse Polres Tanah Karo, Lettu. P.R Pakpahan. Tapi mana tahu ada motif lain? Widi Yarmanto (Jakarta) dan Sarluhut Napitupulu (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini