Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Percobaan Pembaharuan

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ulil Abshar-Abdalla
  • Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Direktur Freedom Institute, Jakarta

    DALAM hampir semua agama, keluarga dipandang sebagai "sanctuary" atau wilayah keramat, "refuge" atau tempat pengungsian terakhir setelah seluruh bidang kehidupan mengalami proses penduniaan. Karena itu, keluarga adalah wilayah yang sangat sensitif.

    Itulah sebabnya, reformasi hukum keluarga akan selalu mengundang pro-kon. Sejak 1970-an, terjadi gelombang pembaharuan hukum keluarga di sejumlah negara Islam, mulai dari Pakistan, Bangladesh, Maroko, Tunisia, Mesir, Suriah, Irak, dan Yordania. Indonesia juga mengalami gelombang yang sama, misalnya menjelang ditetapkannya Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan. Pada umumnya pemerintah di negeri-negeri Islam mampu mencapai kompromi dengan berbagai kelompok Islam.

    Dekade 1970 ditandai dengan munculnya pemerintahan-pemerintahan despotik dan otoriter di dunia Islam, tetapi mereka memiliki orientasi yang kurang-lebih liberal dalam segi kebudayaan, termasuk agama. Karena itu, berbagai pemerintah itu berusaha merumuskan undang-undang baru yang lebih reformis dalam masalah keluarga. Poligami biasanya muncul sebagai isu yang paling hangat diperdebatkan.

    Masalah lain yang sering diperdebatkan adalah soal pencatatan nikah. Selama berabad-abad, mungkin sejak zaman Nabi, praktek perkawinan di masyarakat Islam (dan saya kira juga di masyarakat agama lain) sepenuhnya bersifat "partikelir", sama sekali tak dicatat dalam registrasi kantor sipil sebagaimana kita kenal sekarang. Praktek semacam ini, sialnya, disahkan melalui fiqh atau hukum Islam. Jika kita tengok rukun nikah, di sana tak dicantumkan sama sekali pencatatan sebagai syarat keabsahan nikah. Atas alasan ini, pencatatan nikah dipandang sebagai sekunder dan duniawi. Akibatnya, banyak sekali terjadi kasus perkawinan "sirri" atau diam-diam yang tak dicatat. Dalam kasus-kasus semacam ini, biasanya perempuan menjadi pihak yang dirugikan karena status perkawinannya sangat rentan. Jika terjadi perceraian, amat sulit baginya menuntut hak-haknya secara legal. Untunglah saat ini masalah pencatatan nikah sudah diterima sebagai keharusan yang lazim. Tetapi, secara faktual, harus kita akui masih banyak sekali kasus perkawinan "partikelir" yang tak dicatat, terutama dalam kasus poligami.

    Pada dekade 1980, perkembangan lain terjadi: maraknya gerakan Islam fundamentalis. Kelompok Islamis mendapat simpati yang kian besar. Pengaruh Revolusi Iran 1979 sangat besar dalam mengatrol popularitas kelompok Islam dan agenda mereka. Hal itu berlanjut hingga saat ini, dengan isu penerapan syariat Islam sebagai pokok perdebatan. Tetapi, pada saat yang sama, berbagai gerakan Islam yang berorientasi liberal juga mulai merebak, dan dengan sungguh-sungguh menawarkan alternatif pemahaman Islam yang lebih humanistis, rasional, dan kontekstual. Dalam arus ini, tercakup gerakan kaum feminis muslim yang menggugat ketentuan-ketentuan keagamaan yang diskriminatif terhadap perempuan. Dalam konteks inilah, isu tentang revisi KHI atau Kompilasi Hukum Islam muncul ke permukaan.

    KHI atau Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan hukum materiil yang akan dipakai oleh hakim di lingkungan peradilan agama sebagai panduan dalam memutus perkara. KHI ditetapkan melalui Inpres No. 1/1991. Sebelum ada kompilasi ini, para hakim peradilan agama praktis tak mempunyai pegangan resmi menyangkut hukum materiil yang akan mereka pakai. Mereka merujuk secara individual pada kitab-kitab fikih klasik (kitab kuning). Tetapi, karena pendapat hukum dalam literatur klasik itu bisa berselisih, keputusan hakim juga bisa berbeda-beda dalam kasus yang sama, bergantung pendapat ulama yang ia ikuti. Ide KHI muncul sebagai upaya untuk "menstandarkan" hukum materiil di lingkungan peradilan agama. Dengan demikian, KHI juga bisa dipandang sebagai fikih resmi berbahasa Indonesia. Dari segi ini, kemunculan KHI adalah suatu kemajuan besar. Sebab, untuk pertama kalinya fikih diartikulasikan kembali dalam formula hukum positif modern.

    Masalah muncul ketika KHI hendak ditingkatkan statusnya menjadi undang-undang agar kekuatan hukumnya lebih kukuh. Saya memandang, KHI memang semata-mata memindahkan diktum-diktum hukum fikih klasik begitu saja. KHI sama sekali tidak mempertimbangkan munculnya sensitivitas sosial baru, misalnya keadilan gender. Karena hanya memindahkan fikih klasik, banyak pasalnya mengandung diskriminasi atas perempuan. Contohnya, soal pembagian harta waris dengan formula 2 : 1 bagi perempuan. Atau soal saksi nikah, tempat?menurut ketentuan fikih klasik?perempuan tidak diperbolehkan menjadi saksi. Atau soal kedudukan kepala keluarga yang, sesuai dengan konsep qawamah (kepemimpinan keluarga) dalam Quran, menjadi monopoli laki-laki.

    Karena alasan-alasan itulah, KHI memang harus diperdebatkan lagi. Tidak semua ketentuan dalam fikih klasik adalah absah untuk konteks zaman kita. Hukum sudah selayaknya berkembang sesuai dengan diktum teori fikih, al hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman (hukum selalu berkembang seturut dengan alasan-alasan yang menjadi latar belakangnya). Bagaimanapun, hukum adalah refleksi kondisi sosial. Jika kondisi berubah, dengan sendirinya ia harus ikut berubah pula. Bahkan berbagai ketentuan legal yang secara eksplisit terdapat dalam Quran pun tidak diniatkan oleh Tuhan sebagai hukum yang abadi, demikian sekurang-kurangnya kalau kita ikuti pendapat Prof. Fazlur Rahman dari Pakistan.

    Memang tidak mudah mereformasi hukum keluarga Islam. Sebagaimana saya katakan di awal tulisan ini, keluarga adalah wilayah keramat tempat ketentuan-ketentuan keagamaan yang patriarkal sangat dominan. Tetapi, usaha untuk mencoba menggeser batas-batas yang mungkin diperbaharui dalam hukum Islam layak terus-menerus dicoba. KHI adalah ladang untuk percobaan itu.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus