Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Terkuras Kas oleh Kapal Bekas

Kejaksaan tengah menelisik kasus pengadaan tiga kapal PT Indonesia Ferry yang dibeli dari Inggris dan Korea Selatan. Diduga ada korupsi dalam pengadaannya, tiga kapal itu "muncul" dengan membawa masalah masing-masing.

17 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kapal dengan empat tingkat dek setinggi 25 meter itu menjulang megah. Baluran cat putih susu dengan garis biru menyembunyikan usianya yang sudah 32 tahun. Catnya masih baru. Aromanya menyeruak hingga ke luar kapal. Di dalam kapal, bau cat kian menyengat.

Nama kebesaran bahtera ini, Port Link, dibiarkan terpampang di buritan. Moto "We Bridge The Nation" dan "Bangga Menyatukan Nusantara" menambah ciamik penampilan kapal milik PT ASDP Indonesia Ferry itu.

Tapi, di balik tongkrongannya yang tampak gagah, kapal itu sebenarnya sedang gering. Sudah lima bulan kapal itu meringkuk di dermaga paling barat Dok Kodja Bahari galangan I, Tanjung Priok, Jakarta. Tubuhnya "dipoles" sana-sini. Selasa pekan lalu, saat Tempo mendatangi dok tempat kapal itu "direhabilitasi", dua mesinnya tengah akan diuji coba. Sejumlah teknisi hilir-mudik di dalam kapal. Tak sembarangan orang bisa masuk ke perut kapal. Dua penjaga bersiaga di depan pintu masuk penumpang. Di dalam kapal itu terdapat ruang angkut kendaraan—luasnya sekitar lima kali lapangan basket—yang penuh dengan puluhan drum pelumas.

Kapal bekas dari Inggris itu awalnya akan dipakai sebagai angkutan mudik Idul Fitri, Natal, dan tahun baru 2012. Kapal ini bagian dari janji Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan pada Juni tahun lalu. Kala itu, Dahlan menyebutkan, perusahaan penyeberangan pelat merah tersebut akan mendatangkan empat kapal untuk mengatasi penumpukan kendaraan di Pelabuhan Merak-Bakauheni. "Persiapan tender satu kapal dari Inggris sedang berlangsung," kata Dahlan saat itu.

Rencana itu buyar di tengah jalan. Kapal-kapal penolong terlambat datang. Berangkat dari Belfast, Irlandia Utara, pada 29 Mei 2012, Port Link berbobot 12 ribu gross ton ini baru tiba pada 4 Oktober 2012. Rute yang seharusnya bisa ditempuh 45 hari ngaret menjadi empat setengah bulan. Manifes perjalanan menunjukkan, kapal sempat bersandar di Selat Gibraltar, Spanyol, selama sepekan, dan Port Said, Mesir, selama dua bulan. Meski tercatat memiliki kecepatan maksimum 19,5 knot, nyatanya sepanjang perjalanan kapal ini hanya melaju rata-rata 12 knot. Kapal itu mampir di beberapa pelabuhan berpekan-pekan karena harus memperbaiki mesin.

PT Indonesia Ferry memutuskan membeli sejumlah kapal untuk meremajakan armadanya dalam rapat kerja dan anggaran perusahaan pada akhir 2011. Menurut Komisaris PT Indonesia Ferry, Ahmad Syukri, rencana itu sudah dilaporkan dalam rapat umum pemegang saham pada awal 2012. "Memang kami setuju pengadaan kapal. Tapi soal teknisnya itu urusan direksi," ujar Ahmad, yang pensiun sejak November 2012, kepada Tempo.

Tak lama setelah rapat itu, Direktur Utama PT Indonesia Ferry Danang Setyo Baskoro membentuk tim untuk membeli kapal baru. Tapi, di tengah jalan, direksi banting setir memilih membeli kapal bekas. Danang pun langsung menggandeng PT PANN (Persero) sebagai perusahaan leasing. Sumber Tempo mengatakan penunjukan langsung perusahaan leasing tak lazim karena Indonesia Ferry belum menentukan kapal mana yang akan dibeli. "Seharusnya tahu dulu mana yang akan dibeli, baru dipilih perusahaan leasing-nya. Ini justru terbalik," kata sumber tersebut. Penggunaan perusahaan leasing pun menimbulkan pertanyaan. Sebab, Indonesia Ferry waktu itu bisa dikatakan tak kekurangan duit. Dalam rapat kerja perusahaan tercatat bahwa, pada awal 2012, PT Indonesia Ferry memiliki uang kas Rp 349,02 miliar. Indonesia Ferry memutuskan membeli tiga kapal.

Untuk mewujudkan rencana itu, Indonesia Ferry menggandeng perusahaan makelar asal Singapura, Simpson Spence Young. Oktober tahun lalu, Danang mengatakan, Port Link dan saudaranya, Port Link II, dihargai Rp 120 miliar atau Rp 60 miliar per unit. Saat itu, Danang menyatakan, kedua kapal yang bakal dibeli sudah mengantongi sertifikat Lloyd's Register. "Dia itu nomor satu. Kalau sudah disertifikasi Lloyd's Register, itu pasti garansi," kata sumber ini menirukan Danang.

Faktanya memang tak sesedap seperti dibayangkan. Kapal ini bermasalah. Indonesia Ferry mengeluarkan banyak uang untuk urusan kapal ini. Untuk membawa kapal ini ke Tanjung Priok, misalnya, perusahaan itu harus merogoh kocek hingga Rp 20 miliar. Sebelumnya, untuk persiapan, sertifikasi, dan perubahan bendera kapal, Indonesia Ferry diperkirakan mengeluarkan dana tak kurang dari Rp 5 miliar. Adapun untuk biaya survei dan asuransi, dibutuhkan Rp 8 miliar. "Karena sempat rusak di perjalanan, tentu saja ada biaya lain yang membengkak," ujar sumber lain kepada majalah ini.

Setiba di Jakarta, kapal yang dulu bernama Stena Caledonia itu tak bisa langsung beroperasi. Kapal yang sudah diistirahatkan selama setahun oleh pemilik sebelumnya, City Leasing Ltd, itu harus masuk dok untuk perbaikan mesin, pergantian pelat besi badan dan lambung, serta perombakan interiornya. Itu pun tak mudah. Kepada Tempo, sejumlah petugas Dok Kodja Bahari mengaku kesulitan mencari suku cadang mesin kapal tersebut. Biaya perbaikan pun terus melambung. "Untuk perbaikan saja sudah habis sekitar Rp 11 miliar," kata petugas yang menolak disebutkan namanya itu.

Karena Port Link tak bisa langsung jalan, Indonesia Ferry pun diduga kehilangan potensi pendapatan hingga puluhan miliar rupiah alias meleset dari rencana. Sumber di Indonesia Ferry mengungkapkan, jika beroperasi menurut rencana pada Agustus tahun lalu, kapal dengan rute Merak-Bakauheni ini diperhitungkan bisa meraup keuntungan bersih Rp 4,5 miliar per bulan.

Dua kapal lain yang dibeli Indonesia Ferry, Port Link II dan Port Link III, juga bermasalah. Kapal yang didatangkan dari Korea Selatan itu ternyata tak sesuai dengan kebutuhan teknis. Port Link II, yang direncanakan melayani rute Ketapang-Gilimanuk, misalnya, bertipe landing craft tanker dengan satu pintu untuk bongkar-muat. Padahal kapal yang dibutuhkan bertipe roll-on/roll/off (Roro) dengan dua pintu untuk bongkar-muat. Karena hanya memiliki satu pintu, Port Link II jelas tak efisien untuk melakukan bongkar-muat. Kapal mesti putar badan dulu untuk bersandar di dermaga.

Karena itulah, begitu tiba di Indonesia pada 2012, kapal yang sebelumnya bernama Seodong No. 1 ini langsung dimasukkan ke Dok Kodja Bahari cabang Palembang untuk dipermak. Kepada Tempo, Kepala Bidang Perencanaan dan Pengawasan PT Dok Kodja Bahari Palembang Ayup Sentana membenarkan Port Link II pernah buang sauh selama dua bulan di sana. "Detailnya saya lupa. Tapi kapal itu memang pernah docking di sini," kata Ayup, Senin pekan lalu.

Di dok Palembang, Port Link II akhirnya mendapat tambahan pintu baru di bagian belakang. Tapi itu ternyata tak menyelesaikan masalah. Soalnya, geladak kapal bagian belakang tak cukup tinggi untuk menampung truk besar dan bus. Akhirnya Indonesia Ferry pun mengalihkan kapal buatan 2011 ini untuk melayani rute Padang Bai-Lembar (Bali-Nusa Tenggara Barat), yang memiliki jadwal bongkar-muat lebih lama.

Nakhoda Port Link II Kapten Sumani membenarkan adanya penambahan pintu keluar kendaraan di buritan. Namun ramp door itu tak selalu digunakan. "Karena tak bisa menampung kendaraan dengan tinggi lebih dari empat meter seperti ramp door depan," katanya ketika ditemui di Pelabuhan Padang Bai, Bali.

Setali tiga uang, Port Link III yang akan beroperasi di jalur Merak-Bakauheni pun belum bisa beroperasi. Panjang kapal ini 151 meter, sedangkan pelabuhan Merak-Bakauheni hanya memiliki dermaga terpanjang 150 meter. Selain itu, kapal ini memiliki bobot 15 ribu gross ton, sementara pelabuhan tersebut hanya mampu menampung beban 6.000-8.000 gross ton. Kapal itu kini tengah berada di perairan Batam, menunggu jadwal masuk dok untuk dipermak.

Adanya kerugian negara atas pengadaan tiga kapal itu kini sudah ditangani Kejaksaan Agung. Kejaksaan menelisik perihal tender dan harga kapal itu yang diduga digelembungkan. Beberapa direktur Indonesia Ferry sudah dimintai keterangan. Kepada Tempo, jaksa dari kantor Jaksa Agung Muda Intelijen, Sinjor Manulang, membenarkan pihaknya tengah menelisik kasus pengadaan tiga kapal Indonesia Ferry tersebut. "Hasilnya akan segera disampaikan ke Jaksa Agung Muda Pidana Khusus," ujar Sinjor. Menurut Sinjor, dari bukti dan pemanggilan sejumlah saksi, dugaan adanya korupsi perkara kapal ini memang kuat.

Petinggi PT Indonesia Ferry memilih tutup mulut. Direktur Teknik Ferry Sirajuddin Saini, misalnya, tak bersedia memberi jawaban dan meminta Tempo bertanya kepada sekretaris perusahaan, Christine Hutabarat. Christine juga tak bersedia berkomentar, dan Tempo menitipkan pertanyaan tertulis untuk Direktur Utama Danang Setyo Baskoro. Tapi hingga pekan lalu surat itu belum terjawab. Direktur Usaha Penyeberangan PT Indonesia Ferry, Youlman Jamal, juga mengelak memberi keterangan dan berjanji secepatnya memberikan penjelasan. Tapi, ditunggu hingga Jumat malam pekan lalu, penjelasan Youlman tak juga muncul.

Febriyan (Jakarta), Pharliza Hendrawan (Palembang), Ketut Efrata (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus