Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Akbar, Irasionalitas Politik, dan Konvensi Golkar

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saiful Mujani Direktur Political Research, Freedom Institute

PARTAI Golkar kini sedang dalam proses konvensi untuk menjaring dan memilih satu calon presiden yang mewakili partai tersebut buat bersaing dalam pemilihan presiden 2004 nanti. Lebih dari sepuluh figur sedang bersaing untuk menjadi calon presiden dari Partai Beringin ini. Mereka memaparkan visi dan misi mereka di hadapan para kader Golkar di semua daerah tingkat I dan II di Tanah Air, apa yang akan mereka lakukan kalau terpilih menjadi presiden dari partai tersebut.

Salah satu figur tersebut adalah Akbar Tandjung. Sebagai Ketua Umum Golkar, sangat masuk akal ia ikut proses pencalonan diri sebagai presiden lewat konvensi. Kalau orang lain yang tak punya kaitan langsung dengan Golkar saja boleh ikut proses pencalonan lewat konvensi, apalagi Akbar, yang merupakan pucuk kepemimpinan Golkar dan dipercaya sebagai orang pertama yang membuat Golkar tetap menjadi partai besar di tengah-tengah sentimen publik yang negatif dan sering kasar terhadap partai tersebut dan kadernya.

Dalam masa kampanye Pemilihan Umum 1999, kita masih ingat banyak kantor Golkar dirusak dan para elitenya diancam. Akbar sendiri telah menjadi sasaran kekerasan publik dalam masa kampanye 1999. Tidak sedikit orang memperkirakan bahwa Golkar akan habis dalam Pemilu 1999. Tapi fakta membuktikan bahwa Golkar adalah pemenang suara terbesar kedua, setelah PDI Perjuangan. Banyak orang percaya bahwa sukses ini tak bisa dipisahkan dari kepemimpinan Akbar di partai tersebut.

Lebih dari itu, Akbar adalah Ketua Umum Golkar pertama yang dipilih secara demokratis. Dalam tradisinya, Golkar sangat dikendalikan oleh dewan pembina di bawah kepemimpinan Soeharto atau orang-orang kepercayaan Soeharto. Dalam musyawarah luar biasa tahun 1998, superpower dewan pembina hilang dan ketua umum dipilih secara demokratis oleh para pengurus partai dari daerah di seluruh Tanah Air. Akbar bersaing terutama dengan Edi Sudradjat, yang mewakili faksi yang dekat dengan keluarga besar TNI, yang punya jasa besar bagi kebesaran Golkar di masa Orde Baru. Akbar teruji mampu memenangi persaingan tersebut, dan ini merupakan modal penting untuk selanjutnya mengkonsolidasikan pengaruhnya di dalam partai dengan merekrut kader-kader yang dipercaya loyal terhadapnya.

Karena itu, bagi sebagian besar elite Golkar, upaya meninggalkan Akbar pada saat ia berada dalam keadaan sulit karena terkait dengan korupsi Bulog bukan langkah yang mudah. Langkah-langkah Marwah Daud ataupun Fahmi Idris untuk mengganti Akbar dengan figur lain, termasuk dalam proses konvensi Golkar, sulit mendapat dukungan dari elite Golkar lain pada umumnya.

Akbar mungkin sulit disingkirkan dari elite di dewan pimpinan pusat dan mungkin juga dewan pimpinan daerah dan bahkan pengurus kecamatan. Ia mungkin akan memenangi konvensi yang sedang berlangsung sekarang ini karena yang punya suara dalam konvensi adalah para elite Golkar (pusat dan daerah) yang relatif terjangkau Akbar lewat hierarki organisasi partai. Juga kemungkinan lewat patron-klien Akbar dengan elite Golkar di pusat dan di daerah. Rasa utang budi mungkin tidak hanya dirasakan oleh inner circle Akbar di pusat, tapi juga oleh kader-kader Golkar di daerah.

Katakanlah Akbar memenangi konvensi Golkar, maka apa arti kemenangan konvensi tersebut bagi agenda utama jangka pendek Golkar sendiri? Di samping memenangi pemilihan umum untuk anggota DPR, agenda politik utama dan jangka pendek Golkar adalah memenangi kursi presiden lewat Pemilihan Umum 2004. Kalaupun bukan kursi presiden, setidaknya kursi wakil presiden. Yang terakhir ini mensyaratkan adanya calon presiden paling kuat dari partai lain yang meminta calon presiden dari Golkar untuk posisi wakil presiden.

Tapi, jika Akbar memenangi konvensi, kemenangan itu akan berarti apabila kemudian Akbar juga terpilih sebagai presiden atau diminta menjadi wakil presiden dari calon presiden yang lebih kuat. Bila tidak, kemenangan konvensi tersebut tidak ada artinya secara politik.

Bicara tentang kemenangan dalam pemilihan presiden 2004 nanti, pertanyaan harus diarahkan kepada pemilih Indonesia. Merekalah raja yang akan memberikan mandat kepada seseorang untuk berkuasa atau tidak. Pemilu untuk presiden memang masih sekitar satu tahun lagi. Segala kemungkinan masih terbuka. Sentimen publik dapat dibentuk menjadi positif ataupun negatif terhadap diri seorang tokoh politik nasional dalam setahun ini. Akbar, dan juga tokoh lain, sedang berkampanye untuk membangun citra positif mereka di mata calon pemilih.

Tapi juga jangan lupa, tidak jarang upaya memperbaiki citra itu dilakukan dengan menciptakan citra buruk atas lawannya. Kalaupun Akbar sedang memperbaiki citranya, bersamaan dengan itu, lawannya sedang membangun citra buruk tentang dirinya. Dalam konvensi Golkar, kampanye negatif yang menyerang Akbar oleh peserta lain dari konvensi tersebut memang tidak muncul, setidaknya di permukaan, karena semuanya sedang menggalang simpati dari kader-kader Golkar yang dikomandoi Akbar. Dalam masa konvensi sekarang, politically incorrect kalau secara terbuka menyerang sang Ketua Umum.

Semua kelakuan elite politik ini sangat bersifat sementara, sangat bersifat taktis, dan bagaikan permainan katak dalam tempurung. Panggung yang sebenarnya bagi mereka adalah Pemilu 2004. Sejak sekarang harus terus dideteksi sejauh mana para calon pemilih bersikap positif terhadap mereka, termasuk terhadap Akbar. Jika dilihat dari jajak pendapat independen dengan sampel yang representatif secara nasional, sentimen positif calon pemilih terhadap Akbar dalam tiga tahun terakhir sangat kecil. Dalam survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, Oktober 2001, hanya 1 persen yang akan memilih Akbar bila ia ikut dalam pemilihan presiden 2004 nanti.

Sejumlah survei tahun 2002 menunjukkan tidak banyak perbaikan sentimen calon pemilih terhadap Akbar. Survei Danareksa pada Juni 2002 dan Oktober 2002, IRI pada September 2002, IFES pada Oktober 2002, dan PPIM pada Oktober 2002 menunjukkan bahwa rata-rata hanya sekitar 2 persen yang akan memilih Akbar kalau ia ikut dalam pemilihan presiden 2004. Dalam tahun 2003 sekarang ini, sejumlah survei nasional menunjukkan belum menaiknya sentimen positif terhadapnya. Jadi, dalam tiga tahun terakhir, sentimen positif calon pemilih terhadap Akbar masih rendah, rata-rata di bawah 5 persen—sebuah proporsi yang masih jauh dari harapan untuk mendapatkan suara besar dalam Pemilihan Umum 2004. Secara umum, Akbar masih tertinggal dari Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Hamzah Haz, dan Yusril Ihza Mahendra, misalnya.

Salah satu sumber yang membuat sentimen publik negatif terhadap Akbar adalah citra publik bahwa Akbar tersangkut dengan korupsi walapun keputusan pengadilan belum bersifat tetap. Karena masalah ini, mayoritas calon pemilih tahun 2002 dan 2003 menganggap Akbar sebagai figur yang tidak jujur. Citra yang buruk ini tidak muncul di benak mayoritas suara pemilih kita terhadap figur nasional yang lain. Survei Lembaga Survei Indonesia pada Agustus 2003 secara lebih spesifik menggali sejauh mana Akbar yang masih berurusan dengan hukum itu boleh mencalonkan diri sebagai presiden dari Partai Golkar. Mayoritas calon pemilih (72 persen) berpendapat bahwa Akbar sebaiknya tidak mencalonkan diri untuk jabatan tersebut.

Sebaliknya, yang eksplisit tetap mempersilakan Akbar maju hanya 20 persen (10 persen tidak berpendapat). Bahkan, kalau populasi calon pemilih dibatasi hanya pada para pendukung Golkar, yakni yang memilih Golkar dalam Pemilu 1999 dan yang menyatakan akan memilih Golkar kalau pemilu diadakan hari ini (2003), hanya 30 persen yang membolehkan Akbar mencalonkan diri jadi presiden dari Partai Golkar. Selebihnya tidak membolehkan.

Lebih jauh, sentimen negatif terhadap Akbar ini dapat ditelusuri. Apakah Akbar figur yang disukai calon pemilih, yang dianggap punya prinsip, yang dirasakan dekat oleh mereka, dan figur yang jujur? Dibandingkan dengan figur yang lain, Akbar adalah figur yang paling tak disukai, yang dirasakan jauh, tak berprinsip, dan tidak jujur. Besarnya sentimen negatif para calon pemilih terhadap Akbar ini berbeda jauh dengan kecenderungan publik yang semakin bersimpati terhadap Partai Golkar sendiri. Ini mengindikasikan bahwa publik memisahkan Golkar dari Akbar—sebuah sentimen politik publik yang tak mengenal belas kasihan terhadap tokoh yang membesarkan partai ini.

Bahkan massa calon pemilih menempatkan Akbar sebagai figur yang paling tidak pantas dipasangkan sebagai calon wakil presiden dengan calon presiden mana pun. Akbar menjadi faktor negatif terhadap calon presiden mana pun yang menggandeng dia sebagai calon wakil presidennya. Seorang calon presiden yang peka terhadap sentimen publik tentu saja tidak pernah mengambil risiko dengan menggaet Akbar sebagai pasangannya.

Sentimen publik sebagaimana dijaring oleh berbagai survei tersebut tentu saja bersifat sementara. Akbar pun masih punya waktu setahun untuk memperbaiki citranya dan untuk membuat massa pemilih bersimpati kepadanya. Tapi dibutuhkan peristiwa politik besar untuk mengubah sentimen publik secara drastis, misalnya adanya keputusan Mahkamah Agung bahwa Akbar terbukti tidak bersalah. Juga harus ada skandal politik lain yang menimpa pesaing utama Akbar.

Bila peristiwa politik besar seperti ini tidak terjadi, cukup sulit bagi Akbar dan tim suksesnya untuk membalik sentimen negatif publik tersebut. Di antara elite Golkar, Fahmi Idris misalnya telah lama mengingatkan masalah ini demi kebaikan Golkar ke depan, tapi ia nyaris sendirian. Para loyalis Akbar tampaknya lebih memilih melakukan bunuh diri politik daripada sebaliknya. Irasionalitas politik memang masih menjadi bagian dari kehidupan politik kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus