Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YOHANES Waworuntu tengah gundah menanti eksekusi. Terpidana perkara Sistem Administrasi Badan Hukum alias Sisminbakum itu tidak sabar menghirup udara bebas, setelah permohonan peninjauan kembalinya dikabulkan Mahkamah Agung. Teman-temannya sesama penghuni Lembaga Pemasyarakatan Cipinang menggelar syukuran. "Cukup tiga tahun saya merasakan hidup di penjara," kata Yohanes kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Diketuk pada Jumat, 28 November lalu, putusan peninjauan kembali (PK) itu menjadi titik balik perkara Sisminbakum di Departemen Kehakiman (kini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia). Selain membebaskan bekas Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika tersebut, dalam amar putusannya, majelis hakim yang diketuai Muhammad Taufik dengan anggota Sophian Martabaya dan Andi Abu Ayyub Saleh menyatakan layanan Sisminbakum tidak merugikan negara.
Dalam putusan PK Yohanes itu, disebut biaya akses yang mengalir ke PT Sarana sekitar Rp 378 miliar dianggap bukan uang negara. Pertimbangan majelis hakim, saat itu pemerintah tidak punya modal sehingga perlu menggandeng pihak swasta melalui skema bangun, operasi, transfer (BOT). "PT Sarana hanya membantu melaksanakan kebijakan pemerintah," demikian salah satu kesimpulan hakim yang tertuang dalam putusan setebal 631 halaman itu.
Upaya hukum luar biasa ini diajukan Yohanes setelah ia dihukum 5 tahun penjara di tingkat kasasi. Tak hanya itu, ayah tiga putri ini juga diharuskan membayar kerugian negara Rp 378 miliar atau setara dengan dana yang mengalir ke PT Sarana dari Sisminbakum. Majelis kasasi Yohanes diketuai Artidjo Alkotsar.
Kejaksaan Agung mencium adanya bau korupsi Sisminbakum setelah tujuh tahun lamanya layanan itu beroperasi, sejak Maret 2001. Proyek ini hasil kerja sama PT Sarana dan Koperasi Departemen Kehakiman. Sisminbakum adalah proyek layanan pendaftaran nama perusahaan, pendirian, dan perubahan badan hukum secara online. Setiap pendaftar dikenai biaya akses Rp 1,35 juta.
Dari pungutan itu, 90 persen masuk ke PT Sarana. Adapun Koperasi hanya kebagian jatah 10 persen. Menurut Kejaksaan, biaya akses (access fee) itu seharusnya masuk ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. Tapi, yang terjadi, duit justru mengalir ke perusahaan dan kantong sejumlah pejabat Kehakiman.
Menurut Kejaksaan, kerugian negara akibat kasus ini Rp 423,7 miliar atau setara dengan total penerimaan biaya akses Sisminbakum sejak dioperasikan pada Maret 2001 hingga dibekukan pada November 2008. Itu angka sebelum dibagi-bagi. Selain Yohanes, sejumlah pejabat Kehakiman tersandung perkara ini dan sebagian sudah diadili. Di antaranya, bekas Dirjen Administrasi Hukum Umum Romli Atmasasmita.
Bekas Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra dan Komisaris PT Sarana Hartono Tanoesoedibjo juga menjadi tersangka. Perkara keduanya kini mandek di Kejaksaan Agung, setelah berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21). Adapun Romli belakangan divonis bebas di tingkat kasasi (lihat "Bebas di Hakim yang Sama").
Putusan bebas Romli itulah yang dijadikan salah satu novum (bukti baru) yang diajukan Yohanes. Majelis hakim Romli, yang juga diketuai Muhammad Taufik, menilai proyek Sisminbakum tidak menimbulkan kerugian negara. "Ini novum penting," kata pengacara Yohanes, Suwaryoso.
Kesaksian tertulis Jusuf Kalla dan Kwik Kian Gie untuk tersangka Yusril juga dipakai Yohanes sebagai novum. Saat Sisminbakum diluncurkan, keduanya menjabat menteri koordinator. Dalam kesaksiannya, keduanya menyatakan proyek Sisminbakum merupakan implementasi kebijakan pemerintah. Yohanes juga melampirkan draf letter of intent Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mendukung argumentasi itu.
Sejumlah novum yang diajukan Yohanes itu "diamini" hakim PK. Soal kerugian negara, misalnya, hakim sependapat dengan majelis kasasi Romli. Hakim menyebutkan sampai layanan itu dibekukan Kejaksaan, November 2008, biaya akses Sisminbakum belum ditetapkan sebagai penerimaan negara bukan pajak. Baru pada 2009, terbit peraturan pemerintah yang mengatur biaya akses Sisminbakum sebagai penerimaan negara. Alhasil, menurut hakim, duit dari total fee Sisminbakum Rp 423,7 miliar bukan uang negara. Tapi pendapatan kotor PT Sarana sebelum dibagi ke Koperasi.
Soal tidak adanya kerugian negara, hakim juga berpedoman pada hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor SR-348-DD6/O1/2009 tanggal 20 Maret 2009. Menurut hakim, hasil audit menguatkan keyakinan proyek itu tidak merugikan negara.
Kesimpulan hakim tentang hal ini membuat seorang jaksa yang pernah menangani perkara tersebut geleng-geleng. Menurut dia, hakim keliru menafsirkan audit BPKP itu. Hasil audit BPKP itu, kata sumber Tempo itu, tidak menyebut adanya kerugian negara. Audit itu hanya menyatakan BPKP tidak bisa menyimpulkan ada atau tidaknya kerugian negara di proyek Sisminbakum. Sebelum audit itu keluar, kata jaksa itu, tim BPKP yang dilibatkan dalam penanganan perkara itu sepakat proyek Sisminbakum merugikan negara.
PUTUSAN bebas Yohanes itu tampaknya bakal menentukan nasib perkara Yusril dan Hartono di Kejaksaan Agung. Akhir pekan lalu, Kejaksaan baru mendapat salinan putusan itu. Salah seorang jaksa di Gedung Bundar yang menangani perkara itu mengaku dirinya mencium gelagat penghentian dua perkara itu.
Sebelumnya Yusril menjadi tersangka karena perannya sebagai Menteri Kehakiman yang meneken kebijakan Sisminbakum dan menunjuk PT Sarana sebagai rekanan. Tuduhan itu, menurut jaksa tersebut, akan dianulir. Salah satu alasannya, ya, memakai pertimbangan putusan bebas Yohanes yang menyebut proyek Sisminbakum tidak melanggar hukum karena melaksanakan kebijakan pemerintah. "Apalagi posisi Yusril sudah di atas angin setelah Romli bebas," kata jaksa ini.
Putusan Yohanes yang menyebut tidak ada kerugian, kata sang jaksa, juga akan dipakai untuk menganulir sangkaan kepada Hartono. Kakak kandung pengusaha Hary Tanoe itu dijadikan tersangka karena ia yang memaraf dan menyetujui draf perjanjian biaya akses dan yang meneken semua pengeluaran PT Sarana dari proyek itu. "Karena di putusan Yohanes dana itu bukan uang negara, tapi duit PT Sarana," katanya.
Menurut jaksa senior tersebut, sejak awal petinggi Kejaksaan memang tidak serius membawa perkara itu ke pengadilan. Penghentian dua perkara itu, kata dia, tinggal menunggu waktu. Putusan bebas Romli dan Yohanes menjadi modalnya. Jaksa Agung Basrief Arief sendiri berkali-kali membantah kalau pihaknya disebut tidak serius menangani perkara itu.
Sudah setahun lebih perkara Yusril dan Hartono jalan di tempat. Setelah berkas dinyatakan lengkap, putusan bebas Romli menunda dua perkara itu ke pengadilan. Padahal tim kajian Gedung Bundar dan tim pakar yang terdiri dari jaksa senior mengusulkan dua perkara ini segera maju ke pengadilan, karena sudah dinyatakan lengkap. Tapi petinggi Kejaksaan tak menggubris saran itu.
Karena dua perkara itu tak kunjung ke pengadilan, akhir Juli lalu Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) mempraperadilankan Kejaksaan Agung. Tiga anggota Himpunan Mahasiswa Islam juga mempraperadilankan Kejaksaan Agung karena diduga menghentikan diam-diam perkara Yusril dan Hartono. Belakangan dua gugatan itu ditolak karena hakim menyatakan mereka bukan pihak yang berhak mengajukan gugatan.
Seperti halnya putusan Romli, putusan Yohanes, menurut Ketua MAKI Boyamin Saiman, bisa dikesampingkan. Kejaksaan tetap dapat membawa perkara itu ke pengadilan karena syarat kelengkapannya sudah dipenuhi. Selain itu, kata Boyamin, masih ada pelaku lain yang dinyatakan bersalah, seperti Syamsudin Manan dan Zulkarnain. Bonyamin tetap berpendapat proyek itu merugikan negara. "Hanya dengan modal Rp 500 juta, PT Sarana bisa untung ratusan miliar rupiah," katanya.
Wakil Jaksa Agung Darmono mengatakan pihaknya perlu mempelajari terlebih dahulu keputusan bebasnya Yohanes itu. Akhir tahun, Darmono berharap evaluasi putusan bebas Yohanes dan Romli bisa selesai, sehingga pihaknya bisa mengambil sikap. Putusan Yohanes dan Romli belum tentu berdampak pada perkara Yusril dan Hartono. "Harus dipelajari alasan hukumnya, apakah terkait atau tidak," kata Darmono.
Yusril sendiri mendesak Kejaksaan segera bersikap. Dengan adanya putusan bebas Yohanes dan Romli, menurut bekas Menteri Sekretaris Negara itu, tidak ada alasan Kejaksaan melanjutkan kasusnya.
Anton Aprianto, Isma Savitri
Bebas di Hakim yang Sama
KASUS korupsi Sisminbakum bisa jadi berakhir antiklimaks. Setelah menyeret sejumlah pelaku ke dalam terungku, kasus itu terancam tutup buku. Tiga putusan di tingkat Mahkamah Agung merontokkan tuduhan bahwa uang fee Sisminbakum adalah uang negara. Dua terdakwa di antaranya bebas dari jerat hukum. Ketua majelis tiga perkara itu dipegang hakim agung yang sama: Muhammad Taufik.
Februari 2000
Romli Atmasasmita (Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum) merancang Sisminbakum.
Juni 2000
Romli menggandeng Hartono Tanoesoedibjo melalui PT Sarana Rekatama Dinamika.
4 Oktober 2000
Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra mengeluarkan Surat Keputusan Pemberlakuan Sisminbakum.
10 Oktober 2000
Yusril menunjuk Koperasi Kehakiman dan PT Sarana sebagai pelaksana Sisminbakum.
8 November 2000
Koperasi dan PT Sarana mengikat kontrak kerja sama 10 tahun, yang mengatur jatah perolehan: 10 persen untuk Koperasi dan 90 persen untuk PT Sarana.
8 Februari 2001
Romli menerbitkan edaran tarif access fee.
1 Maret 2001
Layanan Sisminbakum dioperasikan.
Oktober 2008
Kejaksaan Agung menyelidiki dugaan korupsi Sisminbakum.
24 Oktober 2008
Bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Syamsudin Manan Sinaga dan Zulkarnain Yunus menjadi tersangka. Sebulan berselang, Romli dan Direktur Utama PT Sarana Yohanes Waworuntu menjadi tersangka.
24 Desember 2008
Mantan Ketua Koperasi Pengayoman Ali Amran Djanah menjadi tersangka. Karena sakit parah, ia belum diadili.
29 April 2009
Persidangan perdana Sisminbakum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
September 2009
Romli divonis 2 tahun penjara. Syamsudin divonis 1 tahun 6 bulan penjara.
28 Oktober 2009
Yohanes divonis 4 tahun penjara.
Januari 2010
Pengadilan tinggi mengkorting vonis Romli dan Syamsudin menjadi 1 tahun. Yohanes menjadi 2 tahun penjara.
2 Mei 2010
Mahkamah Agung melalui putusan kasasinya memvonis Yohanes 5 tahun penjara plus membayar ganti rugi Rp 378 miliar.
25 Juni 2010
Yusril dan Hartono menjadi tersangka. Keduanya langsung dicekal.
2 Desember 2010
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Zulkarnain Yunus 1 tahun penjara. Karena sakit, ia diadili belakangan.
21 Desember 2010
MA melalui putusan kasasinya melepas Romli dari tuntutan. Sedangkan kasasi Syamsudin ditolak.
19 Januari 2011
Berkas perkara Yusril dan Hartono lengkap.
24 Januari 2011
Pelimpahan perkara Yusril dan Hartono ditunda karena Jaksa Agung Basrief Arief meminta putusan lepasnya Romli dikaji.
3 Februari 2011
Basrief kepada media menyatakan kemungkinan opsi penghentian perkara Yusril dan Hartono.
23 Februari 2011
Yohanes mengajukan peninjauan kembali.
Awal Maret 2011
Tim pengkaji Kejaksaan menyimpulkan putusan Romli tidak bisa menjadi acuan perkara Yusril dan Hartono. Tim mengusulkan perkara dibawa ke pengadilan.
Akhir Maret 2011
Tim pakar terdiri dari tujuh mantan jaksa diminta mengkaji opsi upaya PK putusan Romli.
22 Juni 2011
Pengadilan tinggi menguatkan vonis 1 tahun penjara untuk Zulkarnain.
24 Juni 2011
Cekal Yusril dan Hartono diperpanjang.
Juni 2011
Tim pakar menyimpulkan kejaksaan bisa mengajukan PK putusan Romli. Tim menyarankan perkara Yusril dan Hartono ke pengadilan.
28 November 2011
Permohonan PK Yohanes diterima. Ia divonis bebas.
Beda Nasib di MA
1. Romli Atmasasmita
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum 2000-2002
2. Syamsudin Manan Sinaga
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum 2006-2008
3. Yohanes Waworuntu
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum 2006-2008
Belum ke Pengadilan
1. Yusril Ihza Mahendra
Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
2. Hartono Tanoesoedibjo
Pemilik PT Sarana Rekatama Dinamika
Sumber: Anton A., wawancara, MA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo