Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NYAWA manusia seperti tak ada harganya di negeri ini. Seorang penganggur yang tergiur telepon pintar BlackBerry bisa dengan enteng menusuk remaja tanggung di tepi jalan raya. Sekelompok mahasiswa yang merasa helmnya diambil tanpa izin bisa dengan ringan mengeroyok sesamanya di tengah lapangan sepak bola kampus. Dunia kita seakan berubah jadi rimba: tak ada hukum, tak ada polisi—tak ada negara!
Kedua tragedi itu terjadi di ibu kota republik ini awal pekan lalu. Di Pluit, Jakarta Utara, seorang remaja 16 tahun, Christopher Melky Tanujaya, tewas ditusuk di dekat halte bus Transjakarta. Selang sehari, Ahmad Yoga Fudholi, mahasiswa 19 tahun, meninggal setelah dipukuli habis-habisan oleh rekan-rekan sekampusnya di Universitas Al-Azhar Indonesia di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Dua peristiwa kekerasan itu memutarbalikkan akal sehat kita. Hanya karena perkara sepele, jiwa melayang. Terlebih lagi, kedua pembunuhan itu terjadi di tempat umum. Ketika kejahatan menampakkan muka dengan leluasa, dan para begundal tak punya lagi rasa takut, berlebihankah jika kita bertanya: di mana tanggung jawab negara?
Pembunuhan Christopher dan Yoga merupakan klimaks dari masa-masa penuh kecemasan di negeri ini. Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya mencatat, setiap tahun rata-rata terjadi 70 kasus pembunuhan di Ibu Kota saja.
Korbannya beragam: mulai penjaga kuburan sampai bos pemilik pabrik. Kita belum lupa, Agustus lalu, seorang mahasiswi Universitas Bina Nusantara, Livia Pavita Soelistio, 21 tahun, tewas setelah dirampok dan diperkosa di angkutan kota. Kejadian itu membuat banyak orang waswas menggunakan transportasi publik.
Mudah dipahami jika sedikit demi sedikit kita mulai kehilangan kepercayaan pada sistem keamanan yang diselenggarakan negara. Setelah kasus pembunuhan Livia, angka penjualan pistol kejut listrik (stun gun) dan penyemprot merica (pepper spray) di pusat pertokoan Glodok meningkat tajam. Publik ragu terhadap kemampuan pemerintah memberikan rasa aman dan, karena itu, harus "mengamankan" dan mempersenjatai diri sendiri.
Ketakutan merayap di mana-mana. Oktober lalu, seorang perempuan muda nekat melompat keluar dari sebuah bus yang melaju kencang hanya karena dialah satu-satunya penumpang yang tersisa. Di kompleks-kompleks perumahan, tembok pembatas dibangun tinggi, petugas satuan pengamanan dikontrak 24 jam, sistem alarm mahal dipasang. Kita merasa terancam, bahkan di rumah sendiri.
Perkara ini bukan cuma soal sistem keamanan yang gagal. Tak perlu repot-repot menggelar seminar untuk meninjau kembali sistem kepolisian kita. Toh, sudah lama aparatur keamanan memperkenalkan model polisi masyarakat atau community oriented policing. Cuma, tampaknya rencana itu baru bergaung sebatas cita-cita.
Hal yang lebih mendasar adalah alpanya kesadaran para penyelenggara negara bahwa keamanan merupakan bagian dari hak asasi warga negara. Keamanan bukan hanya untuk mereka yang sanggup membayar. Pada saat kita ketakutan untuk sekadar keluar malam, naik angkutan umum, dan harus bepergian dengan stun gun di dalam tas, ketika itulah peran negara hilang dari tata kehidupan sosial kita yang paling sederhana.
Tentu kerja cepat polisi menangkap pembunuh Christopher, Yoga, Livia, dan korban-korban pembunuhan lain patut diacungi jempol. Tapi, lebih dari itu, tindakan pencegahan pasti jauh lebih mustahak. Tindakan itu tentu membutuhkan perencanaan yang menyeluruh dan melibatkan para pemangku keamanan. Jangan pula ada alasan kekurangan dana sebagai kendala, karena nyawa warga negara sesungguhnya merupakan sesuatu yang tak bisa disetarakan dengan harga apa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo