Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Hamlet

WS Rendra dalam usia 60 tahun memainkan adegan Hamlet. hamletnya rendra adalah hamlet dari sebuah masa dengan friksi-friksi yang meluas antara yang berkuasa dan yang tidak berkuasa. penggambaran kebimbangan manusia.

12 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBIMBANGAN: terlalu sering rasa itu disesali. Pangeran Hamlet, dalam lakon Shakespeare, ingin membalas dendam atas pembunuhan ayahnya. Tapi ia tak segera bertindak. Ada yang mengatakan bahwa inilah ciri Hamlet: perwujudan rasa ragu. Dalam sajak Boris Pasternak yang termuat dalam novel Dr. Zhivago, Hamlet hadir bagaikan tokoh yang gementar di malam di Taman Getsamani, pribadi yang tahu ia harus menerima cawan nasib untuk mati berkorban esok pagi. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa itulah justru cerita la condition humaine, itulah deskripsi nasib manusia: makhluk yang dilahirkan dalam bubu sejarah, species yang bergerak dalam riol panjang antara kebebasan untuk mengubah dunianya di satu pihak dan keterbatasannya yang tak bisa ia atasi di lain pihak. Apa pun tafsir kita tentang kisah Hamlet yang tersohor ini, beginilah yang dilukiskan oleh Shakespeare dalam babak ketiga lakonnya: sang pangeran tampak termangu sendiri. Pada saat itu, dalam sebuah grenengan atau soliloquy yang masyhur itu, ia pun mengutarakan apa yang mengerumuni hati dan pikirannya setelah ia memilih misi untuk menuntut balas: To be, or not to be, that is the question. Hidup atau mati, itulah soalnya, jadi atau tak menjadi, itulah masalahnya. Lalu ia pun berbisik tentang maut yang tak memberikan kepastian. Ia menyebut perlunya keberanian melawan nasib yang merisaukan. Tapi ia juga berbisik bahwa hati nurani, atau kesadaran, atau conscience, akhirnya "membuat kita semua pengecut". Kata Hamlet, tentang kecenderungan untuk selalu berpikir dan berpertimbangan ini: "tekad yang berseri-seri di permulaan/pun jadi pasi, kuyu, terkena pucat paras pemikiran/dan usaha yang bermakna besar/pun pudar karena itu, terhantar/tak bisa lagi bernama tindakan". Rendra, dalam usia yang menghampiri 60 tahun, masih memainkan adegan itu dengan impresif di pentas Taman Ismail Marzuki pekan lalu. Yang menarik bagi saya ialah bahwa Hamlet itu bukanlah sebuah sosok yang runyam oleh banyak merenung dan menimbang- nimbang. Hamlet-nya adalah Hamlet zaman ini: Hamlet yang ogah perilaku yang "tidak bisa lagi bernama tindakan". Hamletnya adalah seorang pembangkang yang tajam lidah dan pikirannya, oposan yang dengan pintar menghadapi sebuah kekuasaan yang kuyup terendam dalam dosa dan rasa tidak sah, dan sebab itu pun kikuk, kaku, gugup, dan kalah. Saya kira banyak orang sadar bahwa memang buat Hamlet yang seperti inilah para penonton Jakarta bisa tertarik dan bertepuk -- sebagaimana pengunjung diskusi pun gemar keplok-keplok buat ucapan yang meskipun tak cemerlang, memikat, semata-mata karena isinya mencemooh penguasa. Dengan kata lain, Hamlet-nya adalah Hamlet dari sebuah masa ketika orang hidup dengan friksi-friksi yang meluas antara yang berkuasa dan yang tak berkuasa -- tapi friksi yang belum sampai di ambang bentrokan yang dahsyat. Umumnya friksi itu menyangkut "politik representasi": bagaimana "kenyataan" dihadirkan di layar monitor kehidupan kita bersama. Maka, yang terdengar sebagai "tindakan" adalah kata-kata, kata-kata, kata-kata. Tapi kata, sebagai tindakan, karena harus keras, mencoba menggenggam kepastian. Pada saat itu wajar bila siapa pun melecehkan kebimbangan. Setahu saya hanya Putu Wijaya yang pernah mengatakan bahwa "Kebimbangan adalah suci." Dramawan ini berbicara tentang peran teater avant-garde, yang menampik gaya dan ide-ide yang telah merasa pasti hingga ogah dipersoalkan lagi. Tapi sebenarnya pernyataan itu (yang tak berpretensi untuk orisinal) bisa dipergunakan pula untuk menggambarkan sikap yang menampik dogma, rasa puas diri, tingkah yang mapan dan takabur: sikap para filosof dan para cendekiawan, kesibukan Socrates di jalan- jalan Yunani kuno, ketika ia ingin jadi lalat pengganggu bagi masyarakatnya yang tidur, mungkin lelah, mungkin asyik dengan ninabobo, mungkin pula enak berbantalkan kepastian. Agaknya inilah yang hendak ditekankan kembali oleh Abdurrahman Wahid, dalam ceramah untuk mengenang Soedjatmoko pekan lalu di Jakarta: bahwa ada tugas yang sederhana tetapi gawat, yakni mempertanyakan. Itulah tugas seorang intelektuil: seorang yang menyaksikan penderitaan manusia, dan hatinya seperti kena iris, dan bertanya: kenapa? Dengan itulah ia bisa menawarkan suatu discourse alternatif. Ia memang lebih dekat kepada kebimbangan, ia tak teramat cocok dengan "tindakan", hal yang selalu minta dibekali keyakinan dan kepastian itu. Tapi apa dosanya bila ia ada di antara kita? Hamlet, setidaknya, sebuah suara jujur.Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum