Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRIA itu bergegas memaÂsuki gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat siang pekan lalu. Satu-dua orang yang bertanya maksud kedatangannya dijawabnya sambil lalu: "Saya mau bertemu Abraham Samad." Hari itu Fajriska Mirza, si pria, melaporkan soal tak lazim kepada petinggi KPK: penggelapan duit kliennya oleh pejabat Kejaksaan Agung.
Fajriska—yang biasa disapa Boy—adalah pengacara Hartono Tjahjadjaja, Direktur PT Delta Makmur Ekspresindo. Hartono dipidana karena pada 2003 membobol dan menampung duit Rp 180,5 miliar dalam rekening Bank BRI Cabang Segitiga Senen dan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Uang itu milik PT Dana Pensiun Perkebunan, perusahaan investasi yang memutar duit pensiunan karyawan badan usaha milik negara, PT Perkebunan Nusantara.
Saat ini Hartono mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Sebelumnya, ia pernah kabur, tapi tertangkap. "Uang Hartono yang tak terkait dengan pembobolan itu ikut disikat penyidik," kata Boy.
Di KPK, Boy diterima hangat oleh pimpinan lembaga antirasuah. Menurut Boy, Abraham Samad antusias ketika ia menunjukkan segepok dokumen dan menyerahkan salinannya. Dokumen itu berisi data seputar penyidikan kasus kliennya di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Menyimak cermat penjelasan Boy, Abraham dan kawan-kawan menarik napas ketika Boy menyinggung nama Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy. Pada saat kasus pembobolan terbongkar, Marwan adalah Asisten Pidana Khusus di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Abraham meminta Boy tak banyak bicara kepada juru tinta. Pulang dari KPK, "Saya keluar lewat pintu belakang agar tak bertemu dengan wartawan," kata Boy.
PADA awal penyidikan, tak ada yang ganjil dalam kasus pembobolan bank itu. Di samping Hartono, beberapa tersangka lain ikut ditangkap. Mereka adalah komisaris PT Delta Makmur Yudi Kartolo, Kepala Cabang BRI Senen Deden Gumilar Sapoetra (alÂmarhum), dan Kepala Cabang BRI Tanah Abang Agus Riyanto. Keempatnya kemudian divonis penjara 10-15 tahun dan mengganti kerugian negara masing-masing Rp 55 miliar.
Dalam proses penyidikan, jaksa memblokir dan menyita rekening milik para tersangka selain rekening lain milik mereka yang diduga dihampiri uang haram itu. Menurut Boy, penyidik menyita uang dalam beberapa tahap. Mula-mula Rp 38 miliar dari rekening Hartono dan belasan orang lain yang menampung dana hasil pembobolan itu. Lalu penyidik menyita US$ 3 juta dan Rp 33 miliar di rekening lain. Empat unit mobil, di antaranya Toyota Land ÂCruiser dan Mercedes-Benz, ikut dirampas. Sitaan paling jumbo adalah uang di rekening PT Delta Makmur, yang menurut perhitungan Boy besarnya Rp 263,3 miliar.
Semua rekening dibekukan hingga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis kepada para tersangka pada 22 Juli 2004. Dari sinilah mulai muncul persoalan. Dalam putusannya, hakim mencantumkan keharusan pengembalian uang yang tidak terbukti sebagai hasil kejahatan kepada pemilik asalnya.
Boy tak mempermasalahkan uang Rp 38 miliar hasil penyitaan pertama. Yang ia persoalkan adalah uang di rekening PT Delta Makmur. Dari Rp 263,3 miliar yang disita, minus uang hasil kejahatan yang masuk rekening itu, seharusnya masih ada sisa Rp 92,8 miliar. "Selisih ini yang tidak pernah dilaporkan jaksa selama di pengadilan," kata Boy. Dia juga mempermasalahkan uang milik tersangka lain sebesar Rp 33 miliar dan US$ 3 juta yang tak pernah dicantumkan sebagai barang bukti di persidangan.
Boy pernah menelusuri bagaimana penyidik menyita rekening-rekening itu. Hasilnya, ia menemukan cara penyitaan yang ganjil. Uang hasil sitaan ngendon di rekening asal atau di rekening penampungan atas nama Asisten Pidana Khusus di BRI untuk kemudian ditransfer ke sejumlah rekening dengan nama "titipan lainnya".
Marwan menepis semua tudingan. Pada era itu, kata dia, kasus pembobolan BRI yang sempat mengguncang perbankan dalam negeri disorot banyak orang dan lembaga. "Jadi saya tak mungkin bermain api," katanya.
Marwan mengklaim kasus pembobolan bank oleh Hartono dkk merupakan proyek mercusuar yang ia lakukan sepanjang kaÂriernya. Setelah kasus itu terbongkar, karier Marwan memang melejit. Dia ditarik ke Kejaksaan Agung lalu menduduki jabatan penting seperti Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, dan Jaksa Agung Muda Pengawasan.
Menurut Salman Maryadi, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat kala itu, rekening "titipan lainnya" bukan rekening khusus, melainkan hanya istilah penyidikan. Semua barang bukti uang yang disita—uang Rp 38 miliar—menurut dia sudah disetor ke BRI.
Namun seorang penyidik senior di Kejaksaan Agung mengatakan menampung uang hasil penyidikan dalam rekening tak resmi merupakan pelanggaran berat. "Itu bisa berujung pidana," kata penyidik yang tak mau disebut namanya itu. Menurut si penyidik, uang barang bukti harus ditampung di rekening resmi agar perhitungan bunga bank tetap berjalan. Bila kelak terbukti bukan hasil kejahatan, uang itu mesti dikembalikan beserta bunganya. Bagi penyidik, "Haram hukumnya sembarangan memindahkan uang barang bukti."
Mustafa Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo