DIREKTUR CV Akhiyat, Ujungpandang, Haji M. Siala, pemborong yang, mengerjakan 70 buah menara listrik tegangan tinggi yang dipasang antara pabrik semen Tonasa I dan Tonasa II, boleh bersyukur. Sebab, ia dibebaskan dari tuduhan menyuruh membunuh dan menanam kepala manusia di salah satu pondasi menara yang dibangunnya. Pengadilan Negeri Pangkep (Pangkajene Kepulauan) Sulawesi Selatan, yang mengadili kasus itu, 28 Februari lalu, juga membebaskan tiga orang lainnya, Homang Daeng Siki, Abdul Hafid Ram, dan Tarni - ketiganya karyawan CV Akhiyat - yang semula diduga terlibat dalam proyek tumbal itu. "Tidak ada bukti, mereka menanam kepala manusia di bawah menara itu," kata seorang hakim yang mengadili kasus itu. Tapi yang menarik, pengadilan yang sama akhir tahun lalu telah menjatuhkan vonis 5 sampai 14 tahun penjara untuk lima orang penduduk setempat yang dituduh membunuh seorang wanita La Iccu atas "order" perusahaan milik Haji Siala itu. Kelima orang penduduk yang sampai akhir persidangan membantah tuduhan itu adalah Mustari, Bedusilla, Wainca, Juma, dan Tarike. Sampai sekarang mereka masih mendekam di dalam penjara. Bahkan tiga di antara terhukum itu, Wainca, Juma, dan Tarike, tidak pula menyatakan banding. "Kami tidak punya uang untuk bandmg. Karena itu, biar nanti saJa dakhirat dibuat perhitungan lagi," ujar Juma, 15, salah seorang terhukum. La Iccu, 25, menghilang dari rumahnya di Kampung Sela, Pangkep, 26 Januari 1984. Tiga hari kemudian barulah kakak ipar gadis itu menemukan mayatnya, terapung-apung di sungai tanpa kepala. Polisi yang mengusut kasus itu menemukan cerita aneh dari kelima tertuduh yang sudah divonis tadi: kepala La Iccu telah dipakai perusahaan Haji Siala untuk tumbal. Menurut skenario polisi, adalah Mustari bersama empat kawannya itu yang melaksanakan eksekusi atas La Iccu. Kepala korban, menurut polisi, terbungkus kain kemudian diserahkan oleh Mustari kepada Rani, karyawan Haji Siala. Sebagai imbalannya, Mustari mendapatkan uang dari Rani Rp 250 ribu yang dibagi-bagikannya kepada kawan-kawannya. Bungkusan kepala itu oleh Rani diteruskan kepada atasannya, Jarni, seorang mandor -perusahaan kontraktor itu. Menurut polisi lagi, kepala korban itu sempat dititipkan Jarni kepada tukang masak Homang, sebelum ditanam di pondasi menara ke-70. Di persidangan, semua tuduhan itu dianggap mentah karena kurang bukti. Semua tersangka mencabut pengakuannya di polisi. "Biar sampai mati saya tidak akan mengaku karena saya memang tidak tahu apa-apa," ujar Homang, yang dituduh menyimpan kepala La Iccu - dapurnya. Tersangka lainnya mengaku menandatangani berita acara karena tidak tahan disiksa. Mustari, misalnya, memperlihatkan bekas sundutan rokok dan pukulan martil di badannya. Haji Siala pun membantah keras tuduhan ke alamatnya dan anak buahnya itu. "Sebagai orang Muhammadiyah, menanam kepala kerbau pun haram hukumnya bagi saya, apalagi kepala manusia," begitu kata Haji Siala beberapa waktu lalu. Haji itu bahkan menantang polisi membongkar saja menara yang diduga memakai tumbal kepala manusia itu. Polisi tidak melayani tantangan itu. Menurut pembela Haji Siala, Becce Nurlina Nurdin, memang tidak ada apa-apa di bawah menara yang dibangun kliennya itu. Sebab, menara itu, katanya, sudah dicor pada tanggal 24 Januari, sementara La Iccu hilang tanggal 26 Januari. "Jadi, wajar kalau hakim membebaskan klien saya," ujar Becce. Yang tidak wajar tentu saja nasib Mustari dan kawan-kawannya. Sebab, mereka dinyatakan terbukti membunuh justru karena disuruh Haji Siala dan karyawan-karyawannya. Hakim H. Samson, yang membebaskan Haji Siala, sebaliknya menganggap wajar dua keputusan itu berbeda. "Mustari dan kawan-kawannya terbukti membunuh. Sebaliknya, Haji Siala tidak terbukti menyuruh membunuh atau menerima kepala manusia itu," kata Samson.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini