Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ujian Bagi Pemegang Monopoli

HAKIM Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, tiba-tiba mengeluarkan selembar kartu dari dompetnya di tengah sidang yang sedang berlangsung. Ternyata itu kartu yang diterbitkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sang hakim pun menceritakan pengalaman dia berobat di sebuah rumah sakit dengan fasilitas BPJS. Anwar mengatakan, ketika ia mengambil obat, petugas farmasi hanya memberikan separuh dari obat yang diresepkan dokter. Petugas meminta dia mengambil sisanya di kemudian hari. "Padahal saya memegang kartu VVIP (very very important person)," kata Anwar, Selasa pekan lalu.

16 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAKIM Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, tiba-tiba mengeluarkan selembar kartu dari dompetnya di tengah sidang yang sedang berlangsung. Ternyata itu kartu yang diterbitkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sang hakim pun menceritakan pengalaman dia berobat di sebuah rumah sakit dengan fasilitas BPJS. Anwar mengatakan, ketika ia mengambil obat, petugas farmasi hanya memberikan separuh dari obat yang diresepkan dokter. Petugas meminta dia mengambil sisanya di kemudian hari. "Padahal saya memegang kartu VVIP (very very important person)," kata Anwar, Selasa pekan lalu.

Hakim Anwar menyampaikan kisahnya tersebut dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Dia menanggapi keterangan seorang saksi yang dihadirkan pemohon, Didik Priyo Utomo. Sebagai peserta BPJS, Didik juga mengisahkan pengalaman dia perihal ruwetnya berobat dengan kartu BPJS.

Didik memeriksakan perutnya di Rumah Sakit Islam Surabaya pada Agustus 2014. Ternyata biaya observasi tes ultrasonography?(USG) perut sebesar Rp 420 ribu tak ditanggung BPJS. Didik, yang menderita penyakit "batu empedu", lalu dirujuk menjalani operasi di tiga rumah sakit di Surabaya. Tapi, sampai bersaksi di Mahkamah Konstitusi hari itu, Didik belum mendapat jadwal operasi. "Ketika saya mendaftar sebagai peserta BPJS, antreannya selalu membeludak," ujar Didik di persidangan.

Permohonan uji materi Undang-Undang BPJS diajukan sejumlah perusahaan dan individu. Dari perusahaan pemberi kerja, ada PT Papan Nirwana. Lalu ada PT Ramahuza Bhakti Husada, PT Abdi Waluyo Mitrasejahtera, dan PT Cahaya Medika Health Care. Ketiga perusahaan ini berstatus Badan Pelaksana Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Bapel JPKM) alias penyelenggara asuransi untuk karyawan menengah ke bawah. Pemohon uji materi lainnya adalah dua pekerja asal Surabaya, yakni Sarju dan Imron Sarbini.

Menurut kuasa hukum pemohon uji materi, Aan Eko Widiarto, karyawan dan perusahaan pemberi kerja sama-sama dirugikan oleh kewajiban menjadi peserta BPJS. Karyawan yang sudah memiliki asuransi kesehatan dengan standar pelayanan lebih baik dirugikan ketika dipaksa beralih ke BPJS, yang pelayanannya masih jauh dari optimal.

Adapun perusahaan pemberi kerja, menurut Aan, dirugikan karena mereka terancam sanksi administratif (pasal 17) dan sanksi pidana (pasal 55) jika tak mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS. "Pemberi kerja juga mengalami diskriminasi akibat sanksi yang diterapkan," katanya.

Menurut Aan, Undang-Undang BPJS tidak melarang keberadaan perusahaan berstatus Badan Pelaksana JPKM. Namun, ketika BPJS ditunjuk sebagai satu-satunya penyelenggara layanan jaminan kesehatan, badan usaha privat seperti Badan Pelaksana JPKM banyak yang gulung tikar. "Sekarang sebagian besar Bapel JPKM kehilangan kliennya," ucap Aan.

****

GAGASAN mengajukan uji materi Undang-Undang BPJS ini muncul pada pertengahan 2014. Pemicunya adalah pemberlakuan BPJS, sejak 1 Januari 2014, yang mengguncang perusahaan berstatus Badan Pelaksana JPKM. "Kami sungguh terpukul," ujar Direktur Utama PT Ramahuza Bhakti Husada, Daniel Aldiansyah.

Perusahaan Badan Pelaksana JPKM didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pemerintah telah memberikan izin kepada 20 perusahaan sebagai Bapel JPKM. Menurut Ketua Perhimpunan Badan Pelaksana JPKM Dodi Muhadi, dari 20 badan itu, hanya 25 persen yang masih beroperasi dengan baik. Sedangkan 34 persennya berjalan antara hidup dan mati. Adapun 45 persen sisanya benar-benar tak beroperasi.

Menurut Daniel, membangun perusahaan Badan Pelaksana JPKM memang tak mudah. Dalam lima tahun pertama, peserta asuransi di Ramahuza, misalnya, baru 10 ribu orang. Selama itu keuntungan finansial belum menghampiri Ramahuza. Soalnya, kata Daniel, di dunia asuransi berlaku hukum, "Semakin banyak peserta, perusahaan asuransi akan makin untung."

Pada akhir 2013, sebelum diterapkan BPJS, jumlah klien Ramahuza sekitar 200 ribu orang. Klien tersebut berasal dari Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sejak berlakunya BPJS, jumlah klien PT Ramahuza merosot sekitar 30 persen. Kini peserta jaminan kesehatan di Ramahuza tinggal 140 ribu orang. "Setiap bulan ada saja yang berhenti," ujar Daniel.

Klien Ramahuza sebagian besar berasal dari kalangan industri. Sejak diterapkan wajib BPJS, perusahaan yang menjadi klien Ramahuza banyak yang mundur. "Mereka ditegur pemerintah daerah sehingga segera mendaftar ke BPJS," kata Daniel.

Menurut Daniel, Badan Pelaksana JPKM menerapkan premi yang lebih murah dibanding BPJS. Untuk karyawan, Bapel JPKM mematok premi asuransi paling rendah Rp 22 ribu dan paling tinggi Rp 50 ribu. Adapun iuran BPJS untuk karyawan adalah 4,5 persen dari upah (4 persen ditanggung perusahaan, 0,5 persen ditanggung karyawan). "Kami dapat menjadi alternatif karena premi murah dan pelayanannya baik," ucapnya.

Daniel pun mengajak rekan-rekannya mendiskusikan persoalan hidup-mati perusahaan mereka. Setelah enam kali berdiskusi, disepakati permohonan uji materi diwakilkan kepada tiga perusahaan Badan Pelaksana JPKM. Satu perusahaan lain yang semula mau ikut di tengah jalan batal mengajukan permohonan. "Mereka menghadapi krisis yang berat," kata Daniel. Aan, yang ditunjuk sebagai kuasa hukum, kemudian mengusulkan agar permohonan uji materi itu melibatkan perusahaan pemberi kerja dan para pekerja. "Agar legal standing-nya lebih kuat," ujar Aan.

Dalam uji materi ini, pemohon berdalil bahwa pemerintah menerapkan "etatisme" atau penguasaan tunggal dalam pelayanan jaminan kesehatan BPJS. Padahal, untuk beberapa aspek lain yang merupakan hajat hidup rakyat banyak, pemerintah tak menerapkan "monopoli" itu. Aan mencontohkan pelayanan pendidikan yang memberikan kebebasan memilih bagi masyarakat. Mereka yang mau masuk sekolah swasta tak wajib masuk sekolah negeri. "Bila etatisme diberlakukan, lalu suatu saat pemerintah gagal, masyarakat akan kesulitan mendapatkan pelayanan," katanya.

Sebagai pembuat Undang-Undang BPJS, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tentu saja punya pendapat berbeda. Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Medikolegal Tritarayati mengatakan iuran wajib BPJS menganut prinsip subsidi silang antara peserta mampu dan peserta tidak mampu. "Itu untuk mewujudkan nilai kebersamaan dan kegotongroyongan," ujar Tri.

Adapun anggota Komisi Hukum DPR, Arsul Sani, berpendapat penyelenggaraan BPJS yang bersifat monopolistik juga sah. Pemerintah, kata dia, memang harus menyelenggarakan pelayanan seperti itu untuk kepentingan seluruh rakyat. Adapun ancaman sanksi administrasi dan pidana bagi perusahaan pemberi kerja dirancang untuk menjamin ketaatan membayar iuran. "Sekaligus untuk melindungi hak-hak pekerja," ucap Arsul.

Ahli tata negara yang dihadirkan dalam sidang, Muchammad Ali Safaat, menilai Undang-Undang BPJS bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam Undang-Undang SJSN disebutkan jaminan sosial dapat diselenggarakan oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial. Sedangkan dalam Undang-Undang BPJS, pelaksanaan jaminan sosial itu diserahkan kepada satu badan.

Menurut Ali, penyelenggaraan pelayanan jaminan sosial hanya melalui BPJS mengandung persoalan konstitusional. Keberadaan BPJS mirip dengan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Pemerintah pernah melimpahkan hak penguasaan atas sumber daya alam kepada BP Migas. Lalu Mahkamah Konstitusi membubarkan BP Migas pada 2012. Mahkamah menilai monopoli yang diberikan kepada BP Migas oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Ali juga mempersoalkan ancaman sanksi kepada pemberi kerja dan warga negara yang tidak ikut BPJS. Menurut dia, keikutsertaan dalam program jaminan sosial merupakan hak warga negara dan bukan kewajiban. Karena itu, mereka yang tidak mau ikut BPJS semestinya tak dikenai sanksi. "Sanksi itu instrumen terukur yang digunakan negara atas pelanggaran kewajiban," kata Ali.

Cara sejumlah pemerintah daerah dalam menjaring peserta BPJS juga dikritik Ali. Misalnya, ada pemerintah daerah yang menjadikan kepesertaan BPJS sebagai syarat dalam pengurusan kartu tanda penduduk. Padahal KTP merupakan kartu identitas dasar yang menjadi "modal" warga negara memperoleh keseluruhan hak dia. Mengaitkan pengurusan KTP seseorang dengan pengurusan BPJS, menurut Ali, sama saja dengan menghilangkan semua hak orang itu sebagai warga negara.

Yuliawati


Yang Dipersoalkan

INILAH pasal-pasal Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang diuji di Mahkamah Konstitusi. Pasal-pasal ini dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 15 ayat 1
Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti.

Pasal 17 ayat 1
Pemberi kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 15 ayat 1 dikenai sanksi administratif.

Pasal 17 ayat 2 huruf c
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa tidak mendapat pelayanan publik tertentu.

Pasal 17 ayat 4
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf c dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS.

Pasal 19 ayat 1
Pemberi kerja wajib memungut iuran yang menjadi beban peserta dari pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.

Pasal 19 ayat 2
Pemberi kerja wajib membayar dan menyetor iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.

Pasal 55
Pemberi kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat 1 atau ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama delapan tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus