DEMOKRASI kita masih sakit. Inilah kata-kata pertama yang diucapkan Adnan Buyung Nasution, begitu keluar dari ruang sidang Pengadilan Negeri Semarang. Reaksi keras dari Buyung, pengacara terdakwa kasus ''Kampanye Golput'' ini, diberikan atas vonis hakim yang menghukum Lukas Luwarso dan Poltak Ike Wibowo masing-masing 4 bulan, Rabu pekan lalu. Sebelumnya, jaksa hanya menuntut 3 bulan penjara. Lukas, lulusan Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, dan Poltak, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung Semarang, dibawa ke pengadilan sehubungan dengan kasus ''Apel Siaga Kebangkitan Nasional'' di kampus Universitas Diponegoro, Mei 1992 lalu. Dalam acara tersebut, menurut Hakim Suharso, S.H., mereka berdua terlibat dalam kegiatan penghinaan terhadap negara. Lukas, yang saat itu masih mahasiswa, didakwa merencanakan acara tersebut, juga mengetik pernyataan dan mars golput. Sedangkan Poltak terbukti turut serta. Mereka diancam Pasal 154 KUHP, yang dikenal sebagai haatzaaiartikelen (penyebaran kebencian). Dalam apel itu, Lukas dan Poltak membacakan Sajak Lima, yang mirip Pancasila. ''Pembacaan Pancasila secara tidak lengkap atau membuat sajak yang mirip dengan Pancasila menyalahi TAP MPR dan menghina dasar negara,'' kata hakim. Selain itu, mereka juga menyanyikan mars golput, yang mengadaptasi mars pemilu dengan kata yang dipelesetkan. Antara lain disebut pemilu hanya menghabiskan biaya saja. ''Pernyataan ini mengundang permusuhan terhadap Pemerintah,'' ujar hakim lagi. Kasus ini menarik karena merupakan kasus pertama ''kampanye'' golput singkatan dari golongan putih, artinya tidak ikut pemilu yang dibawa ke pengadilan. Padahal, aksi yang berlangsung di dalam kampus tersebut sudah mendapatkan izin dari Dekan Faklutas Sastra. Dalam sidang, Lukas tak terbukti membacakan dan membuat Sajak Lima. Adapun apel siaga bukan dia sendiri yang merancang. Begitu pula dengan Poltak, berdasarkan pemeriksaan di pengadilan, tak hanya dia yang aktif dalam acara tersebut. Paling sedikit ada tujuh mahasiswa yang dijadikan saksi mengaku terlibat dalam acara yang dihadiri sekitar seratus mahasiswa itu. Sidang-sidang kasus ini selalu dipenuhi mahasiswa. Bahkan pada sidang Rabu lalu, pengunjung berjubel. Ketika sidang berlangsung, kurang lebih seribu mahasiswa yang berasal dari berbagai kota di Jawa dan Bali memadati halaman pengadilan. Mereka yang menamakan diri Komite Mahasiswa Penyelamat Demokrasi melakukan aksi-aksi yang intinya memprotes pengadilan terhadap Lukas dan Poltak. Mereka meminta kedua mahasiswa itu dibebaskan. Spanduk, poster, antara lain berbunyi ''Sidang Golput Pasung Demokrasi'', serta pantomim digelar mahasiswa, yang keriuhannya menenggelamkan suara hakim di ruang sidang yang hanya berjarak beberapa meter saja. Puluhan petugas kea- manan berjaga-jaga, baik di dalam maupun di luar ruang sidang. Bagi Lukas, 27 tahun, apel siaga tersebut tidak lain merupakan pentas seni. Apa yang mereka tampilkan merupakan banyolan-banyolan yang mengandung kritik terhadap pemerintah. ''Itu adalah bentuk partisipasi politik masyarakat terhadap mekanisme pemilu dan demokrasi di Indonesia,'' kata Lukas. Ia juga mempersoalkan pasal peninggalan kolonial yang ditujukan untuk membungkam keinginan memerdekakan diri bangsa Indonesia dari penjajah Belanda, yang kini dipergunakan buat mereka. Untuk itu, mereka menyatakan banding. Seusai sidang, dengan masih menggunakan toga, Adnan Buyung langsung digotong oleh mahasiswa menuju kampus Institut Agama Islam Negeri Walisongo, yang jaraknya satu kilometer dari pengadilan, untuk mengikuti mimbar bebas. Sepanjang jalan mereka meneriakkan yel-yel yang menafikan keputusan pengadilan. Di depan peserta mimbar bebas di IAIN tersebut Poltak dan Lukas masih bersuara keras dan mengatakan, ''Vonis itu bukan ditujukan kepada kami semata. Tapi untuk kita semua yang ingin menegakkan demokrasi di Indonesia.'' Rustam F. Mandayun dan Bandelan Amarudin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini