IMPIAN Li Feng untuk bisa mengantongi paspor Republik Indonesia buyar. Bahkan, pria berusia 30 tahun asal Shen Zen, Republik Rakyat Cina (RRC) itu, Sabtu dua pekan lalu, harus duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Sidoarjo, Jawa Timur. ''Li Feng berusaha memperoleh paspor dan kewarganegaraan Indonesia dengan melawan hukum,'' tuduh jaksa penuntut, Asmal Melayu. Caranya, dengan mengaku sebagai anak di luar nikah Nyoo Ing Nio, seorang WNI keturunan Cina yang bermukim di Surabaya. Kasus Li Feng menyentak banyak pihak. Ternyata, masih ada aparat pemerintah yang dengan mudahnya memberikan surat legalisasi kepada seseorang yang belum jelas asal-usul dan riwayatnya. ''Jika mentalitas seperti itu tak segera diperbaiki, akibatnya bisa membahayakan ketahanan nasional,'' komentar seorang ahli hukum di Surabaya. Modus Li Feng untuk bisa menjadi WNI memang tergolong baru. Dalam tuduhan Jaksa Asmal, kisahnya bermula pada 10 Juni 1993. Hari itu Li Feng ke Jakarta dengan mengantongi visa kunjungan usaha. Alasan Li Feng ke Indonesia, katanya, untuk melihat- lihat pasaran barang elektronik dan ingin berdagang. Tapi kenyataannya, ''terdakwa malah berusaha melakukan kegiatan mengurus kewarganegaraan dan paspor RI secara ilegal.'' Untuk maksud itu, Li Feng menghubungi Djohan alias Ong Oe Djie, warga Jalan Trenggilis Mejoyo, Surabaya, yang dikenalnya di Jakarta. Merasa tak sanggup melakukannya, Djohan lantas minta tolong pada Lilis, yang dikenal sering menguruskan paspor. Kata jaksa, Lilis sanggup menguruskan paspor dengan biaya Rp 7 juta. Singkat cerita, dalam tempo hanya 10 hari Lilis sudah berhasil menguruskan sebagian pekerjaannya terutama yang menyangkut persyaratan administratif. Yang diperoleh Lilis antara lain kartu tanda penduduk (KTP), kartu susunan keluarga (KSK), dan petikan akta kelahiran kewarganegaraan RI. Oleh Lilis, nama Li Feng disulap menjadi Budiman, warga Jalan Seruni, Surabaya alamat milik Nyoo Ing Nio. Berbekal surat itu, Li Feng, ditemani Djohan dan Lilis, pada 20 Juli 1993 pergi ke Kantor Imigrasi Kelas I Surabaya di Waru, Sidoarjo. Segala persyaratan sudah dipenuhi. Bahkan Li Feng sudah diambil fotonya segala. Gawang terakhir, Li Feng harus menghadap Kepala Seksi Keimigrasian, Erwin Azis. Pejabat itulah yang berhak membubuhkan tanda tangannya di paspor. Seperti biasa, sebelum paspor ditandatangani, Erwin mewawancarai calon pemegang paspor. Ternyata Budiman diketahui tak mampu berbahasa Indonesia. Erwin mulai curiga, apalagi diketahui Budiman juga tak bisa menunjukkan di mana Jalan Seruni alamat yang tertera dalam KTP Budiman. Tak pelak, Li Feng, Lilis, dan Djohan saat itu juga dibekuk. Dari sinilah praktek kotor itu kemudian tersingkap. Sampai pekan lalu, baru perkara Li Feng yang disidangkan. Jaksa Asmal mendakwanya melanggar Pasal 50 Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 penyalahgunaan izin keimigrasian. Ancaman hukumannya maksimal 5 tahun atau denda Rp 25 juta. Anehnya, masalah KTP dan akta kelahiran yang diragukan keabsahannya tak diutak-atik. Djohan dan Lilis sudah didengar kesaksiannya. Di depan hakim, mereka saling menyalahkan. ''Saya tak tahu apa-apa. Semua urusan surat-surat yang mengerjakan Lilis,'' tutur Djohan. Sementara itu, Lilis sendiri tetap menyatakan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan itu diketahui Djohan. Lilis, di depan hakim, mengaku terus terang bahwa pengurusan administrasi lancar karena ia memiliki surat keterangan kewarganegaraan atas nama Nyoo Ing Nio. Surat keterangan itu sebenarnya asli, tapi oleh Lilis ditambah datanya dengan memasukkan nama Budiman sebagai anak Nio di luar nikah. Karena itu, ia dengan mudah bisa meminta surat keterangan ke kelurahan dan kecamatan. Dokumen itu, katanya, diperoleh beberapa tahun lalu dari seorang hakim yang kini sudah meninggal. Waktu itu Pak Hakim menitipkan surat keputusan tersebut agar disampaikan ke Nio. Ironisnya, Lilis sendiri mengaku tak kenal siapa itu Nio. Jadi, kenapa tiba-tiba hakim tersebut menitipkan surat penting kepada orang yang jelas-jelas tak mengenal Nio? Sementara itu, untuk meminta surat keterangan kelurahan dan kecamatan, Lilis minta bantuan temannya yang bekerja di sebuah kantor kelurahan di Surabaya. Ia juga minta tolong kenalannya yang bekerja di kantor Catatan Sipil Surabaya untuk membuatkan akta kelahiran bagi Budiman, yang seolah-olah sebagai anak di luar nikah Nyoo Ing Nio. Jadi, banyak aparat pemerintah yang terlibat. Yang menarik, Lilis juga memanfaatkan lubang hukum yang ada. Ia tahu persis, kalau anak luar nikah, kewarganegaraannya ikut sang ibu. Dalam Undang-Undang Perkawinan (Pasal 43) pun disebutkan bahwa anak di luar nikah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Demikian pula yang termaktub pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Titik itu memang rawan. Bisa saja tiba-tiba ada orang asing yang memanfaatkan lubang itu untuk kepentingan negatif. Tak ada data yang pasti, apakah selama ini ada orang asing yang melakukan hal seperti itu menyewa ibu palsu. Tapi kabar terakhir dari Kantor Imigrasi Jawa Timur menyebutkan, pihaknya kini menangkap lagi seorang warga RRC yang juga menggunakan modus yang sama dengan Li Feng. Jangan-jangan, di daerah lain pun ada. Siapa tahu? Aries Margono dan K. Candra Negara (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini