VONIS kasus Haur Koneng mulai mengalir dari Pengadilan Negeri Majalengka, Jawa Barat. Senin pekan lalu, tiga terdakwa, Iis Aisyah, 15 tahun, Wawat, 18 tahun, dan Almanah, 21 tahun, masing-masing divonis 4 bulan penjara. Mereka dianggap tak mematuhi perintah untuk menyerah dari petugas. Ketiga wanita muda itu semula dituduh terlibat peristiwa Haur Koneng (bambu kuning), akhir Juli silam. Ketiga anak buah Abdul Manan ini memukuli Kepala Dusun Gunung Seureuh, Rohamid. Tapi tak terungkap dalam persidangan, bagaimana ketiga wanita ini melakukan aksinya. Insiden di Dusun Gunung Seureuh, di kaki Gunung Ciremai, sekitar 50 kilometer dari Majalengka itu, menurut polisi dan jaksa, berawal dari tindakan Sudarna dan dua rekannya yang dinilai ''meresahkan'' masyarakat. Sewaktu petugas hendak menjemput Sudarna dan kawan-kawan, Abdul Manan dan 14 jemaahnya melawan. Dalam keributan itu, Kapolsek Bantarujek, Sri Ayem, tewas. Esoknya, puluhan petugas mendatangi padepokan Abdul Manan. Terjadilah ''pertempuran'' tak seimbang. Empat rumah di padepokan itu terbakar habis, Abdul Manan dan empat jemaahnya tewas. Kapan dan bagaimana ketiga wanita tadi memukul Rohamid, tak jelas. Selama persidangan, ketiga wanita itu juga lebih banyak diam. Bahkan kemudian tak terbukti melawan petugas. Hanya Ade Khaerudin, 16 tahun, dianggap turut menyerang petugas. Ade, yang perkaranya diberkas bersama ketiga wanita tadi, diganjar lebih berat, 7 bulan penjara. Baik Iis (istri Abdul Manan), Wawat (bekas istri Abdul Manan), maupun Almanah (kakak kandung Abdul Manan) pasrah menerima vonis itu. ''Untuk apa banding, sebentar lagi juga bebas,'' ucap Almanah. Pada Sabtu pekan lalu, masa penahanan mereka memang sudah klop dengan vonis 4 bulan itu. Dua hari setelah vonis itu, pengadilan juga memvonis Sudarna dan Sario masing-masing 9 dan 8 bulan penjara. Keduanya ini terbukti memukul Rohamid. ''Perbuatan terdakwa tak hanya menimbulkan keresahan, tapi juga melecehkan aparat,'' kata Ketua Majelis Hakim, H. Soemantri. Padahal, Sudarna, 34 tahun, yang juga paman Abdul Manan, didakwa menghabisi Sri Ayem. Di persidangan, Sudarna mengaku sama sekali tak berniat seburuk itu. ''Itu semata-mata karena panik dan punggung saya sakit akibat tertembak,'' katanya. Dalam keadaan panik, Sudarna melihat polisi. Ia mengira polisi itu, yang tak lain Sri Ayem, yang menembaknya. Dikejarnya polisi berbadan gemuk itu. Begitu Sri Ayem terjerembab, Sudarna menancapkan alit pena (bambu berujung tajam) ke paha Sri Ayem. Tindakan itu diikuti dua anak buah Abdul Manan yang lain. Hakim rupanya sependapat dengan Sudarna, hingga hukuman yang diterima Sudarna hanya 9 bulan. Masih ada empat vonis lagi yang akan turun. Diperkirakan tak akan berat, karena Hakim tak memakai UU Subersif, seperti yang diduga banyak orang. Untunglah. Cuma saja, dari serentetan persidangan kasus Haur Koneng, kronologis peristiwa itu tak terungkap. Misalnya, soal latar belakang pemukulan Kepala Dusun Rohamid. Hakim pun tak ''mengejar''. Bahkan dalam persidangan Sudarna, terjadi hal ''aneh''. Ketika Sudarna menceritakan ada sepasukan tentara menyerbu, esok hari setelah Sri Ayem tewas, Hakim Soemantri langsung memotong, ''Kami hanya memeriksa sekitar tuduhan membunuh Sri Ayem. Bagaimana petugas menyerang setelah itu, bukan wewenang kami memeriksa.'' Padahal, tindakan petugas itu sempat disesalkan banyak pihak. Happy Sulistyadi dan Taufik Abriansyah (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini