Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Batal ebta karena agama

Elizabeth rini subiyarti, murid sman 83 jakarta, tak dapat mengikuti ebta karena pindah agama dari kristen pantekosta ke islam. rini bisa mengikuti ujian persamaan setelah orang tuanya menyetujui.

29 April 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG siswi SMA Negeri 83, Jakarta, tidak dapat mengikuti Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) yang berlangsung dua pekan lalu. Berbekal surat pengantar dari kepala sekolahnya, Elizabeth Rini Subiyarti, 18 tahun, siswi itu, Kamis pekan lalu mengurus permohonan ke Kanwil Departemen P dan K DKI Jakarta untuk bisa mengikuti ujian persamaan. Ini berawal dari soal pindah agama. Semula Rini penganut Kristen Pantekosta, agama yang dipeluk keluarganya. Agustus tahun lalu, Rini menyatakan diri masuk Islam. Ia mengganti namanya menjadi Rini Amalia. Di rumah ia mengenakan jilbab, di sekolah tidak. Awal tahun ini, Rini mengenakan jilbab ke sekolah. Karena hal itu menyimpang dari peraturan seragam sekolah, Kepala SMA 83 A. Loewiyono memanggil orangtua Rini ke sekolah dengan surat bertanggal 23 Januari 1989. Namun kemudian, seperti dikatakan Loewiyono, jilbab tidak terlalu dipersoalkan. Yang jadi masalah besar adalah agama apa yang mesti diajarkan kepada Rini di sekolah, mengingat sebelumnya ia tercatat sebagai pemeluk Kristen dan mengikuti pelajaran agama Kristen. Itu sebabnya, Loewiyono terus-menerus memanggil orangtua Rini. Pada panggilan ketiga kalinya (terakhir), Nyonya Yacob Suradi, ibu Rini, datang ke sekolah yang berlokasi di Tanjungpriok itu. "Saya panggil ibunya agar memberi izin anaknya pindah agama. Ternyata, tak direstui. Malah di depan saya, mereka berdua ribut soal kepindahan agama itu," kata Loewiyono. "Jadi, saya minta agar masalah yang prinsipiil itu diselesaikan dulu." Loewiyono bersikeras meminta agar orangtua Rini membuat pernyataan yang isinya memberi izin anaknya pindah agama. Sebab, kata Loewiyono, anak itu masih ada di bawah tanggung jawab orangtuanya. Orangtua Rini rupanya tetap menghendaki anaknya itu mengikuti pelajaran agama Kristen di sekolah. Akhirnya, lewat surat tanggal 31 Januari, Loewiyono memberitahukan kepada orangtua Rini, "terhitung mulai 1 Februari kami kembalikan anak itu kepada Saudara sehubungan tidak mau mengikuti agama Kristen seperti yang Saudara kehendaki." Sejak itulah Rini tak bisa menginjakkan kaki di sekolahnya. Dan puncaknya adalah ketika namanya dicoret sebagai peserta EBTA nomor 8385 di SMA 83. EBTA itu sendiri sudah berlangsung dua pekan lalu. Pada hari kedua EBTA (13 April) Rini dan ibunya datang ke sekolah. Nyonya Yacob menyatakan kesediaannya membuat surat pernyataan tidak keberatan anaknya masuk Islam. "Saya sudah bisa memahami keyakinan anak saya," kata Nyonya Yacob kepada TEMPO. "Soalnya, eyang saya juga Isam." Tapi terlambat, EBTA sudah berlangsung. Loewiyono mengajukan dua alternatif, ikut EBTA tahun depan atau mengikuti ujian persamaan. Dipilih ujian persamaan dan surat pengantar ke Kakanwil P dan K DKI pun dibuatkan Loewiyono. Agaknya, permohonan Rini untuk ini tak ada halangan. Kepala Bidang Pendidikan Menengah Umum Kanwil P dan K, Nyonya Atika Pribadi, sudah memberi lampu hijau. Kepala Kanwil P dan K DKI, Soegijo, menyebutkan upaya mengikuti ujian persamaan itu sebagai jalan keluar yang apik. Karena menurut peraturan, katanya, yang menentukan siswa mengikuti pelajaran agama tertentu adalah orangtuanya. Soalnya, "Kalau tidak ada legalitas seperti itu, kan sekolah bisa-bisa disalahkan pihak orangtua," katanya. Persoalannya, apakah agama murid-murid sampai tingkat sekolah menengah harus ditentukan orangtuanya. Bagaimana pula halnya dengan nasib Rini? Menurut Ketua MUI K.H. Hasan Basri, tidak ada peraturan tentang perlunya sedrang anak minta izin pada orangtuanya untuk berpindah agama. "Kalau orangtuanya Kristen, tentunya akan sulit mengiyakan anaknya masuk agama lain," kata Hasan Basri. "Jangan sampai anak itu dirugikan sehingga tak bisa sekolah."Agus Basri dan Ahmadie Thaha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum