Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komunitas Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan Cigugur berencana melakukan pelaporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka akan meminta KPK menelisik dugaan korupsi dalam penerbitan sertifikat hak milik pribadi di atas lahan adat Leuwung Letik, di Kuningan, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“KPK mesti memeriksa data fakta atas terbitnya sertifikat hak milik tersebut,” kata kuasa hukum komunitas adat, Shinta Sintia Dewi, saat dihubungi, Jumat, 18 September 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sertifikat hak milik yang dimaksud Santi bernomor 01673 atas nama R Djaka Rumantaka. Sertifikat yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kuningan itu merujuk pada tanah seluas 6.827 meter persegi di kawasan Cigugur, Kuningan yang biasa disebut Leuwung Letik. Santi mengatakan tanah tersebut berstatus tanah adat, sehingga seharusnya tidak bisa diterbitkan sertifikat. “Masyarakat menjaganya sebagai mandat Manuskrip Pangeran Madrais,” kata dia.
Santi mengatakan penerbitan sertifikat itu juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 18 Tahun 2019 tentang tata cara penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Adat. Dia mengatakan aturan itu menyebutkan bahwa tanah adat adalah hak kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat komunal untuk menguasai, mengelola atau memanfaatkan.
Selain itu, menurut Santi, penerbitan sertifikat hak milik itu juga menyalahi Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa tanah yang berlokasi di Blok Lumbu, Kelurahan Cigugur itu sebagai kawasan resapan air dan tanah. Alih fungsi lahan, kata dia, dikhawatirkan akan merusak lingkungan.
Sebelumnya, warga Sunda Wiwitan telah menggugat penerbitan sertifikat tanah atas nama R. Djaka Rumantaka itu ke Pengadilan Tata Usaha Milik Negara Bandung. Mereka meminta pengadilan menyatakan penerbitan sertifikat tanah itu tidak sah.