Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH bukan rahasia lagi bahwa Bank Indonesia (BI), sebagai bank sentral, menjadi sumber korupsi. Masyarakat tentu sulit melupakan salah satu kasus besar di BI, yakni skandal bantuan likuiditas BI (BLBI) senilai hampir Rp 140 triliun. Sungguh, nilai kerugian negara sebesar itu keterlaluan. Ternyata, belum lagi kekesalan orang terhadap kasus BLBI terobati, kini dua anak perusahaan BI, yakni NV Indover Bank di Amsterdam dan Hong Kong, dikabarkan telah pula dibobol senilai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 8 triliun berdasarkan kurs Rp 8.000 per dolar AS.
Kasus korupsi yang terjadi antara tahun 1995 dan 1998 itu diselidiki Kejaksaan Agung sejak Juli 2000. Meski proses perkaranya sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan, entah kenapa Kejaksaan Agung masih sungkan untuk menyebutkan identitas tersangkanya. Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung, Yushar Yahya, hanya menyatakan bahwa dua tersangka adalah mantan Presiden Direktur Bank Indover di Amsterdam dan bekas Presiden Direktur Indover Asia Limited di Hong Kong.
Selain kedua tersangka bekas pejabat Indover itu, namanya kasus penyalahgunaan kekuasaan, tentu masih ada lagi beberapa tersangka lainnya. Itu sebabnya Kejaksaan Agung juga akan memeriksa beberapa pejabat BI di Jakarta yang diduga terlibat. ''Bukti-bukti menunjukkan adanya perintah dari Jakarta (maksudnya BI)," kata Yushar Yahya.
Modus korupsi yang terjadi di Bank Indover di Amsterdam dan Hong Kong antara lain dengan memanipulasi penyaluran dana ke beberapa pengusaha lokal. Contohnya, tersangka membeli medium term notes, promissory notes, dan memberikan kredit senilai US$ 7 juta kepada sebuah perusahaan di Belanda. Semua ''bisnis" itu dilakukan tanpa persetujuan Credit Internal Committee, sebagai forum yang seharusnya memutuskan pengucuran kredit.
Bentuk penyimpangan lain, tersangka menyetujui penyaluran kredit untuk pengembangan kawasan timur Indonesia ke beberapa perusahaan. Meski penyimpangan itu gara-gara adanya intervensi dari direksi BI, tetap tersangka yang menjadi pimpinan Bank Indover di Amsterdam dianggap mengabaikan aspek kehati-hatian.
Boleh jadi pembobolan besar-besaran itu terjadi lantaran di Bank Indover di Amsterdam dan Hong Kong tersedia dana segar yang menggiurkan. Sementara itu, pengawasan dari induk mereka, BI, yang juga digerogoti korupsi, sama sekali tak berjalan.
Dana yang bocor di kedua anak perusahaan itu awalnya berupa dana valas senilai Rp 7,93 triliun. Dana itu ditempatkan BI di situ sebagai dana jaminan. Berdasarkan hukum di negara tempat Indover berada, misalnya Belanda, BI memang diharuskan menyetor sejumlah dana jaminan. Dulunya BI mewarisi Bank Indover dari pemerintah kolonial Belanda.
Belakangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencium kebocoran di Bank Indover. Usut punya usut, ternyata dana sejumlah US$ 4 juta telah dikreditkan ke PT Bangun Mustika Inti Persada, sebesar US$ 4 juta lainnya mengalir ke PT Tasindo, dan sejumlah US$ 10 juta menggelontor ke Kaltimex Jaya. Sisanya masih belum jelas.
Dari hasil pengusutan awal, BPK menaksir telah terjadi kerugian negara sekitar Rp 8 triliun di kedua anak perusahaan BI tersebut. Itu berarti hampir semua dana valas di brankas Indover ludes.
Tentu saja korupsi gila-gilaan di kedua bank itu tak bisa lepas dari tanggung jawab BI, bahkan bisa dikatakan pula sebagai bagian dari kebobrokan BI. Kendati dengan berat hati, Deputi Senior BI Anwar Nasution, yang kini melaksanakan tugas sehari-hari sebagai Gubernur BI karena Gubernur BI Syahril Sabirin masih ditahan di Kejaksaan Agung akibat kasus Bank Bali, mengakui hal tersebut.
''Sejak dulu saya sudah mengatakan bahwa BI ini sarang penyamun. Jadi, memang harus dibereskan," kata Anwar Nasution. Anwar juga mengakui, akibat kebocoran besar itu kini Bank Indover sempoyongan. Tak mengherankan bila BI berancang-ancang untuk menutupnya.
Diperkirakan, pada akhir tahun 2000 BI akan menjual kedua anak perusahaannya itu kepada investor asing. Sebab, ya, itu tadi, kedua bank itu nyaris bangkrut. Ibarat mobil, kedua bank itu sudah berkali-kali masuk jurang dan peat-peot. Tak ada lagi yang bisa dilakukan selain melegonya ke pasar, meski dengan harga rugi sekalipun. ''Yang penting lakulah," ucap Anwar Nasution. Entah bisa kesampaian atau tidak niat itu.
Kelik M.N., Wenseslaus Manggut, dan Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo