Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Duta Besar Amerika Serikat (Dubes AS) untuk Indonesia, Kamala Shirin Lakhdhir, angkat bicara soal pernyataan bersama atau joint statement antara Indonesia dan Cina mengenai joint development atau pengembangan bersama yang membahas soal wilayah-wilayah tumpang-tindih (areas of overlapping claims) di Laut Cina Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamala mengatakan bahwa AS mendukung Indonesia dan negara-negara tetangganya agar menyikapi Laut Cina Selatan berdasarkan hukum internasional yang tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau UNCLOS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Diskusi-diskusi ini, harus berada dalam kerangka hukum internasional UNCLOS," kata Kamala saat menggelar konferensi pers di kantor Kedutaan Besar AS untuk Indonesia di Jakarta Pusat pada Rabu, 20 November 2024.
Kamala menuturkan bahwa komitmen itu juga dibahas dalam pertemuan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden AS Joe Biden di Washington DC pada Selasa, 12 November lalu. Dia menyebut Biden bersama pejabat senior lain berkomitmen kepada Indonesia untuk mendukung Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
"Dan, kami mendukung kedaulatan Indonesia atas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif)-nya," ujar Kamala.
Sebelumnya, kunjungan luar negeri perdana Prabowo langsung ke Cina pada 9 November lalu menuai kegaduhan. Sebab, kalangan pakar hukum internasional dan hubungan internasional menganggap pernyataan bersama Presiden Prabowo dan Presiden Cina Xi Jinping sebagai kemunduran dalam diplomasi Indonesia di Laut Cina Selatan.
Dalam butir 9 pernyataan bersama itu, Indonesia-Cina mencapai kesepahaman penting untuk menjalani pengembangan bersama di wilayah-wilayah tumpang-tindih.
Dilansir dari Koran Tempo, guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, mempertanyakan wilayah tumpang tindih tersebut.
Dia menduga kawasan itu adalah perairan di timur laut Kepulauan Natuna, lokasi persinggungan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan sembilan garis putus atau nine dash line Cina. Perairan itu dikenal dengan Laut Natuna Utara.
"Jika benar, berarti kebijakan luar negeri Indonesia ihwal sembilan garis putus berubah drastis, fundamental, dan berdampak pada geopolitik kawasan," ujar Hikmahanto kepada Tempo pada Selasa, 12 November 2024.
Cina mengaku sebagai penguasa sekitar 90 persen Laut Cina Selatan. Klaim itu pertama kali dikemukakan pada 1948 lewat penggambaran sebelas garis putus di peta mereka yang menjorok jauh hingga mendekati Vietnam di timur, Filipina di barat, serta Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam di selatan.
Seiring berjalannya waktu, jumlah garisnya berubah-ubah. Bisa sembilan, sepuluh, atau sebelas. Namun masyarakat internasional lebih mengenalnya sebagai nine dash line.
Batas wilayah perairan tersebut merupakan klaim sepihak berdasarkan lokasi penangkapan ikan tradisional Cina. UNCLOS—Indonesia dan Cina termasuk di antara 168 pesertanya—tidak mengakuinya. Pada 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional menyatakan klaim tersebut tidak memiliki dasar dalam hukum internasional.
Reza Maulana ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.