Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Kabul -Afghanistan diguncang gempa kuat bermagnitudo 6.1 pada Rabu dini hari, 22 Juni 2022. Lebih dari 1.000 orang dikabarkan tewas dan 1.500 korban terluka. Sebagian besar kematian yang dikonfirmasi berada di Provinsi Paktika, di mana 100 orang tewas dan 610 terluka, kata kepala otoritas manajemen bencana pemerintahan Taliban, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Departemen Meteorologi Pakistan mengungkapkan, pusat gempa berada di provinsi Paktika sekitar 50 kilometer barat daya kota Khost.
Getaran gempa Afghanistan terasa hingga 375 kilometer yang menjangkau ibu kota Pakistan, Islamabad. Gempa dirasakan lebih dari 500 kilometer oleh sekitar 119 juta orang di Pakistan, Afghanistan, dan India, kata Pusat Seismologi Mediterania Eropa (EMSC) lewat cuitan di Twitter.
Apa Penyebab Gempa Afghanistan?
Mengutip Web DW, Afghanistan rawan gempa karena terletak di wilayah pegunungan Hindu Kush, yang merupakan bagian dari sabuk Alpide. Ini merupakan wilayah paling aktif kedua secara seismik di dunia setelah Cincin Api Pasifik. Sabuk Alpide membentang sekitar 15 ribu kilometer, dari bagian selatan Eurasia melalui Himalaya dan ke Atlantik. Wilayah seismik aktif ini mencakup sejumlah pegunungan, seperti Pegunungan Alpen, Pegunungan Atlas dan Pegunungan Kaukasus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, kerak bumi sangat labil di Afghanistan karena di sana lempeng tektonik Arab, India, dan Eurasia bertemu. Kerak bumi terdiri dari 15 lempeng tektonik, yang menciptakan gempa bumi ketika bergeser satu sama lain di perbatasan. Batas antara lempeng India dan Eurasia ini terdapat di dekat perbatasan Afghanistan dengan Pakistan. Dikutip dari Al Jazeera, Pegunungan Afghanistan dan wilayah Asia Selatan yang lebih luas di sepanjang pegunungan Hindu Kush telah lama rentan terhadap gempa bumi yang menghancurkan.
Pada 2015, gempa bumi besar yang melanda timur laut negara itu menewaskan lebih dari 200 orang di Afghanistan dan negara tetangga Pakistan Utara.
Pada 25 Maret 2002, serangkaian gempa bumi berkekuatan hingga 6,1 menghancurkan beberapa kota di wilayah Hindu Kush di Afghanistan. Pada tahun 1998, gempa bumi berkekuatan 6,1 dan getaran berikutnya di timur laut terpencil Afghanistan menewaskan sedikitnya 4.500 orang. Daerah pegunungan ini sering dilanda gempa bumi, dengan kira-kira lima gempa berkekuatan 5,0 atau lebih besar terjadi setiap tahun, seperti dikutip dari laman earthobservatory.nasa.gov.
Gempa bumi pada Rabu, 22 Juni 2022 terbentuk ketika lempeng India menumbuk dengan keras lempeng Eurasia. Tabrakan ini mengguncang dan mendorong tanah ke atas. Tumbukan lempeng tektonik ini dapat menyebabkan Pegunungan Himalaya semakin tinggi. Tercatat, hingga kini pegunungan Himalaya masih terus meninggi sekitar satu sentimeter setiap tahun.
Pegunungan Hindu Kush memiliki jumlah gempa bumi yang signifikan setiap tahun. Kendati begitu, sebenarnya pegunungan ini tidak secara langsung berada di garis patahan. Hal ini membuat para ilmuwan bingung. Faktanya, jarak pegunungan bermil-mil jauhnya dari zona lempeng tektonik Eurasia dan India bertabrakan.
Melansir dari National Geographic, tetapi ahli geologi tidak memiliki pemantauan seismik yang terperinci dari rentang Hindu Kush karena letaknya yang terpencil dan dekat dengan konflik, sehingga sulit untuk memahami kekuatan di balik gempa di sana. “Ini memalukan,” kata ahli geofisika di Universitas Stanford Greg Beroza. “Kami tidak memiliki banyak data di bagian dunia itu.”
Lebih rumit lagi, U.S. Geological Survey (USGS) mengatakan gempa di wilayah ini biasanya terjadi 210 kilometer di bawah tanah. Gempa dalam seperti ini masih menjadi misteri bagi para peneliti. Sebagian besar gempa bumi disebabkan oleh lempeng tektonik yang saling bergesek, tetapi para ilmuwan tidak yakin apa yang menyebabkannya gempa terjadi pada kedalaman ratusan kilometer.
Menurut Beroza, percobaan laboratorium yang meniru tekanan pada kedalaman seperti itu menunjukkan bahwa batu “seharusnya berubah bentuk seperti Silly Putty,” tidak pecah cukup cepat untuk menghasilkan gelombang seismik.
Para peneliti menduga bahwa batuan jauh di dalam patahan secara kimiawi “mengatur ulang diri” menjadi bentuk yang lebih padat untuk menahan tekanan yang luar biasa dengan lebih baik. Dalam prosesnya, batuan dapat mengeluarkan air. “Yang dapat bertindak seperti pelumas untuk patahan dan akhirnya memicu gempa bumi,” kata Beroza ihwal kasus gempa Afghanistan.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca juga : Menlu Retno Suarakan Pentingnya Hak Perempuan Afghanistan