Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Inspektur Polisi Malaysia mengaku diperintahkan Najib Razak untuk membunuh Altantuya Sharibuu, seorang model Mongolia, karena dia disebut Najib sebagai mata-mata asing yang berbahaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Kepala Inspektur Azilah Hadri mengklaim bahwa Najib, yang saat iu menjabat wakil perdana menteri dan juga menteri pertahanan pada tahun 2006, bertemu dengannya dan telah memerintahkan dia untuk "menembak mati" Altantuya karena dia adalah "mata-mata asing yang berbahaya".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilaporkan The Star, 16 Desember 2019, Azilah mengatakan ini sebagai deklarasi hukum (SD) ketika mengajukan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Federal setelah vonis hukuman mati yang dikenakan padanya dan Kopral Sirul Azhar Umar, yang juga mantan komando polisi, pada tahun 2001.
SD, yang pertama kali diungkapkan oleh Malaysiakini, diajukan pada 17 Oktober sebagai bagian dari permohonannya mencari tinjauan Pengadilan Federal.
Dia juga mencari pengadilan ulang untuk memberikan bukti penuh tentang operasi pembunuhan tersebut di pengadilan terbuka.
Pengadilan telah menetapkan Selasa, 17 Desember, untuk meninjau ulang kasus.
Dalam dokumen SD-nya Azilah merinci bagaimana ajudan Najib Razak, Musa Safri, membawa Azilah ke Najib ketika ia bertugas di kediaman Sri Kenangan di Pekan sebagai petugas dengan Unit Aksi Khusus (UTK) Bukit Aman.
"Musa membawa saya untuk melihat DPM (Najib) di ruang kantor di kediaman Sri Kenangan di Pekan, setelah itu ia meninggalkan ruangan. DPM bertanya kepada saya apakah saya tahu ada polisi di kantor polisi Brickfields, yang saya jawab dengan tegas.
"DPM kemudian memberi tahu saya bahwa mata-mata asing berada di Kuala Lumpur dan berusaha mengancam DPM dan petugas khusus yang dikenal sebagai (Abdul) Razak Baginda.
"Saya diberi tahu bahwa mata-mata asing itu adalah seorang perempuan dan sangat berbahaya karena banyak rahasia yang dia ketahui tentang keamanan nasional.
"DPM menginstruksikan saya untuk melakukan operasi rahasia ketika saya kembali ke Kuala Lumpur nanti, tulis Azilah dalam pengakuannya yang diterbitkan Malaysiakini.
Menanggapi ini, Najib menepis tuduhan dan mengatakan klaim itu palsu.
Pengadilan Australia menolak permohonan suaka yang diajukan Sirul Azhar Umar, satu dari dua terduga pembunuh model asal Mongolia Altantuya Shaariibuu. Pengadilan Australia meyakinkan putusan ini tidak bersifat politik. Sumber: Reuters/malaymail.com
Pada 2015, Pengadilan Federal menghukum dua mantan personil UTK Azilah dan Sirul karena membunuh Altantuya.
Hakim Suriyadi Halim Omar, yang membaca putusan itu, memutuskan bahwa penuntutan telah membuktikan kasusnya terhadap kedua terdakwa tanpa keraguan.
Pada tanggal 23 Agustus 2013, Pengadilan Banding membatalkan keputusan Pengadilan Tinggi Shah Alam untuk menghukum kedua orang tersebut, sehingga tidak menggunakan mereka dari tiang gantungan.
Panel yang diketuai oleh Hakim Agung Mohamed Apandi Ali, dalam putusan pengadilan setebal 47 halaman menyatakan bahwa bukti tidak langsung yang diajukan oleh jaksa tidak cukup dan bahwa kesalahan dua orang itu belum terbukti.
Pada tahun 2009, Azhar dan Sirul dihukum dan dihukum mati oleh Pengadilan Tinggi Shah Alam karena membunuh perempuan Mongolia di Mukim Bukit Raja, Klang, antara pukul 22.00 pada 19 Oktober 2006, dan pukul 1.00 pada 20 Oktober 2006.
Mantan analis politik Abdul Razak Baginda, yang bersama-sama didakwa bersama mereka, dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi pada 31 Oktober 2008, setelah penuntutan gagal membuat kasus prima facie terhadapnya.
Jaksa tidak mengajukan banding atas pembebasannya.
Penerjemah berusia 28 tahun itu ditembak di kepala oleh pengawal elit Perdana Menteri Najib Razak saat dia mengatakan mengandung anak hubungan gelap dengan Najib Razak.
Dikabarkan Altantuya meminta US$ 500.000 atau Rp 6,9 miliar kepada Razak sebelum dibunuh dan dibawa ke mobil oleh Inspektur Kepala Azilah Hadri dan Kopral Sirul Azhar Umar, kemudian tubuhnya diledakan dengan bom C4 di hutan.
Namun Altantuya dibunuh bukan hanya karena hubungan gelapnya dengan Najib Razak. Altantuya ikut Najib Razak saat kunjungan ke Paris untuk bertemu dengan pejabat DCNS, perusahaan senjata Prancis, untuk kesepakatan pembelian dua kapal selam Scorpene dari anak perusahaan DCN, Thales. Dalam pertemuan ini Altantuya berperan sebagai penerjemah, menurut dokumen yang diperoleh Asian Sentinel pada 2012.
Dari kesepakatan ini UMNO mendapat US$ 141 juta atau Rp 1,9 triliun untuk pembelian kapal selam. Ironisnya, kapal selam tidak dapat beroperasi di perairan dangkal Semenanjung Malaysia, dan akhirnya ditempatkan di Malaysia Timur.
Altantuya diyakini tahu banyak soal US$ 141 juta untuk UMNO dan telah dijanjikan Najib Razak US$ 500.000 atau Rp 6,9 miliar sebagai komisi untuk membantu transaksi kapal selam.