Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang jurnalis veteran Filipina yang membantu kantor berita internasional secara ekstensif meliput perang berdarah pemerintahan Presiden Duterte terhadap narkoba, tewas ditembak Rabu malam, 8 Desember 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua orang tak dikenal menembak Jesus Malabanan, seorang reporter Manila Standard dan Bandera, yang juga bekerja sebagai stringer kantor berita Reuters, sekitar pukul 18:30, ketika dia berada di toko keluarga di kota Calbayog, kata istrinya Mila dan polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami sedang menonton televisi ketika sebuah tembakan terdengar dari jarak dekat. Saya tidak melihat pria bersenjata itu karena hari sudah gelap,” kata Mila seperti dikutip dari rekan-rekannya oleh barrons.com, Kamis, 9 Desember 2021.
Polisi mengatakan Malabanan segera dibawa ke rumah sakit tetapi dinyatakan meninggal pada saat kedatangan. Dia meninggal seketika setelah ditembak di kepala, kata istrinya.
Malabanan “ditembak dari luar oleh dua tersangka tak dikenal dengan menggunakan senjata api kaliber yang belum diketahui,” kata polisi setempat.
Joel Sy Egco, direktur eksekutif Satuan Tugas Presiden untuk Keamanan Media (PTFoMS) dan mantan rekan Malabanan, mengatakan pembunuhan jurnalis itu sedang diselidiki dan perburuan para tersangka sedang berlangsung.
“Dia tidak memiliki musuh [di Calbayog] karena pekerjaan medianya,” kata Egco kepada BenarNews, dan menambahkan bahwa gugus tugas telah berhubungan dengan teman Malabanan.
PTFoMs adalah lembaga pemerintah yang melacak pembunuhan anggota media. Satgas khusus tersebut meliputi polisi dan penyidik pemerintah.
Manny Mogato, mantan koresponden Reuters yang merupakan bagian dari tim yang memenangkan Hadiah Pulitzer pada tahun 2018 karena melaporkan perang kekerasan Presiden Rodrigo Duterte terhadap obat-obatan terlarang, mengatakan bahwa kantor berita telah membantu Malabanan pindah ke Calbayog di provinsi Samar dari provinsi Pampanga di utara setelah dia menerima ancaman.
Mogato tidak merinci dengan apa Malabanan diancam dan apakah itu terkait dengan pemberitaannya tentang perang narkoba.
“Jes banyak membantu Reuters dalam kisah perang narkoba yang memenangkan Pulitzer pada 2018,” kata Mogato di Facebook.
“Reuters membantunya bersembunyi selama berbulan-bulan di Samar ketika dia diancam di San Fernando, Pampanga.”
Malabanan sudah lama membantu Reuters dan reporter yang gigih melawan kekerasan terhadap wartawan pada 1980-an, kata Mogato.
“[Dia] membantu saya dengan cerita di Pampanga ketika saya menjadi koresponden politik Reuters selama 15 tahun sejak 2003 [dan seterusnya],” katanya.
Klub Pers Pampanga, tempat Malabanan menjadi anggota, mengutuk pembunuhannya.
"Kami meminta Polisi Nasional Filipina dan pihak berwenang lainnya untuk membantu penyelidikan segera yang akan mengarah pada penangkapan para pelaku tindakan pengecut ini demi kepentingan keadilan," kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.
Berikutnya: Sudah 22 wartawan tewas di era Presiden Duterte
Jika pembunuhan Malabanan terbukti terkait dengan pekerjaannya, dia akan menjadi jurnalis ke-22 yang dibunuh di Filipina sejak Duterte menjadi presiden pada 2016, kata Persatuan Jurnalis Nasional Filipina.
Pada bulan Oktober, seorang reporter bernama Orlando Dinoy tewas setelah dia ditembak enam kali oleh seorang tak dikenal yang memasuki rumahnya di Filipina selatan.
Sejak 1992, 87 orang media telah dibunuh di negara itu karena pekerjaan mereka, menurut Komite Perlindungan Jurnalis.
Duterte dan pers Filipina jarang akur dan banyak pihak mengatakan presiden menindak media yang mengkritik tindakan dan taktik perangnya melawan narkoba.
Presiden Duterte pernah memperingatkan wartawan dengan mengatakan bahwa "hanya karena Anda seorang jurnalis, Anda tidak dibebaskan dari pembunuhan."
Sekutu Duterte di Kongres tahun lalu memilih untuk menutup jaringan televisi ABS-CBN Corp.
Wartawan Maria Ressa, kepala situs berita online Rappler, dihukum karena pencemaran nama baik dunia maya, tetapi tetap bebas sambil menunggu banding. Ressa memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini dan sekarang berada di Norwegia untuk menerima penghargaannya.