Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Nabila Aulia Hasrie, salah seorang warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di New York, mengungkap dampak sosial dari kebijakan pengetatan imigrasi yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Mahasiswi Columbia University itu menyebut kebijakan keimigrasian tersebut memicu rasisme di AS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kebijakan Trump ini meningkatkan sentimen negatif serta stigma bermotif rasial terhadap kelompok etnis minoritas," kata Nabila saat dihubungi Tempo melalui aplikasi WhatsApp pada Senin, 17 Februari 2025. Dia menilai Trump sangat serius dalam menegakan hukum imigrasi di AS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan berusia 21 itu menuturkan bahwa pendatang yang berciri fisik minoritas menjadi sasaran rasisme akibat kebijakan imigrasi yang ketat ini.
"Orang-orang yang dari fisiknya tidak terlihat seperti orang Amerika akan menjadi sasaran empuk bagi warga lokal, terutama kelompok kulit putih," ujarnya.
Mahasiswi program studi Asia Tenggara itu bahkan mengungkap rasisme ini juga berpotensi menyasar dunia kampus. "WNI di AS, yang bahkan statusnya mahasiswa atau pelajar dengan status imigrasi yang jelas, jadi lebih rentan atas sentimen negatif warga negara AS," tuturnya.
Lebih lanjut, Nabila bercerita bahwa masih banyak WNI yang tinggal di New York sampai saat ini. Menurut dia, WNI yang sudah memiliki izin tinggal legal cenderung tak khawatir atas kebijakan Trump.
Sebaliknya, Nabila memperingatkan agar WNI yang tak memiliki dokumen resmi untuk waspada terhadap pemeriksaan Immigration and Customs Enforcement's (ICE). "Mereka tidak pandang bulu dalam menangkap pekerja migran ilegal," ucapnya.
Mahasiswi program studi Asia Tenggara itu juga mengungkap bahwa imigran yang paling banyak ditangkap oleh ICE merupakan orang Latino dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Tak sampai di situ, Nabila mengatakan bahwa perwakilan RI di AS juga telah mengingatkan agar para WNI membawa kartu identitas ke mana pun mereka pergi.
Sebelumnya, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri (PWNI Kemlu) Judha Nugraha mengungkap sebanyak 4.276 WNI di Amerika Serikat masuk ke dalam daftar final order of removal. Perintah ini menandakan seorang pendatang tidak memiliki izin legal untuk tinggal di suatu negara sehingga harus dideportasi.
"Berdasarkan informasi yang diterima perwakilan RI per 24 November 2024, ada 4.276 WNI yang tercatat dalam final order of removal," kata Judha saat menggelar konferensi pers di kantor Kemlu, Jakarta Pusat, pada Kamis, 13 Februari 2025.
Adapun final order of removal dapat diterbitkan suatu negara karena beberapa alasan, misalnya pelanggaran hukum imigrasi, adanya catatan kriminal, hingga status legal yang telah kedaluwarsa. Perintah ini mengisyaratkan pejabat imigrasi untuk menegakkan deportasi terhadap orang yang bersangkutan.
Judha menjelaskan sebanyak 4.276 orang itu merupakan WNI yang tidak memiliki dokumen keimigrasian yang sah dan masih berstatus belum dihukum. Dia juga menyebut 4.276 WNI tersebut merupakan bagian dari total 1,4 juta imigran yang turut masuk ke dalam daftar final order removal.
Sebagai contoh, Judha menyinggung kasus WNI berinisial BK di New York yang ditangkap pada 28 Januari lalu saat sedang melakukan pelaporan tahunan di kantor Immigration and Custom Enforcement (ICE). BK masuk ke dalam daftar deportasi sejak 2009.
Selain BK, ada pula WNI yang ditangkap di Atlanta, Georgia, pada 29 Januari berinisial TRN. "Saat ini hanya dua WNI yang kami dapat informasi ditahan. Kami akan terus monitor," ujarnya.
Judha juga mengingatkan WNI bisa melapor ke perwakilan RI di AS jika terjadi kasus penangkapan. Dia meminta WNI dapat memahami hak-hak yang mereka miliki dalam sistem hukum Amerika Serikat. Judha juga menegaskan bahwa perwakilan RI di AS akan memberikan pendampingan hukum yang diperlukan.