Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penyair Chairil Anwar berusia satu abad tahun ini.
Chairil Anwar meninggalkan jejak panjang dalam membentuk puisi Indonesia modern.
Namun modernisme acap membingungkan: bertautan dan bertentangan sekaligus dengan modernitas.
KITA perlu rayakan 100 tahun Chairil Anwar. Penyair Indonesia yang luar biasa ini lahir pada 1922, tahun yang juga disebut sebagai awal “modernisme”, perubahan besar dalam sastra di dunia—perubahan yang dua dasawarsa kemudian membentuk watak karya sastrawan kelahiran Medan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata “modernisme”—yang dipakai para kritikus dan sejarawan seni di Eropa, dipungut penelaah lain di mana-mana—memang bisa membingungkan. Makna kata itu berkaitan, tapi juga bertentangan, dengan apa yang disebut “modernitas”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dunia yang dirasuki modernitas adalah dunia di mana zaman bergerak dan perubahan meningkat cepat. Marx mengumpamakannya dengan dramatis: inilah zaman ketika apa saja yang mantap, mapan, dan mandek jadi cair, meleleh, dan menguap lenyap ke udara, “Alles Ständische und Stehende verdampft”. Tradisi, keyakinan agama, lembaga keluarga, dan tatanan sosial retak dan guncang.
Di Indonesia, kita ingat, sebelum Chairil, sebuah masa datang ketika adat dan tradisi mulai terasa mengekang—keadaan yang diungkapkan dengan nada protes dalam surat-surat Kartini dan novel Siti Nurbaya.
Pada saat yang sama, modernitas tak sepenuhnya identik dengan jalan terbuka. “Menjadi modern adalah menjalani hidup yang penuh paradoks dan kontradiksi,” tulis Marshall Berman dalam telaah sejarahnya yang terkenal itu, All That is Solid Melts into Air: The Experience of Modernity (1982).
Di satu pihak, manusia lepas dari ikatan primordial. Ia jadi penjelajah. Tapi, di lain pihak, hidupnya dibentuk kesadaran tentang waktu yang terbatas dan reguler. Pagi bukan lagi fajar menyingsing, melainkan “pukul 5”. Perjalanan bukan lagi “lama”, melainkan “sepuluh jam”. Masa depan bisa diukur dan dirancang. Kota, negara, dan perusahaan-perusahaan dibentuk; penduduk dikelola dengan administrasi dan birokrasi. Semua harus efisien.
Mungkin sebagai reaksi terhadap formula yang kaku itu, semangat “modernisme” menggeliat, lepas dari tuntutan “modernitas”. Terutama di dunia kreatif.
Dalam dunia sastra dan seni, arus “modernisme” membuat karya bisa muncul dan berakhir secara tak terduga-duga. Ketika Picasso melukis wajah perempuan menangis, yang ia tampilkan raut muka yang bak kulit pohon yang kasar berlipat-lipat. Di tahun 1922, sajak T.S. Eliot, “The Waste Land”, dimulai dengan frasa yang aneh: April is the cruellest month… sebuah kesimpulan yang berlawanan dengan konsensus orang Eropa berabad-abad, bahwa April tak kejam; ia awal musim bunga setelah dingin mencengkam bumi.
Pada 1922 pula novel James Joyce, Ulysses, menghadirkan peristiwa banal sehari-hari seperti peristiwa yang luar biasa; realitas (juga yang paling tak istimewa, juga yang jorok) dihayati secara intens, kocak, dan membuat kita betah. Dalam Ulysses waktu tak dikungkung kalkulasi.
Dengan demikian itulah modernisme melawan modernitas.
Chairil berada dalam semangat “modernis” itu. Terkenal ia memakai kiasan “binatang jalang” untuk pilihan nasib: ia makhluk yang tak dikerangkeng, Terkenal juga ia ingin terbang dalam “non-stop flight”, tanpa mendarat. Dalam sajak “Di Masjid”, Tuhan berhadapan dengan “diri yang tak bisa diperkuda”. Dalam sajak “1943”, semua urutan logis patah, yang stabil roboh, tak ada makna, sumber, hegemoni yang hanya satu dan asli.
Maka Chairil sering dilihat sebagai “asing”. Tapi ia tak peduli. Seperti T.S. Eliot yang menyelipkan tiba-tiba frasa Upanishad dalam “The Waste Land”—sebuah sajak berbahasa Inggris yang menghadirkan suasana London—Chairil juga menggunakan perumpamaan “Ahasveros”, dari dongeng keagamaan Kristen; “Thermopylae” dari sejarah heroisme Yunani Kuno; “Huesca” dari Perang Saudara Spanyol. Tanpa penjelasan. Pembaca diasumsikan seperti diri penyair: “ahli waris kebudayaan dunia”.
Beberapa tahun setelah Chairil wafat, Ajip Rosidi mengecamnya. Dalam sebuah tulisan tahun 1960, sastrawan asal Jatiwangi ini mengkritik generasi Pujangga Baru dan generasi Chairil. “Meskipun mereka masih makan nasi dan ikan asin,” tulis Ajip, “secara rohaniah tanah air mereka adalah Belanda dan Eropah.”
Dengan kata lain: Chairil tak bertanah air di sini—dan cacat. Ajip mengecamnya sebagai “tenggelam” dalam kebudayaan “internasional” yang tanpa akar....
Yang dilupakan Ajip: akar kebudayaan bercabang dan luwes. Kebudayaan selalu mengisap bermacam sumber: wayang dan keroncong pada dasarnya blasteran, dan kita, juga Ajip, tak berkeberatan.
Sementara itu, di abad ke-19, sebelum Chairil, sudah hidup seniman yang “tenggelam dalam kebudayaan internasional”. Mereka penggerak teater berbahasa Melayu yang berproduksi di alun-alun kota di Jawa di abad ke-19.
Seperti dikisahkan dengan menarik dan mendalam oleh Matthew Isaac Cohen dalam Komedie Stamboel (2006), mereka, para aktor, sutradara, dan penulis lakon Komedie Stamboel, yang dipimpin seorang Indo, mementaskan cerita seru dari Timur dan Barat (termasuk Hamlet) untuk penggemarnya. Di sana, teater blasteran ini melintasi batas etnis dan kedaerahan. Ia membentuk sebuah komunitas, sebuah “nasionalisme” yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Juga sebuah energi kreatif yang bangkit kembali tiap kali gagal.
Jika kita memperingati 100 tahun Chairil Anwar, bagi saya itu buat mengingat energi kreatif orang Indonesia yang berani untuk “tak murni asli”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo