Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUJAN dua hari dan peringatan-peringatan potensi badai sepekan ke depan semestinya tak kita anggap sebagai fenomena La Niña semata. Menganggap cuaca ekstrem hanya gejala alam membuat kita abai terhadap cara mencegah dan mengantisipasi dampak bencana. Banjir, tanah longsor, angin kencang, puting beliung, hingga abrasi di 14 kabupaten dan kota di Sulawesi Selatan telah menewaskan lima penduduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut La Niña tahun ini sebagai “triple dip” atau tiga tahun berturut-turut sejak 2021. “Triple dip” La Niña adalah siklus 23 tahun. Di Indonesia, kita pernah mengalaminya pada 1973-1975 dan 1998-2001. La Niña adalah mendinginnya suhu muka laut Samudera Pasifik yang disertai angin dari Benua Amerika. Akibatnya, awan berpindah ke Indonesia, menyebabkan curah hujan tinggi dan badai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari 3.481 kejadian bencana sepanjang 2022 yang dicatat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lebih dari sepertiganya adalah banjir dan sepertiga lagi cuaca ekstrem. Akibatnya, 851 orang meninggal, 46 hilang, dan 5,4 juta orang sakit ataupun mengungsi. Deretan angka-angka ini cukup menjadi alasan bahwa bencana tak semata karena fenomena alam.
Di mana-mana dampak bencana selalu tidak adil. Mereka yang tinggal di daerah rawan dan rentan akan merasakan dampak yang lebih buruk dibanding mereka yang jauh. Mereka yang tinggal di wilayah minim infrastruktur akan lebih menderita dibanding mereka yang tinggal dengan cukup fasilitas. Apalagi, bencana-bencana hidrometeorologi kini berpadu dengan krisis iklim.
PBB telah menetapkan penyebab terbesar krisis iklim adalah aktivitas manusia dalam menumbuhkan ekonomi untuk mencapai hasrat kemajuan. Akibatnya, produksi emisi gas rumah kaca berlebih sampai tak sanggup lagi diserap oleh ekosistem bumi yang rusak akibat cara mencapai kemajuan yang tak berkelanjutan. Indonesia, sebagai negara padat penduduk, termasuk dalam 10 produsen gas rumah kaca terbesar di dunia.
Sayangnya, pemerintah kita masih tergopoh-gopoh dalam menghadapi krisis iklim. Kebijakan-kebijakan negara tak mencerminkan kegentingan yang terlihat dari strategi menumbuhkan ekonomi dengan menimbang daya dukung dan daya tampung lingkungan. Baru 5 persen dari 541 kabupaten dan kota yang memiliki tata ruang dengan memasukkan daya dukung lingkungan.
Kebijakan tergopoh-gopoh itu pun baru menampung aksi mitigasi krisis iklim, belum menyentuh adaptasi. Padahal, selain mitigasi, adaptasi krusial sebagai bagian dari ketahanan iklim. Adaptasi perubahan iklim adalah cara menahan atau mengurangi dampak pemanasan global. Meski sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, aksi adaptasi belum tersusun hingga kebijakan daerah.
Adaptasi krisis iklim meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan dampak bencana. Semua tahapan ini mesti berbasis risiko dan peluang bencana. Untuk sampai ke sana, kita perlu data kerawanan dan kerentanan bahaya iklim. Data inilah yang akan menentukan pencegahan dan antisipasi di tiap wilayah. Tanpa data yang memadai, adaptasi iklim tak akan memiliki arah jelas.
Agaknya ini harapan yang terlalu muluk. Kita masih berkutat di hal-hal mendasar mencakup paradigma melihat krisis iklim. Kebijakan dan strategi pembangunan malah bertentangan dengan janji mitigasi iklim. Presiden Joko Widodo sibuk menyiapkan jutaan bibit pohon untuk ibu kota negara baru di Kalimantan, alih-alih mengalokasikannya untuk memulihkan hulu sungai dan hutan yang terdegradasi di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera yang rusak karena dieksploitasi terus-menerus.
Jangan sampai fenomena alam seperti La Niña dua tahun terakhir berubah menjadi fenomena buatan karena kita telat mengantisipasi dan mencegah dampak buruk bencana yang ditimbulkannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo