Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Akar Rumput

Konsepnya sudah rampung, tinggal disosialisasi ke akar rumput." Kalimat itu barangkali pernah kita dengar, kita simak, atau kita baca.

15 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konsepnya sudah rampung, tinggal disosialisasi ke akar rumput." Kalimat itu barangkali pernah kita dengar, kita simak, atau kita baca. Lazimnya, kalimat demikian kita terima melalui pernyataan para pemegang kebijakan, baik di wilayah legislatif maupun di eksekutif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menjelang pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan presiden dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kalimat semacam itu makin sering sekaligus makin nyaring kita dengar. "Program-program kami bukan janji, melainkan bukti di akar rumput," misalnya, atau, "Kami tak akan banyak berdebat, biar akar rumput saja yang menilai."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyebutan akar rumput mungkin akan terus kita dengar, kita simak, dan kita baca dalam narasi atau informasi apa pun berkaitan dengan rakyat atau masyarakat. Frasa idiomatis ini telah menjadi kesalahan yang kaprah atau kekaprahan yang salah dalam cara berbahasa kita: rakyat adalah akar rumput, dan akar rumput adalah rakyat. Begitulah, frasa idiomatis sekaligus problematis ini sangat familier dan mudah diucapkan siapa saja, terutama apabila berkaitan dengan nasib rakyat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi V, entri akar rumput bermakna "sesuatu yang lemah, yang mudah terombang-ambing; tingkat paling bawah dalam masyarakat dan sebagainya". Setiap kali saya bertemu dengan frasa idiomatis ini, baik dalam sehampar tulisan maupun saat mendengarnya diucapkan seseorang, yang melintas dalam pikiran adalah akar dan rumput.

Akar adalah bagian atau unsur terbawah dari tumbuhan, sedangkan rumput merupakan tumbuhan yang sering diinjak kaki manusia, kaki binatang, ataupun roda kendaraan. Saat itu pula akhirnya saya mafhum (sekaligus miris!): tak aneh apabila rakyat lebih sering dikerdilkan daripada diberdayakan; lebih sering disepelekan daripada dihargai, lebih sering dieksploitasi, lebih sering dikorupsi, lebih sering dikibuli; lebih sering diinjak-injak daripada dipenuhi hak-haknya.

Kemafhuman ini makin membuat saya geram ketika frasa idiomatis akar rumput terlontar dari para pemegang kebijakan atau pejabat negara, lebih-lebih media massa, sarjana, atau-mereka yang menyebut dirinya sebagai-kaum intelektual. Untuk pemegang kebijakan atau pejabat negara: dengan mengucapkan atau menulis akar rumput, Anda tampak makin mengamini tindakan atau kebijakan Anda yang lebih sering menyepelekan kepentingan rakyat serta merebut hak-haknya dengan cara melakukan korupsi atau skandal lain yang sangat merugikan rakyat dan negara. Bagi media massa, sarjana, atau kaum intelektual: dengan mengucapkan atau menulis akar rumput, itu menandakan hilangnya sikap kritis (dan semoga bukan empati).

Kesalahan yang kaprah atau kekaprahan yang salah semacam ini, misalnya, terdapat pula pada kata pemerintah. Saya lebih setuju apabila sebutan pemerintah diganti dengan pelayan rakyat atau pelayan masyarakat. Pemerintah bermakna tukang perintah atau minimal berkonotasi pada seseorang atau sekelompok orang yang status sosiokultural sekaligus mentalnya berada di atas. Ini ambigu. Bukankah mereka yang disebut pemerintah itu adalah pelayan masyarakat? Tidakkah mereka, baik yang bertugas di sektor eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, diangkat atau dipilih untuk menjadi pelayan atau pembantu rakyat? Sesungguhnya siapa yang atasan dan siapa yang bawahan? Siapa sebenarnya yang berhak memerintah: mereka atau rakyat?

Ketidakjelian dalam berbahasa atau kecerobohan dalam menggunakan kata(-kata) ini membuat kita akhirnya rabun dalam memandang tugas masing-masing: yang seharusnya diperintah justru memerintah, yang seharusnya memerintah justru diperintah. Dan, pada akhirnya, ketidakamanahan atau kesewenang-wenangan dalam menggunakan jabatan pun berlangsung, terus-menerus.

Setiap kata, setiap frasa, atau setiap idiom punya konsep, punya "ideologi". Saat kita mengucapkan satu kata, satu frasa, atau satu idiom, saat itu pula kita sedang melepas sebuah konsep tertentu pada obyek tertentu yang sedang kita bahasakan. Rakyat, atau masyarakat, akan terus diinjak-injak apabila frasa idiomatis akar rumput ini masih disematkan pada mereka.

Ahmadul Faqih Mahfudz
Pemandang budaya, tinggal di Yogyakarta

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus