Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKALI lagi, kebebasan berekspresi di Indonesia sedang diuji. Selasa pekan lalu, panitia pameran seni rupa internasional CP Biennale II menurunkan Pinkswing Park, karya instalasi karya perupa Agus Suwage. Karya itu jadi omongan karena memuat foto hampir telanjang pemain sinetron Anjasmara dan model Isabel Yahya. Dikemas dalam wujud seni instalasi untuk menyindir keterasingan warga kota, karya ini menggabungkan foto keduanya dengan lukisan Suwage plus sejumlah ornamen seperti kaca dan ayunan dari badan becak.
Adalah Front Pembela Islam (FPI) yang mempersoalkan karya ini. Kamis lalu, 200 pendukung FPI mendatangi lokasi pameran di kawasan Beos, Jakarta. Beruntung karya itu sudah dicopot, sehingga tidak terjadi perusakan. Meski sudah tak dipamerkan, FPI melaporkan Davy Linggar, fotografer gambar itu, ke polisi. Bersama Davy, diadukan juga panitia pameran, Anjasmara, dan Isabelle. Menurut mereka, foto-foto itu dibuat sengaja mengambil latar bela-kang kisah klasik Adam dan Hawa di Taman Firdaus-visualisasi yang mereka anggap melukai perasaan umat Islam. Dalam laporan kepada polisi, keempatnya dianggap melanggar KUHP tentang penghinaan agama dan pornografi.
Bahwa FPI melapor ke polisi, tentu tak ada yang salah. Polisi dan pengadilan adalah lembaga negara yang punya otoritas mengambil sikap jika terjadi sengketa antarwarga negara. Yang patut disesalkan adalah teror oleh FPI—baik berupa aksi massa maupun pernyataan yang bernada ancaman.
Perdebatan tentang ada tidaknya unsur pornografi dalam sebuah karya seni adalah sesuatu yang tak mudah diputuskan. Para penggugat menilai karya itu porno karena mempertontonkan sebagian aurat Anjas dan Isabel. Bagi Suwage dan panitia pameran, ketelanjangan keduanya bukan substansi persoalan. Sindiran tentang warga urban yang terasinglah yang jadi inti, sedangkan foto keduanya hanya menjadi ornamen penguat. Apalagi dalam foto tersebut bagian vital pasangan itu ditutup dengan bintik putih besar.
Karena itu ketakutan berlebihan panitia pameran hingga mencopot Pinkswing Park patut disesalkan. Lebih dari sekadar menghindari hal-hal yang kontraproduktif—seperti dikatakan kurator CP Biennale II, Jim Supangkat—penutupan itu lebih jauh bisa menyuburkan teror. Sekali teror diikuti, ia akan terus datang menggerus keberanian dan kreativitas.
Tak sulit membayangkan bagaimana pornografi—unsur yang tak mudah diputuskan itu—dipakai sebagai alasan melarang karya seni lainnya. Mula-mula seni instalasi, lalu lukisan, novel, sajak, komik, poster, syair lagu, dan notasi musik. Mula-mula pose setengah telanjang, lalu siluet wajah perempuan atau suara wanita yang mendayu dalam sebuah lagu pop.
Mencegah pornografi menjalar dan merusak bukan tak penting. Tapi caranya adalah dengan mengabaikannya sehingga tidak menjadi perhatian publik. Di Amerika dan banyak negara Eropa, toko seks dan majalah porno—wujud pornografi yang paling telanjang—terbukti tak punya banyak peminat. Teror dengan alasan apa pun tak bisa ditolerir. Pelarangan karya seni dalam CP Biennale II harus jadi yang terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo