Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKALI-sekali kita bicara tentang sepak bola Indonesia. Apa boleh buat, yang bisa ditulis bukan tentang prestasi yang mencorong, tapi fanatisme fans yang menjurus brutal dalam kemeriahan putaran final Liga Indonesia di Jakarta pekan lalu. Dulu hanya dikenal ada Bonek dari Surabaya. Kemudian muncul Jakmania yang mendukung Persija Jakarta, lalu S’nex yang membela PSIS Semarang, ada Aremania dari Malang, ada Slemania dari Sleman, juga ada Mac’z Man yang mendukung PSM Makassar.
Mereka tak hanya memompa semangat klub kesayangannya di lapangan, tapi juga mengikuti ke mana saja klubnya bertanding. Di sini muncul masalah. Ada kelompok fans yang terkoordinasi dengan rapi, termasuk bonek, yang tak bermasalah. Tapi ada ”bonek liar”, yang benar-benar bondho nekat (modal berani) untuk pergi ke Jakarta.
Yang bermasalah adalah yang liar, karena kebanyakan hanya membawa badan dan Rp 5.000 sampai 10.000 di saku. Ke-lompok liar dalam kompetisi kali ini bukan hanya bonek Su-rabaya, mereka pun datang dari klub lain. Kelakua-nnya juga merisaukan: mulai dari menyandera gerbong ke-reta api, melempari kaca lokomotif, menghabiskan makanan pe-dagang kecil tanpa bayar, menghadang penumpang mobil dan taksi, hingga mengompas siapa saja demi duit buat makan.
Rusuh akibat ulah fans ini bisa berkembang menjadi bentrok berbahaya, jika yang bicara adalah fanatisme daerah yang kelebihan. Dalam kasus bonek kali ini, entah sekadar spontanitas atau ada yang memberi komando, sekelompok orang yang membela Jakarta memukuli para bonek habis-habisan, karena dianggap mengotori wilayahnya.
Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Persebaya, yang peluangnya masuk final sudah tipis, untuk membatalkan pertandingan melawan Persija, dan bahkan mundur sama se-kali dari kompetisi. Sebagai juara bertahan, pengurus Per-sebaya menyerahkan Piala Presiden. Sayangnya bukan lang-sung ke PSSI, tapi melalui kelompok wartawan olahraga. Kelakuan pengurus ini bisa dianggap sama ”bonek”-nya dengan ulah bonek liar, walaupun pengurus Persebaya beralasan ingin menyelamatkan Jakarta dari kemungkin-an rusuh lebih luas.
Pengurus Persebaya sebenarnya bisa memilih alasan mundur yang lebih elegan, yaitu mengambil alih tanggung ja-wab atas bonek. Karena ingin memberikan pelajaran kepa-da bonek, Persebaya perlu mundur. Jika tak ingin melihat tim Bajul Ijo dihukum PSSI karena mundur, bonek harus me-nahan diri tidak merusuh di kampung orang.
Prinsip ini boleh dipertimbangkan klub untuk mengendalikan fansnya yang brutal. Kalau Persija Jakarta tak ingin pendukungnya menakut-nakuti fans tamunya, dengan turun memenuhi ke lapangan hijau seperti yang per-nah terjadi, Persija ”menghukum” fansnya dengan tak tampil di lapangan hijau.
Mungkin ini saatnya klub-klub di sini tak sekadar me-ng-andalkan polisi untuk menertibkan pendukungnya. Kita pas-ti tak ingin tragedi Heysel di Brussels, Belgia, pada 1985—yaitu bentrok antara kelompok juventini, pendukung Juventus, dan pendukung Liverpool, yang menewaskan 39 orang—terjadi di sini. Waktu itu UEFA, persatuan sepak bola Eropa, menghukum Liverpool sepuluh tahun tak boleh ikut kompetisi tingkat Eropa. Liverpool hanya main di kompetisi Inggris, pemainnya tetap punya penghasilan.
Persebaya dilarang ikut kompetisi nasional selama dua tahun. Hukuman ini mungkin mujarab untuk menjinak-kan bonek, tapi tak adil untuk pemain yang mencari naf-kah di sepak bola. Keputusan mundur bukan kehendak pemain, tapi instruksi pengurus. Pengurus Persebayalah yang harus dihukum.
Hukuman PSSI sudah jatuh, tapi persoalan kegilaan dan kekerasan oleh fans klub lain belum terpecahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo