Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pandemi Flu Burung: Indonesia Lara

26 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Flu burung telah mengancam Indonesia, tapi bagaimana bahaya sesungguhnya belumlah dipahami secara merata. Haruskah kita takut dan berjaga-jaga, atau masih boleh tenang-tenang saja menghadapi avian influenza ini? Senin pekan lalu, pemerintah melalui Menteri Kesehatan mengumumkan penyakit flu burung sebagai ”kejadian luar biasa” (KLB) untuk seluruh negeri. Kategori KLB flu burung ditetapkan berdasarkan tingkat penyebaran penyakit virus unggas yang bisa mengakibatkan radang paru-paru dan kematian pada manusia itu di seluruh wilayah Indonesia.

Kejadian flu burung dicurigai berjangkit di banyak daerah, baik yang dilaporkan maupun tidak. Deteksi adanya infeksi flu burung ditemukan pada unggas maupun dari laporan tentang manusia yang tertular. Dalam setahun terakhir, kejadian flu burung didapati di 139 kabupaten dan di 22 provinsi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuat penggolongan fase penularan flu burung, dan Indonesia berada pada tingkat ketiga: flu burung menular dari hewan ke manusia. Bersamaan dengan itu Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengingatkan bahwa selama masih ada hewan terjangkit flu burung, manusia akan terus terancam. Vaksinasi kekebalan untuk manusia belum ada.

Sementara para peternak unggas menganggap kasus flu burung terlalu dibesar-besarkan, korban flu burung pada manusia cukup banyak. Memang hampir tak ada karyawan peternakan yang dilaporkan tertular, dan itulah keanehannya. Korban yang tertular rata-rata bukan berasal dari atau akibat kontak dengan peternakan unggas besar. Telah empat orang yang positif meninggal akibat virus unggas sejak Juli lalu, dan sekarang 17 pasien dirawat intensif di RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso di Jakarta. Di Kalimantan dan Sulawesi juga ditemukan kasus serupa.

Bisa dibayangkan rasa frustrasi para peternak serta pemelihara ayam dan burung menghadapi keadaan ini. Para pejabat pemerintah pusat dan daerah mencoba menurunkan kekhawatiran masyarakat dengan ramai-ramai demonstrasi makan ayam goreng di depan umum. Risiko disangkal karena virus tipe A jenis H5N1 mati dalam suhu 80 derajat ketika daging atau telur dimasak. Sebaliknya ada perintah menutup Kebun Binatang Ragunan karena unggas di dalamnya dicurigai telah tertular virus. Akhir pekan lalu, ratusan ayam mendadak mati di sebuah peternakan di Bekasi, Jawa Barat. Semua berita ini tak memberikan pegangan yang pasti bagi masyarakat.

Dalam menghadapi ancaman bahaya, memang sikap terbaik adalah tidak panik. Dramatisasi persoalan tak akan memudahkan pemecahannya, tapi menangani potensi krisis dengan kebijakan sepotong-sepotong dan sikap menggampangkan juga amat berbahaya. Setelah kematian Iwan Siswara dan dua putrinya di Tangerang pada Juli lalu, pembasmian yang memenuhi syarat—memusnahkan semua unggas yang ada dalam area tertentu—tak dilakukan sebagaimana mestinya. Pelacakan sumber infeksi bahkan dihentikan, case closed kata Menteri Kesehatan waktu itu. Dengan menoleh ke belakang, hal itu bisa dianggap sebagai kelalaian yang ikut menyebabkan KLB nasional flu burung hari ini.

Vaksinasi unggas memang dilakukan, begitu juga penyemprotan antihama. Langkah-langkah biosecurity juga dianjurkan. Tapi semua dalam skala yang terlalu kecilbahkan bisa dikatakan sporadis—untuk bisa bermanfaat sebagai pencegahan. Harus diakui bahwa pemerintah memang kurang punya perlengkapan, persiapan, dan personel untuk menjalankan prosedur kewaspadaan dini. Pemeriksaan darah saja harus merujuk ke laboratorium di Hong Kong, walau sebenarnya tak sulit memiliki sendiri di sini. Anggaran yang tersedia untuk melakukan pemusnahan hewan yang dicurigai—membayar ganti rugi kepada peternak—juga sama sekali tak memadai.

WHO membagi tingkat penularan wabah flu burung dalam enam fase. Indonesia berada pada fase ketiga, sedangkan fase keempat ialah ketika penularan virus sudah terjadi antarmanusia dalam sekelompok kecil. Penularan antar-manusia terjadi bila virus bermutasi menjadi tipe yang lebih ganas. Fase kelima ialah jika penularan antarmanusia pada kelompok lebih besar tapi terlokalisasi, sedangkan fase keenam bila yang terkena sudah dalam skala luas atau pandemi yang serempak menjangkiti banyak negara di dunia.

Skenario terburuk WHO meramalkan bahwa beberapa tahun lagi pandemi flu burung akan terjadi. Korban ny-awa diperkirakan mencapai puluhan juta orang, dan Indonesia dianggap pusat asal atau episentrum dari malapetaka global yang mengerikan itu. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dan kerja sama internasional, risiko berat ini mungkin bisa dikurangi. Bukan karena ingin menambah kepanikan, tapi kita perlu mendesak pemerintah agar pencegahan yang radikal jangan diurungkan atau ditunda sedikit pun lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus