Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA pemerintah membangkitkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tak boleh hanya menjadi angin surga untuk para korban pelanggaran hak asasi manusia dan keluarganya. Apalagi, selama ini, komitmen Presiden Joko Widodo menuntaskan kasus hak asasi masih belum terbukti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah berencana mengajukan Rancangan Undang-Undang KKR dalam Program Legislasi Nasional 2020. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md., pada Rabu, 11 Desember kemarin, menyatakan KKR bertujuan menyelesaikan penuntasan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang macet sejak era reformasi. Juru bicara Istana, Fadjroel Rachman, mengatakan undang-undang tersebut bakal memberikan kewenangan kepada KKR untuk merekomendasikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM, misalnya melalui pengadilan khusus hak asasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberadaan komisi tersebut sesungguhnya sudah dihapus pada 2006 oleh Mahkamah Konstitusi saat uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang KKR. Mahkamah saat itu menilai KKR tidak memberi kepastian hukum dan tak bisa mencapai tujuan rekonsiliasi. Pada 2015, pemerintah juga merencanakan pembentukan komisi serupa melalui peraturan presiden, bukan melalui undang-undang yang dianggap membutuhkan waktu lama. Namun rencana itu menguap begitu saja.
Pembentukan KKR tidak boleh memberi ruang impunitas bagi para pelanggar HAM. Komisi itu, jika jadi terbentuk, harus mampu menunjukkan fakta-fakta yang benar dari pelanggaran HAM. Membuka kebenaran menjadi syarat utama mewujudkan rekonsiliasi antara korban dan keluarganya serta mereka yang diduga melanggar HAM. Tanpa pengungkapan kebenaran, para pelaku tak akan pernah tersentuh hukum ataupun mengakui perbuatannya. Luka korban dan keluarganya pun tak akan pernah sembuh.
Pemerintah perlu belajar dari pembentukan Dewan Kerukunan Nasional, dua tahun lalu. Digagas oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan saat itu, Wiranto, lembaga tersebut gagal total mewujudkan rekonsiliasi. Korban dan keluarganya, serta para pegiat hak asasi, tak mempercayai maksud baik Dewan Kerukunan. Penyebab utamanya, selain digagas oleh Wiranto yang namanya masuk daftar terduga pelanggar HAM, lembaga itu tak pernah membuka fakta kasus Trisakti serta Semanggi I dan II.
Presiden Jokowi seharusnya menyadari bahwa publik, termasuk juga korban pelanggaran HAM dan keluarganya, telanjur pesimistis ihwal penuntasan kasus hak asasi. Rekam jejak Jokowi soal itu masih sebatas janji kampanye semata. Alih-alih memenuhi janji tersebut, Presiden malah menggelar karpet merah bagi para terduga pelanggar HAM dengan menunjuk mereka sebagai pejabat negara. Publik juga kecewa terhadap para pegiat hak asasi yang kini berada di lingkaran Istana, yang memilih diam ihwal kasus HAM.
Kini, Presiden tak bisa mengulur waktu lagi. Di meja Kejaksaan Agung sudah bertumpuk dokumen laporan penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sembari menunggu pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang KKR, Presiden seharusnya bisa memerintahkan Jaksa Agung menindaklanjuti laporan penyelidikan kasus HAM tersebut. Tanpa ketegasan itu, Jokowi hanya akan dikenang sebagai pemimpin yang mengulur waktu penyelesaian kasus HAM, bahkan ingkar janji.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 12 Desember 2019