Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dampak Perlambatan Ekonomi Cina terhadap Dunia dan Indonesia

Perlambatan perekonomian Cina akan berdampak pada perekonomian global. Indonesia perlu mengantisipasinya, misalnya dengan diversifikasi ekspor.

27 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perekonomian Cina menunjukkan tanda-tanda perlambatan.

  • Kebijakan pemerintah Cina diperkirakan akan lebih fokus ke ekonomi domestik.

  • Indonesia perlu mengantisipasi dampak kebijakan tersebut.

Suryaputra Wijaksana
Master of Public Policy Graduate Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanda-tanda perlambatan ekonomi Cina sudah tak terelakkan. Data pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada kuartal kedua 2022 mengungkapkan perekonomian Cina hanya tumbuh 0,4 persen year-on-year, jauh lebih rendah daripada kuartal sebelumnya yang sebesar 4,8 persen. Perlambatan ini mengecewakan ekspektasi pasar yang masih berharap perekonomian Cina dapat menjadi “mesin penggerak” perekonomian global di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19 dan gejolak Perang Rusia-Ukraina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyebab perlambatan ekonomi Cina beragam. Kebijakan “dynamic zero” yang diterapkan pemerintah sejak awal pandemi Covid-19 sangat membatasi mobilitas masyarakat yang menekan pertumbuhan konsumsi domestik. Kebijakan ini juga mengganggu rantai pasok global yang menekan pertumbuhan ekspor Cina dan memicu inflasi tinggi di negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat.

Selain itu, jatuhnya harga properti di Cina menyebabkan kesulitan finansial bagi perusahaan properti dan perbankan. Ini akibat overleveraging (level utang yang terlalu tinggi) di sektor properti yang sangat berisiko dan terbatasnya alat investasi yang kredibel di Cina. Bagi pemerintah daerah, krisis properti ini dapat menurunkan kemampuan belanja pemerintah karena penjualan tanah adalah salah satu cara pembiayaan utama. Namun dampak terburuk akan dirasakan konsumen karena penurunan kekayaan akan menurunkan konsumsi secara drastis.

Perlambatan perekonomian Cina ini terjadi pada waktu yang sangat penting. Sebentar lagi Partai Komunis Cina akan menggelar Kongres Nasional ke-20 pada November dan diperkirakan Presiden Cina Xi Jinping akan meminta restu Kongres untuk memperpanjang masa jabatan presiden untuk ketiga kalinya, pertama kalinya dalam sejarah Cina modern. Perlambatan ekonomi yang terus-menerus dapat meningkatkan ketidakpuasan rakyat. Hal ini diperparah dengan ketidakpuasan di kalangan populasi muda Cina yang mengalami pengangguran dan keterbatasan kebebasan berpendapat.

Pemerintah Cina diperkirakan akan mengambil langkah-langkah stabilisasi perekonomian, antara lain dengan meluncurkan paket stimulus besar-besaran untuk mendongkrak ekonomi, mereformasi perusahaan milik negara, dan membenahi struktur perekonomian menjadi lebih fokus kepada ekonomi domestik, bergeser dari fokus ke ekspor. Satu kebijakan yang mungkin dapat menjadi obat instan adalah mengadopsi vaksin Covid-19 berbasis asam ribonukleat duta (mRNA) buatan Eropa dan Amerika yang memiliki tingkat efikasi tinggi dan membatalkan kebijakan “dynamic zero”. Namun, untuk alasan geopolitik, Cina masih mengandalkan vaksin konvensional buatan industri domestik yang mempunyai tingkat efikasi rendah. Selain itu, pembatalan kebijakan “dynamic zero” dapat menurunkan legitimasi politik Presiden Xi.

Dalam konteks geopolitik, Cina juga sedang decoupling (pemisahan) perekonomiannya dengan perekonomian negara Barat dengan mengurangi ketergantungan di sistem finansial dan teknologi. Akhir-akhir ini Cina mencoba menekan negara Barat dengan menolak sanksi pada Rusia dan memimpin kelompok negara-negara Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan (BRICS) untuk membuat tatanan dunia baru. Perlambatan ekonomi yang drastis dapat memaksa Cina untuk kembali bergantung pada negara Barat dan bahkan membatalkan ambisi geopolitiknya, seperti Belt and Road Initiative dan internasionalisasi renminbi.

Perekonomian Cina punya dua peran penting dalam perekonomian global. Pertama, Cina sebagai “rumah produksi” global, tempat produksi massal untuk barang konsumsi dan barang setengah jadi. Kedua, Cina sebagai “mesin penggerak” perekonomian global akibat pertumbuhan ekonominya yang sangat tinggi selama 30 tahun terakhir. Perlambatan perekonomian Cina yang terus-menerus akan mengancam dunia terjebak dalam pola stagflasi (inflasi tinggi dan pertumbuhan rendah) karena terhentinya produksi barang secara massal dan lambatnya pertumbuhan ekonomi. Pembenahan perekonomian Cina menjadi lebih berfokus pada ekonomi domestik juga mengancam rantai pasokan global, yang harus mencari sumber pengganti.

Dunia kini memang harus mencari “mesin penggerak” ekonomi baru, yang mampu menjadi sumber pertumbuhan baru, yakni negara yang memiliki pasar domestik yang cukup besar, pemerintah yang cukup kompeten dan kredibel, serta terdapat industri manufaktur berorientasi ekspor. Kandidat paling mungkin adalah India atau Bangladesh, walaupun keduanya tidak dapat menggantikan Cina dalam hal skala. Selain itu, diperlukan industri baru yang dapat meningkatkan permintaan seperti industri hijau, misalnya panel surya, kendaraan listrik, serta industri robot dan kecerdasan buatan.

Bagi Indonesia, Cina adalah negara yang sangat penting. Cina adalah konsumen terbesar produk ekspor andalan Indonesia, seperti batu bara, bijih mineral, dan minyak sawit. Cina juga sumber investasi untuk proyek infrastruktur dan proyek sektor swasta di berbagai industri. Perlambatan perekonomian Cina akan berdampak signifikan bagi Indonesia dan terasa di masyarakat. Perlambatan di sektor konstruksi akan menekan permintaan akan baja dan semen yang kemudian akan menekan ekspor batu bara Indonesia. Ini dapat menekan kinerja ekspor dan mempercepat pelemahan rupiah. Selain itu, disrupsi rantai pasokan global yang bermula di Cina dapat semakin memperburuk tekanan inflasi dan meningkatkan biaya transpor kapal laut. Namun ada kesempatan dalam kesempitan. Indonesia dapat menjadi pengganti beberapa proses produksi yang keluar dari Cina akibat pembenahan ekonominya yang menjadi lebih domestik.

Dapat dikatakan bahwa Cina perlu mendapatkan posisi yang sepantasnya dalam kunjungan Presiden Joko Widodo ke Asia Timur pada pekan ini, ketika Jokowi akan mengunjungi Cina dulu sebelum Jepang dan Korea Selatan. Presiden Joko Widodo diperkirakan mencoba menarik investasi dan membahas mengenai disrupsi rantai pasok global.

Selain menarik investasi, pemerintah harus mengantisipasi dampak lain dari perlambatan perekonomian Cina. Diversifikasi ekspor harus digalakkan kembali untuk mengurangi ketergantungan ekspor pada permintaan Cina. Jaring pengaman sosial harus diperkuat, terutama pada industri yang akan terkena dampak langsung, seperti pertambangan dan pertanian. Impor barang yang tak diperlukan harus dibatasi. Bank Indonesia harus menjaga likuiditas dolar Amerika Serikat dalam negeri yang akan terbatas bila ekspor Indonesia kembali menurun. Pada jangka panjang, transformasi ekonomi dan integrasi dengan perekonomian global harus dijalankan agar Indonesia tak lagi bergantung pada ekspor komoditas dari negara mana pun.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Suryaputra Wijaksana

Suryaputra Wijaksana

Ekonom Bank BRI dan Master of Public Policy Graduate Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus