Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan segera membuka bursa karbon.
Indonesia punya potensi aset karbon yang besar untuk diperdagangkan.
Perlu kesepahaman perhitungan unit karbon antara pemerintah dan verifikator internasional.
Rio Christiawan
Associate Professor Bidang Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja merilis Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon yang memberi dasar operasi bursa karbon. Bursa karbon yang akan dibuka tersebut punya nilai strategis bagi Indonesia, yang memiliki karbon hijau (green carbon) berlimpah yang tersimpan di hutan-hutan ataupun karbon biru (blue carbon) yang tersimpan di mangrove.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia memiliki potensi aset, dalam hal ini karbon, yang dapat diperdagangkan melalui bursa karbon. Pembentukan bursa karbon itu bertujuan memperkuat pasar perdagangan karbon di Indonesia. Karbon yang dapat diperdagangkan itu masih dapat mendukung bursa karbon, meskipun pemerintah baru saja menaikkan kontribusi yang ditentukan secara nasional yang diperkuat untuk mengatasi krisis iklim (ENDC) menjadi 32 persen atau setara dengan 912 juta ton karbon dioksida pada 2030 dari target pengurangan emisi karbon sebelumnya, yang sebesar 29 persen atau setara dengan 835 juta ton karbon dioksida.
Dalam konteks komersial, saat ini Indonesia membutuhkan pasar untuk menyerap potensi penurunan emisi gas rumah kaca yang mampu dihasilkan Indonesia. Dengan begitu, upaya ini akan dapat meningkatkan pendapatan negara dan berdampak positif pada masyarakat, sebagaimana digariskan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang mendasari Konferensi Perubahan Iklim (COP).
Bursa karbon, yang rencananya dibentuk pada kuartal terakhir tahun ini, dimaksudkan sebagai perluasan perdagangan dan investasi hijau. Hal ini mengingat kebutuhan karbon dalam negeri tidak akan menyerap seluruh potensi karbon yang tersedia untuk diperdagangkan. Sebaliknya, kebutuhan internasional yang besar dipandang dapat menjadi pasar yang strategis.
Bursa karbon setidaknya memiliki dua nilai strategis. Pertama, hal ini sesuai dengan semangat COP untuk menurunkan pemanasan global (global warming). Kedua, ia memberi nilai ekonomis yang kuat pada penurunan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia melalui pembentukan harga acuan bursa karbon nantinya. Sebagaimana dijelaskan Rema Hanna (2022), tujuan pembentukan bursa adalah meningkatkan nilai tambah komoditas melalui penataan ekosistem yang terlibat dalam bursa itu sendiri.
Penataan Ekosistem
Sesuai dengan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, OJK adalah instansi yang bertanggung jawab terhadap bursa karbon. Jelas, dalam hal ini bursa hanyalah sarana pembentukan pasar, yakni tempat bertemunya pembeli karbon dan penjual yang memiliki sertifikat penurunan gas rumah kaca. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Perdagangan Karbon serta Peraturan Menteri Lingkungan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.
Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan bursa karbon hanya akan mengatur tata perdagangan karbon melalui bursa karbon. Tantangannya adalah harmonisasi peraturan itu dengan ekosistem yang terlibat dalam bursa, misalnya dengan Kementerian Lingkungan selaku pemangku kepentingan karbon hijau dan Kementerian Kelautan selaku pemangku kepentingan karbon biru dalam hal tata cara perhitungan karbon.
Hal yang perlu diperhatikan adalah soal perhitungan karbon. Dalam bursa karbon nanti, unit karbon yang diperdagangkan itu telah diotorisasi oleh instansi masing-masing. Persoalannya, hingga saat ini belum ada kesepahaman perhitungan (mutual recognition) antara Kementerian Lingkungan dan lembaga verifikator internasional yang diakui oleh pasar internasional, seperti Verra, Plan Vivo, dan Gold Standard. Hal ini berdampak terhadap jumlah volume perdagangan unit karbon pada bursa karbon nanti.
Misalnya, metodologi perhitungan satuan penurunan emisi gas rumah kaca (SPE-GRK) oleh Kementerian Lingkungan berbeda dengan metodologi perhitungan unit karbon yang diverifikasi (VCU) oleh Verra atau standar internasional lainnya, sedangkan pasar internasional banyak mengacu pada standar internasional tersebut. Kebutuhan akan kesepahaman perhitungan ini harus segera direalisasi agar SPE-GRK yang diterbitkan pemerintah Indonesia dapat diterima pasar internasional, mengingat tujuan utama dibukanya bursa karbon adalah mengakomodasi kepentingan pasar international menjelang pemenuhan NDC setiap negara.
Upaya mencapai kesepahaman perhitungan ini sudah diawali. Pada awal Juni lalu, misalnya, pejabat eksekutif Verra bertemu dengan pemerintah melalui Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan serta OJK. Pengakuan standar bersama ini harus segera dibahas dan difinalkan di level teknis bersama kementerian teknis yang terlibat dalam penerbitan karbon, seperti Kementerian Lingkungan. Tujuannya agar nilai komersial SPE-GRK akan meningkat dan bursa karbon Indonesia nanti dipandang kredibel oleh dunia International.
Hal yang juga perlu menjadi perhatian adalah sektor hulu pada perdagangan karbon ini, yakni penerbitan perizinan berusaha pengusahaan hutan (PBPH), termasuk pengusahaan mangrove. Sejauh ini, belum ada penambahan PBPH ataupun perizinan definitif perihal perdagangan karbon dalam dua tahun terakhir. Artinya, sejak perdagangan karbon diatur pertama kali melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon hingga sekarang, belum ada perizinan definitif baru yang disetujui.
Selain itu, setelah terbitnya peraturan presiden itu, Menteri Lingkungan telah menerbitkan dua aturan penting ihwal perdagangan karbon, belum termasuk aturan pelaksanaan dan ketentuan teknisnya. Beberapa kementerian lain, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Keuangan, juga telah membuat aturan serupa. Sebaliknya, Kementerian Kelautan selaku pemangku kepentingan karbon biru justru belum membuat aturan sama sekali. Sektor hulu industri komoditas karbon memang perlu aturan, tapi perlu dihindari aturan yang berlebihan (over-regulated), yang pada akhirnya akan menghambat perdagangan karbon dan berdampak tidak maksimalnya volume perdagangan melalui bursa karbon.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo