Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Suap WTP kepala daerah kepada auditor BPK terjadi karena faktor penarik dan pendorong.
Penarik: citra baik di mata pemilihnya. Pendorong: dana insentif dari pemerintah pusat.
Sistem keuangan Indonesia mesti direvisi untuk mencegah korupsi sistemik.
STATUS audit “wajar tanpa pengecualian” (WTP) Badan Pemeriksa Keuangan ibarat barang dagangan bagi para koruptor. Sejak 2005, setidaknya ada tujuh kasus suap pejabat pemerintah kepada auditor BPK yang terungkap. Mereka menyuap auditor negara untuk mendapatkan status audit laporan keuangan tertinggi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari tujuh kasus yang terekspos, kepala daerah paling banyak menjadi pesakitan. Kasus suap WTP terbaru melibatkan Bupati Bogor Ade Yasin. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Ade Yasin di rumahnya pada Rabu, 27 April lalu, seusai penangkapan empat auditor BPK Jawa Barat di Bandung. Penyidik KPK menduga Ade memerintahkan tiga anak buahnya menyuap auditor BPK untuk mendapatkan status WTP laporan keuangan 2021. Ada 12 orang yang menjadi tersangka perkara ini, dengan barang bukti suap sekitar Rp 1,024 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari penyelidikan awal, KPK menduga Ade Yasin menyuap untuk menutupi kinerja buruk perbaikan jalan Kandang Roda-Pakansari, bagian dari program Cibinong City a Beautiful di ibu kota Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu. BPK menemukan potensi penyimpangan yang membuat laporan keuangan Bogor bisa berstatus “disclaimer” atau tanpa pendapat.
Ade Yasin, adik Bupati Bogor Rachmat Yasin yang juga masuk penjara karena korupsi, tipikal kepala daerah yang kisruh dalam bekerja tapi ingin mendapatkan citra baik di masyarakat. Ade ingin laporan keuangan Kabupaten Bogor kembali mendapatkan status WTP dua tahun berturut-turut. Seusai kejadian ini seharusnya KPK mengembangkan penyelidikan jauh ke belakang. Status WTP yang diperoleh Kabupaten Bogor pada 2020 juga perlu diusut karena boleh jadi terbit berkat uang suap.
Suap WTP terjadi karena faktor penarik dan pendorong. Faktor penariknya antara lain godaan untuk mendapat dukungan dari pemilih. Ade Yasin, yang hendak maju lagi dalam pemilihan Bupati Bogor tahun depan, sepertinya menganggap status WTP sebagai penutup atas segala borok di periode pertama jabatannya. Seperti para calon inkumben lain, Ade berburu status WTP untuk jualan di masa kampanye demi mempertahankan jabatan sampai periode kedua.
Adapun faktor pendorong terjadinya suap WTP datang dari pemerintah pusat. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah menetapkan alokasi sejumlah jenis dana, antara lain dana insentif daerah (DID). Dana insentif ini diniatkan sebagai penghargaan pemerintah pusat kepada daerah yang berkinerja bagus. Kementerian Keuangan menetapkan status WTP dari BPK sebagai kriteria utama daerah yang mendapatkan DID. Memakai rumus yang rumit, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan mentransfer dana insentif kepada daerah yang memenuhi kriteria. Pada 2021, dari 514 kabupaten dan kota, ada 445 daerah yang mendapatkan DID, naik dibanding 2020 yang hanya 425. Tiap daerah rata-rata mendapatkan dana insentif Rp 32 miliar setahun.
Ketika telah menjadi barang dagangan, opini WTP dari BPK hanyalah status administrasi laporan keuangan. Status WTP sama sekali bukan jaminan atas akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Karena itu, Kementerian Keuangan semestinya tidak mengaitkan alokasi DID dengan status WTP. Dana yang memang menjadi hak daerah seharusnya diberikan tanpa embel-embel “insentif” yang dikaitkan dengan status WTP. Sementara itu, setiap menjelang pemilihan kepala daerah, pemilih jangan mau dibodohi oleh calon inkumben yang jualan status WTP palsu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo